“Allah telah menjadikan rahmat dalam seratus bagian, maka ditahan oleh-Nya yang sembilan puluh sembilan, dan diturunkan di bumi satu bagian. Dengan satu bagian, masing-masing makhluk berkasih sayang, sehingga kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya” (HR. Bukhari)
Secara kebahasaan, kata rahmat merupakan turunan dari kata rahima, yarhamu, dan menjadi rahmatan. Dalam kamus bahasa Arab, ketiganya bermakna dasar sama, mengasihi, menyayangi, atau kasih sayang sebagai arti paling pas bagi kata rahmatan. Hadis Nabi di atas memberi pemahaman bahwa kasih sayang dalam ragam bentuk dan caranya yang teraktualisasikan di muka bumi merupakan secuil (satu) rahmat Allah dari seratus rahmat-Nya.
Secuil rahmat itu tercurah untuk seluruh makhluk Allah tanpa terkecuali; manusia, hewan, tumbuhan. Mukmin ataupun kafir. Semua berhak menikmati rahmat-Nya yang secuil itu tanpa menengok identitasnya. Bahkan seorang pengingkar Tuhan (atheis) sekalipun juga bisa menikmati kasih-Nya.
Tingkatan rahmat paling rendah diberikan kepada binatang yang hanya memiliki insting yang membuat seekor induk binatang menyayangi anaknya. Sementara level rahmat yang lebih tinggi diperuntukkan bagi manusia berupa petunjuk hidup yang tertuang sepenuhnya dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul.
Namun tidak serta merta Allah menurunkan petunjuk lantas memaksa manusia mematuhinya. Sebaliknya Dia juga memberikan kemerdekaan berkehendak bagi manusia untuk memilih jalan hidupnya, yang itu merupakan bagian dari satu rahmat-Nya pula. Karena kemerdekaan memilih dan bertindak merupakan rahmat, maka dalam beragama, Allah sama sekali tidak memaksa manusia, mau beragama apa terserah, bahkan tidak beragama juga tak apa.
Lalu siapakah sesungguhnya yang telah dan akan memeroleh sisa rahmat yang sembilan puluh sembilan, yang masih ditunda oleh Sang Maha Kasih hingga “harinya” kelak?
Dalam sebuah hadis, Nabi SAW, pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat, diturunkan ke bumi hanya satu untuk penduduk dunia. Maka (dengan satu rahmat) cukup hingga habis ajal mereka, dan Allah akan mencabut satu rahmat itu pada hari kiamat untuk digenapkan pada yang sembilan puluh sembilan, kemudian diberikan kepada para wali dan ahli taat.” (HR. Al-Hasan).
Nah, dengan rahmat berupa petunjuk dan kebebasan itulah manusia diberi keleluasaan; memilih jalan taat atau ingkar terhadap petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah. Bagi yang taat, Allah akan menggenapkan rahmat-Nya yang sembilan puluh sembilan di hari kiamat nanti kepada dia. Dan bagi yang ingkar, cukup baginya rahmat Allah yang satu itu kala hidup di dunia.
Maka tidaklah mengherankan jika dalam kehidupan kini kita jumpai gejala kehidupan yang sama dari sisi kemanusian. Baik si kafir ataupun mukmin, berpeluang setara untuk menjadi kaya sebab usahanya; Berkesempatan sama untuk menjadi pintar karena belajarnya; Memiliki hak yang sama untuk menggapai kebahagiaan, perdamaian, kesejahteraan hidup, keadilan dan kasih sayang dari dan antarsesama.
Akan tetapi kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, keadilan, dan kasih sayang yang hakiki (sejati) tak pernah dapat dicapai oleh setiap manusia, kecuali bila manusia mengikuti jalan Tuhannya, dengan mengaktualisasikan kepatuhan yang lurus kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jalan untuk memenuhi itu sangat banyak dan beragam, sedangkan jalan kepatuhan yang paling mendasar ialah menegakkan segala aturan yang terangkum dalam rukun Islam.
Karenanya, siapa saja yang mengaku patuh pada petujuk Tuhannya, langkah awal yang mesti dikerjakannya ialah menjalankan rukun Islam yang lima itu tanpa terkurangi dan tercemari; Bersyahadat sebagai pernyataan diri untuk terikat dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya; Menegakkkan sholat sebagai sendi agama; Menjalankan puasa; Membayar zakat sebagai metode pembersihan jiwa dan harta; Menunaikan haji bagi yang mampu.
Akan tetapi penegakan rukun Islam tidak dimaknai semata-mata sebagai keterhubungan antara setiap hamba dengan Tuhan dan menafikan adanya kewajiban menegakkan hubungan sosial yang saling mengasihi (marhamah), termasuk pula dalam hubungannya dengan alam.
Sebaliknya, terwujudnya tata bangun kehidupan yang berlandaskan prinsip marhamah itulah salah satu tujuan utama penegakan rukun Islam. Tegaknya tali hubungan antarmanusia tak lain dengan menjalin silaturrahmi dan saling menebar kasih sayang. Menepis rasa dendam kesumat dan iri dengki. Mengakhiri penindasan serta pemerkosaan hak asasi sesama.
Pendek kata, jika seseorang yang telah mengaku dirinya beriman dan mengharap dapat menggapai rahmat Allah yang sembilan puluh sembilan, niscaya ia harus beramal salih; menciptakan hubungan yang baik dengan Allah dengan menjalankan segenap perintah-Nya; serta menjalin tali pergaulan yang penuh kasih terhadap sesama manusia dan lingkungan sekitar. “Maka siapa yang mengharap rahmat dan bertemu dengan Tuhan-Nya, maka hendaklah beramal salih.”(QS. Al-Kahfi:110).
Pertanyaannya, apakah sekadar dengan menjalankan shalat, puasa, zakat, dan haji, kita sudah dapat menjadikannya sebagai media yang dapat menumbuhkan rasa belas kasih terhadap sesama, dan menebar rahmat-Nya di muka bumi hingga tercipta kehidupan yang marhamah?