Imam Junaid al-Baghdadi ditanya seseorang, apa itu tauhid. Beliau menjawab dengan menukil dawuh Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq: “Maha Suci Allah yang telah memberikanku ketidakmampuan untuk mengetahuiNya kecuali dalam ketidakmampuan itu Allah Swt memberikan kemampuan bagiku untuk mengetahuiNya.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah menerangkan bahwa hakikat kalimat tauhid la ilaha illaLlah merupakan (seyogianya) penegasian diri. Ketika mengatakan “la ilaha” (tidak ada Tuhan), kepala ditolehkan ke kanan, itu menyimbolkan pandangan diri kepada dunia seisinya; lalu dilanjutkan dengan mengatakan “illaLlah” (selain Allah Swt), kepala ditolehkan ke kiri, itu menyimbolkan diri memandang hati –di situlah Allah Swt bertahta (hati adalah ‘arsyuLlah)—maka tenggelamlah, terfanakanlah, dunia seisinya, tentu juga diri, di sisi kanan tadi –semata berganti wujud Allah Swt.
Poin esensial dari dua nukilan di atas adalah kalimat tauhid, la ilaha illaLlah, begitupun takbir, seyogianya semata membuahkan tegaknya Allah Swt dengan menegasi, meniadakan, segala yang selainNya. Baik itu diri beserta seluruh perasaan mampunya maupun kemilau dunia seisinya. Ya, sekali lagi, semata Allah Swt lah yang jumeneng.
Ini perkara kehakikatan. Tidak usahlah keterangan kehakikatan begini dijadikan antitesa bagi ekspresi-ekspresi tauhid yang belum berada di derajat demikian. Mari kita jadikan pengajaran rohani saja.
Jikapun seseorang berucap la ilaha illaLlah, namun di hatinya belumlah benar-benar semata Allah Swt yang jumeneng, situasi demikian tetaplah kebaikan, kemuliaan –tentu, kecuali bila diikuti oleh perilaku-perilaku madharat yang dilarang syariat. Bahwa derajat demikian masih diungguli derajat kehakikatan tadi, ke arah demikianlah seyogianya kita terus belajar, berlatih, beriyadhah, memohon karuniaNya sekaligus, agar makin tahun kita makin bisa membesarkan jemenenge Gusti Allah Swt di dalam hati –yang tentunya akan selaras seiring dengan makin mengecilnya, meluruhnya, jumenenge diri dan duniawi.
Arah pemahaman demikian tentunya akan produktif mendampakkan pengajaran kepada rohani kita sendiri secara introspektif. Umpama kita kerap bertakbir, tetapi sekian tahun lamanya takbir-takbir kita tak kunjung mengaraskan kita kepada makin jumenenge Gusti Allah Swt di dalam hati, bahkan makin mengibarkan wujud diri sendiri saja, mari kita (umpamanya) menerapkan asas khauf (takut) dan raja’ (harap) dengan sungguh-sungguh kepada hati ini.
Khauf (takut), dalam keterangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah, ialah “takut dijatuhkannya derajat rohani, hati, kita oleh Allah Swt dari maqam yang telah tinggi dan baik dan sekaligus takut tidak dinaikkanNya lagi derajat rohani kita ke maqam yang lebih tinggi dan baik lagi.” Ejawantah dari spirit khauf begini tiada lain adalah tawadhu’ kepadaNya.
Raja’ (harap) ialah “memohon sepenuh harap kepadaNya agar tidak menjatuhkan derajat rohani kita dari maqam hari ini dan sekaligus memohon sepenuh harap kepadaNya agar menaikkan derajat rohani kita dari maqam hari ini.” Ejawantah dari spirit raja’ begini tiada lain adalah tawadhu’ kepadaNya.
Ternyata, kedua spirit ini senata mengaras pada ejawantah yang sama, walau bergerak dalam spirit yang berbeda, yakni ketawadhu’an.
Jika sumber hakiki tauhid, yakni jumenenge Gusti Allah Swt, telah menjadi sumber pengertian dan pemahaman kita untuk terfanakan-ternegasikan, maka niscaya ejawantah ketawahdhu’an itu akan meruah ke luar diri, yakni kepada sesama manusia dan pula seluruh makhlukNya. Pada hati, rohani, yang telah dikaruniai cahaya ontologis begini, la ilaha illaLlah akan menyemburat kepada segala makhluk dan peristiwa, apa saja, dalam pandangan yang semata berporos kepada Cahaya KemahaanNya. Semuanya terpandang sebagai Jumeneng-Nya; KemahabesaranNya; dan Kasih SayangNya. Inilah tajalliyat –takhallaqu biakhlaqiLlah, berakhlaklah dengan Akhlak Allah Swt. Akhlak dimaksud pada ranah kita adalah ketawadhu’an.
Sebab tawadhu’ semata memijarkan kerendahan hati, yang bersumber pada kerendahan diri sebagai suatu wujud di hadapanNya, yakni fana, negasi, tak masuk akal darinya akan lahir ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatan yang merendahkan siapa pun, bagaimanapun keadaannya, bahkan dalam bentuk apa pun wujud kemakhlukannya. Merendahkan liyan adalah antitesa mutlak ketawadhu’an. Keduanya tak pernah bersanding sepelaminan. Tawadhu’ adalah merendahkan diri dan memuliakan atau khusnuddan kepada liyan; merendahkan liyan adalah semata kesombongan. Bukankah sanad ilmu kesombongan adalah iblis?
Jadi, umpama kita meledakkan takbir dengan sangat bersemangat, namun di detik yang sama teruar ekspresi-ekspresi peninggian diri–bawaan melekatnya adalah merendahkan liyan—dan tidak ada denyar tawadhu’ kepada liyan; itu kiranya jenis takbir yang dibajak hawa nafsu, juga kecohan setan. Takbir, maaf kata, yang justru menjadikan diri kita sombong, pongah, merasa terhebat, terbenar, termulia, sungguh adalah “penistaan takbir” (dalam kacamata ilmu hakikat). Bukankah, dengan sederhana bisa dipahami, semestinya sungguh mustahil kumandang takbir yang semata berhakikat menjulangkan Allah Swt dengan menegasi segala apa pun selainNya (termasuk wujud diri), “Maha Suci Allah yang telah memberikanku ketidakmampuan”, justru bekerja sebaliknya –Allah Swt tiada, eksistensi diri ditepuki sehebat-hebatnya?
Mari kita terus belajar, muhasabah, self-reminder. Clue-nya sederhana saja: khittah kumandang takbir, cum kalimat tauhid la ilaha illaLlah, adalah kefanaan diri; ejawantahnya ke luar diri ialah tawadhu’ cum akhlak karimah. Inilah derajat manusia yang telah menjadi Manusia (dengan M besar).
Semoga kita diperjalankanNya ke aras demikian. Amin ya rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bish shawab.