Menggairahkan Kembali Tradisi Musyawarah dalam Budaya Demokrasi Kita

Menggairahkan Kembali Tradisi Musyawarah dalam Budaya Demokrasi Kita

Dalam musyawarah yang diinisiasi oleh anak-anak SMA ini, saya belajar satu varian demokrasi yang lain. Demokrasi yang bukan hanya voting.

Menggairahkan Kembali Tradisi Musyawarah dalam Budaya Demokrasi Kita
Ilustrasi: musyawarah dalam demokrasi (Freepik)

Pada mulanya, saya tidak percaya bahwa proses eksperimen ini akan mampu dijalankan oleh siswa SMA secara sukarela, bukan karena paksaaan saya sebagai orang dewasa yang mendampingi mereka. Eksperimen yang saya maksudkan terjadi dalam proses pemilihan ketua OSIS.

Sebab kami adalah sekolah baru, organisasi OSIS baru dibentuk di tahun kedua ajaran. Sebelumnya, mereka hanya mengenal sistem pemilihan voting sebagai cara untuk menentukan keputusan siapa yang akan dipilih menjadi ketua, namun, kali ini mereka melakukannya dengan cara lain.

Sebagai media pembelajaran kehidupan bernegara, anak-anak menuangkan proses demokrasi di negara ke dalam proses demokrasi di sekolah. Langkah pertama yang ditempuh oleh siswa-siswi kami adalah membentuk Panitia Pemilihan Ketua OSIS. Panitia ini kemudian memfasilitasi diskusi untuk menentukan kriteria apa saja yang perlu dimiliki oleh kandidat ketua OSIS. Setelah disepakati, kemudian dibukalah sesi pembukaan kandidat yang hasilnya kemudian diminta untuk menyampaikan visi jika terpilih sebagai ketua OSIS.

Jujur saja, proses penyampaian visi dan debat tidak semenarik yang saya bayangkan. Calon-calon yang terpilih sepertinya sudah dalam satu frame kerja yang sama, maka tak banyak perdebatan di antara mereka. Justru, forum menjadi panas ketika kami membicarakan metode pemilihan, mau dengan demokrasi seperti apa kita memilih ketua OSIS. Diperlukan dua hari untuk menyelesaikannya.

Siswa-siswa terbelah menjadi dua kelompok besar, satu pihak menginginkan voting sebagai cara memilih ketua, satu pihak yang lain menginginkan agar proses pemilihan ketua menggunakan musyawarah.

“Voting saja, biar cepat” argumen tim voting. “Kita gunakan musyawarah saja, agar semua orang bisa berpendapat. Voting hanya menguntungkan yang populer,” Tim Musyawarah memberikan argumentasi. “Tapi musyawarah juga hanya menguntungkan yang ‘pintar’ bicara saja,” sanggah tim voting. “Ya kita bikin mekanisme biar semua orang bicara,” Tim Musyawarah menjawab.

Tensi perdebatan ini terus naik, seru sekali saya melihatnya. Karena perdebatan ini seperti tidak ada ujung, maka diputuskan bahwa masing-masing tim mengirimkan perwakilannya untuk melakukan lobi. Siapa yang mau mengalah.

Esok harinya, sebelum masuk ke kelas, masing-masing perwakilan maju dan menempati meja khusus untuk diskusi. Pun dengan proses ini, mereka masih menemukan kebuntuan. Oleh karena proses lobi juga tidak berhasil, maka dipilih seorang penengah untuk mediasi.

Mediator menawarkan untuk menempuh jalan tengah antara musyawarah dan voting. Jalan tengah yang ditawarkan adalah proses pemilihan dimulai dengan musyawarah selama 1 jam, jika belum menghasilkan keputusan, maka akan dilanjutkan dengan voting. Pembatasan waktu dilakukan untuk menampung aspirasi tim voting agar tidak terlalu lama. Dan untuk mengantisipasi kebuntuan acara, masing-masing diminta mengisi formulir yang isinya pilihan dan argumentasi.

Dan ya, tawaran ini diterima oleh semua pihak.

Maka jadilah kami menggunakan sistem musyawarah mufakat sebagai permulaan dan voting sebagai metode jika terjadi kebuntuan. Dalam diskusi penentuan ketua OSIS, musyawarah dimulai dengan meminta semua peserta untuk mengisi formulir yang berisi pilihan dan argumentasi. Dalam formulir ini, sebenarnya sudah kelihatan siapa yang akan menang jika dilihat dari jumlah pemilihannya. Si A hampir mendapatkan 80% suara. Namun karena disepakati musyawarah, maka forum menentukan kriteria apa saja yang mereka butuhkan sebagai seorang pemimpin. Akhirnya, disepakati beberapa kriteria seperti disiplin, kreatif, memiliki kemampuan public speaking, dsb. Kriteria-kriteria inilah yang kemudian menjadi panduan mendiskusikan siapa pemimpin mereka.

Tak disangka, ternyata, dalam proses diskusi kriteria ini, si B, yang awalnya hanya mendapatkan 20% suara, mendapatkan keunggulan karena memenuhi lebih banyak kriteria dibanding A. Dan melalui forum tersebut, disepakati bahwa ketuanya adalah si B. Saya lihat, hampir semua orang terbengong dengan hasil ini. Begitupun si B, tak menyangka bahwa dirinya terpilih. Ia yang kalah populer dibanding A, akhirnya terpilih karena proses musyawarah menilai berdasarkan kapasitas, bukan popularitas.

Dalam musyawarah yang diinisiasi oleh anak-anak SMA ini, saya belajar satu varian demokrasi yang lain. Demokrasi yang bukan hanya voting. Demokrasi di mana keputusan tidak berdasarkan suara mayoritas, tapi berdasarkan argumentasi yang jelas dan objektif atas kedudukan masalahnya. Ya, demokrasi Pancasila.

Sebuah konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Soekarno di muka Majelis Umum PBB ke-15 tanggal 30 September 1960 melalui pidatonya yang bertajuk “MEMBANGUN DUNIA KEMBALI” (TO BUILD THE WORLD ANEW). Dalam pidatonya, Soekarno mencontohkan apa yang terjadi di dalam Konferensi Asia-Afrika pada 18-25 April 1955.

“Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan dengan cara-cara musyawarah. Dalam konferensi itu tidak terdapat mayoritas dan minoritas. Tidak pula diadakan pemungutan suara. Dalam konferensi itu hanya terdapat musyawarah dan keinginan umum untuk mencapai persetujuan… Dari musyawarah semacam ini timbul permufakatan, suatu kebulatan pendapat, yang lebih kuat daripada suatu resolusi yang dipaksakan melalui jumlah suara mayoritas, suatu resolusi yang mungkin tidak diterima, atau yang mungkin tidak disukai oleh minoritas.”

Konsep yang ditawarkan ini mungkin akan kontradiktif dengan apa yang terjadi dalam sejarah kebangsaan kita, yang pemilihan presidennya hampir selalu menggunakan voting. Namun, bukankah kita sedang mencoba bereksperimen dengan nilai-nilai ideal yang tengah kita pegang?

(AN)