Menyelamatkan Muka, Mengabaikan Nyawa

Menyelamatkan Muka, Mengabaikan Nyawa

Jihadisme dikutuk sebagai kejahatan terburuk abad ini, namun di pihak lain persoalan yang melatarbelakangi atau yang menciptakannya didiamkan. Hal ini hanya akan menyelamatkan muka, bukan menyelamatkan nyawa.

Menyelamatkan Muka, Mengabaikan Nyawa

 

Islamic State (IS) mempunyai seorang ibu: invasi Irak. Tapi, dia juga memiliki seorang ayah: Arab Saudi beserta industri keagamaannya yang kompleks. Begitu pernyataan Kamal Daoud, seorang kolumnis kenamaan Perancis, yang sempat menjadi tagar populer di media sosial, seminggu setelah serangan teroris di Paris, pertengahan November 2015 silam.

 

Pernyataan Daud  yang dinukil dari artikelnya yang dimuat di situs The New York Times edisi 20 November 2015 itu sesungguhnya sebuah sindiran keras terhadap Barat, yang selalu bersikap ambivalens terhadap setiap serangan terorisme yang diduga terkait IS. Di satu sisi mengutuk serangan, di sisi lain begitu mesra beraliansi negara-negara yang dianggap turut menyemai, mendanai, membantu, dan membesarkan organisasi para jihadis garis keras nan intoleran itu, terutama Arab Saudi.

 

Segera setelah aksi terorisme mengguncang Jakarta, Kamis (14/1), para pemimpin politik dunia menyampaikan belasungkawanya ke Pemerintah Indonesia, serta mencela aksi tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan biadab. Sebuah pernyataan standard dalam tata diplomasi internasional semenjak Tragedi 911, yang terdengar seperti siaran radio yang diputar-putar ulang, dengan bahasa yang serupa, tapi sesungguhnya sepi makna. Mungkin ini mirip dengan “Newspeak” Orwell dalam “1984”. Bukan hanya karena “newspeak-newspeak” ini terdengar kian membosankan, tetapi lebih dari itu, pernyataan-pernyataan tersebut tak pernah selaras dengan pengabaian Barat terhadap kenyataan bagaimana ISIS disuburkan eksistensinya dalam industri keagamaan Saudi dan para sekondannya.

 

Dalam gerakan melawan terorisme global, Barat membiayai satu kelompok, tapi di pihak lain bertepuk tangan bersama kelompok lain. Sebuah lanskap strategi pengabaian yang dirancang di tengah-tengah antagonisme dan heroisme. Pengabaian ini sesungguhnya adalah sebuah harga yang mesti dibayar oleh Barat demi memelihara aliansi strategisnya dengan Saudi. Sebuah aliansi yang seolah melupakan fakta bahwa negara otokrasi tersebut berkolaborasi dengan kekuataan keagamaan yang memroduksi, melegitimasi, menyebarkan, mengajarkan, dan mempertahankan wahabisme, sebuah aliran ultra-puritan dalam Islam yang menjadi akar IS.

 

Mutualisme

 

Selama bertahun-tahun, Kerajaan Saudi dan Wahabi membangun pola hubungan simbiosis mutualisme. Kerajaan membutuhkan legitimasi agama, di sisi lain Wahabi berkepentingan untuk tumbuh sebagai kekuatan agama yang dominan. Situasi ini menjadi perangkap sempurna bagi para bangsawan Saudi: Lemah dalam undang-undang suksesi yang mengedepankan pergantian antarkeluarga, dan ketentuan yang mengutamakan kultur hubungan ulama dan leluhur raja. Hal ini memungkinkan bagi ulama Saudi membangun islamisme, yang di satu sisi dapat mengancam negara, namun juga memberikan legitimasi untuk rezim. Politik dalam negeri yang kompleks tersebut mendorong Saudi mengambil jalan sebagai pendukung gerakan para jihadis wahabi yang belakangan termanifestasi secara global dalam bentuk IS. Dalam hal ini, sikap negara-negara kerajaan di Teluk lainnya, seperti Bahrain, Qatar, dan Kuwait, cenderung sejalan dengan Saudi, meski tidak tampak aktif. Alasan stabilitas politik dan ekonomi menjadi dasar pilihan kebijakan negara-negara tersebut.

 

Sebenarnya, tidak semua generasi muda radikal di Arab dan negara-negara Islam di dunia terlahir sebagai jihadis. Namun, industri keagamaan yang mengglobal seiring kemajuan teknologi dan informasi telah menyuburkan dan menyebarkan cara pandang ekstrem di bawah susuan majelis fatwa wahabi, yang menghasilkan teolog, hukum agama, buku panduan, dan kebijakan editorial agresif dalam kampanye di media-media mereka secara luas.

 

Sejak jauh sebelum ISIS mendeklarasiakan kekhalifahan Islam pada 29 Juni 2014, ekstrimisme Islam telah tertransformasi melalui beragam media di banyak negara, seperti Mesir, Mali, Mauritania, Maroko, Aljazair, Pakistan, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Ada ribuan blog, situs web, bahkan kanal televisi khusus yang diciptakan kelompok garis keras ini yang menyasar berbagai kalangan, seperti generasi muda Islam, ibu rumah tangga, kelompok terpelajar, hingga warga di perdesaan. Ragam media ini memaksakan pandangan visi kesatuan dunia di bawah Islam, tradisi sikap dan busana di ruang publik, dan kecaman atas beragam hukum negara dan ritual budaya masyarakat yang dianggap bertentangan dengan Islam.

 

Mereka juga terbiasa dengan gerakan viral di media sosial untuk mengampanyekan, memropagandakan, dan melawan setiap isu yang dinilai kontraIslam. Ketika kekhalifahan IS dideklarasikan kurang dari dua tahun silam, dengan cepat kultur dan gerakan yang telah bertahun-tahun terbentuk itu mengristal menjadi kekuatan ekstremisme yang sangat besar.

 

Di pihak lain, strategi kontraterorisme yang dilakukan Barat ataupun negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang menegaskan diri antiterorisme, seperti Indonesia, sejak Tragedi 911 tidak pernah berubah. Mereka cenderung hanya berkutat kepada penangkapan, pembinasaan, dan pemenjaraan terhadap para jihadis. Sementara, virus ekstremisme yang telah berkembang secara kultural melalui media, gerakan bawah tanah, dan penyusupan-penyusupan terhadap kelompok Islam lain, nyaris diabaikan.

 

Pemberantasan terorisme cenderung merabun, yakni hanya menargetkan efek daripada penyebab. Lihatlah, usai serangan teroris di Paris, Pemerintah Perancis didukung sejumlah negara Barat mengerahkan kekuatan militer besar menyerang basis kekuatan IS di Suriah. Sebuah serangan yang dibayangkan akan dengan cepat melumpuhkan habis kekuatan organisasi teror tersebut, yang sebelumnya telah kewalahan menghadapi gempuran Rusia dan Amerika Serikat. Namun, kenyataan berkata lain. Hanya dalam tempo dua bulan, organisasi tersebut mendaku dua serangan teror beruntun, yang terjadi di Istambul dan Jakarta. Dua pendakuan yang justru memberi sedikit kemenangan politis bagi IS dalam perang global.

 

Selama pengabaian ini berlangsung, upaya pemberantasan terorisme di dunia masih harus menempuh jalan yang sangat panjang. Saudi dan negara-negara kaya di Teluk adalah mitra aliansi favorit Barat di banyak arena “permainan catur”  di Timur Tengah. Situasi yang hanya akan menciptakan keseimbangan semu dalam tata keamanan global melawan terorisme.

 

Jihadisme dikutuk sebagai kejahatan terburuk abad ini, namun di pihak lain persoalan yang melatarbelakangi atau yang menciptakannya didiamkan. Hal ini hanya akan menyelamatkan  muka, bukan menyelamatkan nyawa. Dan, jihadis semacam Bahrum Naim dan kawan-kawan boleh mati, tapi generasi baru teroris bisa jadi akan muncul kembali selama masih ada buku panduan yang sama.

*Penulis adalah jurnalis dan penulis lepas di media lokal maupun nasional di Indonesia