Menyoal Riwayat Keutamaan Bulan Rajab: Antara Kaum Sufi, Ulama Fikih, dan Ahli Hadis

Menyoal Riwayat Keutamaan Bulan Rajab: Antara Kaum Sufi, Ulama Fikih, dan Ahli Hadis

Tradisi rajabiyah oleh sebagian dari umat Islam masih saja dipermasalahkan, terutama mengenai persoalan kualitas riwayat atau hadis yang terkait dengan fadhilah (keutamaan) bulan Rajab.

Menyoal Riwayat Keutamaan Bulan Rajab: Antara Kaum Sufi, Ulama Fikih, dan Ahli Hadis

Diakui, umat Islam Indonesia (terutama kaum tradisionalis), memiliki beragam tradisi dan budaya keagamaan. Apapun momen kehidupan keagamaan, selalu disertai dengan berbagai pola tradisi dan budaya.

Di antara tradisi yang melekat kuat dalam mindset kaum tradisionalis muslim Indonesia adalah menghidupkan hari-hari di bulan Rajab dengan berbagai amaliyah dan ibadah, serta “perayaan” peristiwa Isra’ dan Mi’raj Rasulullah saw yang dipercaya terjadi pada tanggal 27 Rajab.

Selanjutnya, tradisi rajabiyah sebagaimana yang sudah ada tersebut, ternyata oleh sebagian dari umat Islam masih saja dipermasalahkan, terutama mengenai persoalan kualitas riwayat atau hadis yang terkait dengan fadhilah (keutamaan) bulan Rajab. Dalih yang mereka katakan adalah bahwa riwayat-riwayat tentang keutamaan bulan Rajab, menurutnya, banyak yang berkualitas lemah bahkan palsu. Benarkah demikian?

Riwayat Hadis di Kawasan Periferal (Pinggiran)

Interaksi dengan sunnah ataupun hadis, baik dalam periwayatan maupun pemahaman, seringkali memunculkan narasi dan kesimpulan yang beragam tergantung pada siapa dan atas kepentingan apa sunnah dan hadis tersebut disampaikan. Lihat saja apa yang dilakukan oleh kaum sufi dalam berinteraksi dengan hadis bisa sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini ditekuni oleh para fuqaha’ dan ahli hadis.

Secara prinsip, mereka bersepakat bahwa sunnah atau hadis merupakan salah satu asas dalam keberagamaan umat Islam, namun mereka berbeda dalam menggunakan nalar pengetahuan terhadapnya. Kaum Sufi lebih menekankan aspek irfani dan penyucian diri, sedangkan yang lainnya lebih mengarah pada aspek bayani dan burhani  dalam menyelami kandungan sunnah. Oleh karenanya, di tangan kaum sufi, hadis yang dipakai pun cenderung lebih longgar karena yang dituju adalah isi hadisnya, bukan hanya validitas hadis saja (Christopher Melchert: 2002).

Pola periwayatan ala sufi inilah yang cenderung berlaku di kawasan peripheral (pinggiran), seperti halnya di Indonesia. Bagi kawasan pinggiran yang jauh dari pusat wilayah periwayatan, pola periwayatan sebagaimana yang dilakukan oleh ahli hadis jelas mengalami berbagai hambatan. Satu di antaranya adalah penguasaan bahasa Arab serta aksesibilitas terhadap literatur-literatur utama yang pasti sulit bagi mereka.

Oleh karena itu, beberapa ulama di daerah pinggiran kemudian berusaha agar masyarakat awam dapat dengan mudah meriwayatkan hadis. Mereka tidak menentukan standar yang kaku seperti ahli hadis dalam taammul wa adā. Yang terpenting bagi mereka adalah mengetahui dan memahami Islam dari berbagai aspeknya untuk kemudian belajar lebih dalam mengenai Islam. Jadi, pemahaman hadis lebih didahulukan daripada validitas hadis itu sendiri. Masyarakat lebih menerima suatu lafal yang dikatakan hadis Rasulullah walaupun itu lemah bahkan bisa jadi berkualitas palsu.

Riwayat Keutamaan Bulan Rajab

Dalam kalender Hijriyah, bulan Rajab termasuk satu dari empat bulan mulia, yakni salah satu dari bulan haram (suci) yakni bulan yang begitu dimuliakan. Dari Abu Bakrah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Dalam sebuah hadis diriwayatkan, bahwa ketika masuk bulan Rajab maka Rasulullah Saw berdoa: “Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadlana”, artinya: “Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan” (Majmu’ al-Fatawa 24/291)

Kemudian, bagaimana dengan amaliah dan ibadah di bulan Rajab? Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 973 H. / 1566 M.) dalam kitabnya al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra menyatakan bahwa “Betul demikian, terdapat banyak hadits palsu yang menerangkan keutamaan berpuasa Rajab, hanya saja para imam kita dan yang lain tidak berpedoman pada hadis-hadis tersebut, dan sungguh tidak mungkin bila hal tersebut tetjadi. Akan tetapi mereka berpegangan pada argumen yang telah saya sampaikan dan dalil-dalil lainnya.”

Di antara dalil dan hujjah yang beliau tampilkan adalah kesunahan puasa Rajab sudah tercakup dalam hadis yang menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram. Dan sudah sangat maklum, Rajab termasuk dari bulan-bulan haram, bahkan tergolong yang paling mulia di antara bulan-bulan haram tersebut. Seperti dalam hadis riwayat Abi Daud, Ibnu Majah dan lainnya.

Lebih lanjut, Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H. / 1449 M.) telah mengarang sebuah kitab Tabyin al-‘Ajab fi Ma Warada fi Fadhli Rajab yang mengulas tentang dalil-dalil hadis keutamaan bulan Rajab dengan menjelaskan hadis-hadis yang sahih dan dlaif bahkan maudlu’ (palsu), begitu pula tentang dalil puasa di bulan Rajab. Di awal pembahasannya, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Tidak ada dalil sahih secara khusus untuk berpuasa dan ibadah malam di bulan Rajab”. Namun Ibnu Hajar mengulas beberapa hadis yang secara umum memberi indikasi keutamaan puasa di bulan Rajab.

Selain dalil riwayat yang digunakan oleh Ibnu Hajar, beliau juga banyak menceritakan hal ihwal para sahabat dan salaf salih terkait dengan amaliyah di bulan Rajab. Sebagai contoh, “Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab (saat itu sedang di bulan Rajab). Said menjawab: Saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw berpuasa sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berbuka. Dan Rasul berbuka sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berpuasa” (HR Muslim No 2782).

Artinya, tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab dan tidak ada anjuran secara khusus untuk puasa di bulan tersebut. Tetapi Rajab sama dengan bulan yang lainnya. Namun sebenarnya hakikat puasa adalah sunah. Di dalam Sunan Abi Dawud dijelaskan bahwa Rasulullah Saw menganjurkan puasa di bulan-bulan Haram (Bulan Mulia), dan Rajab adalah salah satunya”

Lalu, bagaimana dengan komentar para ulama mengenai berbagai riwayat yang lemah bahkan palsu terkait dengan amalan di bulan Rajab?, Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al-‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- Tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitami: “Dan merupakan ketetapan bahwa hadits dla’if, mursal, munqathi’, mu’dlal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal menurut kesepakatan ulama. Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa Rajab termasuk dalam keutamaan amal, maka cukup memakai hadis-hadis dla’if dan sesamanya. Dan tidak mengingkari kesimpulan ini kecuali orang bodoh yang tertipu.”

Adapun beredarnya hadis-hadis palsu terkait dengan amalan dan keutamaan bulan Rajab, maka selayaknya kita hindari dan kritisi. Meski terkadang isi dan kandungan di dalamnya memberikan banyak hikmah serta ajakan yang baik.

Catatan Akhir

Nabi Muhammad saw pada dasarnya ingin mengajarkan kepada umatnya, bahwa setiap manusia pada hakikatnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dalam lembaran kehidupannya. Maka dari itu, sesuai amanah dalam potongan Q.S. Ibrahim ayat 5, selayaknya setiap umat Islam untuk bisa mengisi dan merenungkan berbagai momen dalam kehidupan keberagamaannya dengan amaliyah dan ibadah.

Setelah menyoal secara sekilas tema ini, terlihat adanya kesan yang kuat bahwa amalan-amalan, terutama berpuasa, di bulan Rajab merupakan tradisi yang hidup (Sunnah Amaliyah) dan berjalan secara alamiah sebagai wujud dari ekspresi keimanan, kepatuhan serta kesalehan yang sudah barang tentu berpahala bagi yang membacanya.

Apa yang kemudian penting bagi kita? Sebagai muslim, kita meyakini akan kemuliaan bulan Rajab, sebagai salah satu bulan yang dimuliakan, sekaligus meyakini akan keberkahan yang didapat oleh siapa saja yang menghidupkan bulan Rajab dalam bentuk ekspresi amaliyah dan ibadah.

Bahwa apa yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh sebagian masyarakat muslim Indonesia pada dasarnya adalah serpihan hikmah dari apa yang telah diajarkan oleh para ulama, meski dalam bingkai dan model pengetahuan yang berbeda (dengan lebih menekankan pada isi bukan pada redaksi) sebagaimana yang berkembang di kawasan pusat keIslamaan saat itu. Wallahhua’lam.