Menelisik Pengertian Agama dan Fitrah Manusia dalam Hadis Nabi

Menelisik Pengertian Agama dan Fitrah Manusia dalam Hadis Nabi

Kehidupan manusia di dunia ini tidak bisa dilepaskan dari fitrahnya. Karena fitrah manusia selalu memilih kepada kebenaran, termasuk dalam memilih agama.

Menelisik Pengertian Agama dan Fitrah Manusia dalam Hadis Nabi

Istilah agama dalam kajian sosio-antropologi adalah terjemahan dari kata religion dalam bahasa Inggris, tidak sama dengan istilah agama dalam bahasa politik-administratif pemerintah Republik Indonesia. Jadi, agama adalah semua yang disebut religion dalam bahasa Inggris, termasuk apa yang disebut agama wahyu, agama natural, dan agama lokal (Amri Marzali: 2016).

“Agama” dalam pengertian politik-administratif pemerintah Republik Indonesia adalah agama resmi yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, dan pada masa akhir-akhirnya ini juga dimasukan agama Konghucu (Saifudin, Achmad Fedyani: 2000).

Selanjutnya, agama, dalam perspektif sosiologis, dipandang sebagai sistem kepercayaan yang dapat melahirkan perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga sikap dan perilaku yang diperankannya terkait erat dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial tersebut digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.

Dalam konteks tersebut, fitrah yang dikenal sebagai hal yang esensi dalam diri manusia dianggap sebagai manifestasi wujud agama yang ada. Kata fitrah ini telah diuraikan pada surat-surat Al-Quran yang memiliki pemaknaan berbagai konsep, Sedangkan secara tekstual, kata fitrah hanya disebutkan sekali yaitu dalam Q.S. Ar-Ruum: 30. Dalam ayat tersebut secara harfiah dijelaskan bahwa manusia diciptakan dengan acuan fitrah Allah, yaitu agama yang lurus.

Sementara itu, dalam hadis nabi dikatakan:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتَجُ البَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ، هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ»، ثُمَّ يَقُولُ: {فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ القَيِّمُ} [الروم: 30] (الشيخان)

 

Artinya: Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah saw berkata: tidak ada satu pun yang dilahirkan kecuali dilahirkan atas fitrahnya. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya? H.R. al-Bukhari dan Muslim

Hadis tersebut selain diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H) juga diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman dan Imam ath-Thabarani (w. 360 H) dalam Mu’jam Kabirnya dengan berbagai redaksi yang berbeda. Imam Nawawi dalam syarah Sahih Muslim bahkan menyatakan bahwa ada riwayat dengan redaksi al-millah (agama) tidak al-Fitrah. Jadi menurut Imam Nawawi, bahwa setiap orang secara fitrah disiapkan untuk menerima agama yang benar (Islam) (Syarafuddin an-Nawawi, al-Minhaj syarh Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Araby).

Menurut M. Quraish Shihab, fitrah manusia adalah kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Istilah fitrah dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi bahasa makna fitrah adalah suatu kecenderungan atau bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yaitu bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah bertauhid, mengesakan Tuhan. Manusia itu diciptakan oleh Allah SWT dengan kondisi yang terbaik daripada makhluk lainnya. Akan tetapi, dalam perjalanannya, terdapat penyimpangan-penyimpangan dari aturan Allah sehingga tergeser dari kondisi fitrahnya. Oleh sebab itu, manusia pertama dan periode selanjutnya memerlukan petunjuk pengetahuan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan kepada rasul-rasulnya agar kembali kepada fitrah yang sesungguhnya (M. Quraish Shihab: 1998).

Fitrah adalah sesuatu yang istimewa yang ada di semua manusia sejak kelahiran mereka dan tidak berubah dalam waktu dan mampu menjaga posturnya kecuali ada eksternal efek. Fitrah adalah sumber dan esensi dari semua fitur yang menuntun manusia untuk menangkap kebenaran dan realitas ketuhanan. Pengertian tersebut termasuk di dalamnya adalah agama. Karena agama dalam arti tertentu telah ada dikirim untuk melindungi fitrah agar tidak merosot karena efek eksternal dan berkembang serta melindungi fitur potensial yang ada di fitrah. Demikian, sementara sebagian dari fitrah berhubungan dengan Tuhan, sisanya berhubungan dengan manusia. Dalam pengertian ini, fitrah bertindak Seperti kompas yang ditempatkan Tuhan di dalam setiap manusia yang selalu menunjuk pada kebenaran kecuali dipengaruhi oleh efek negatif (Selcuk Coskun: 2008).

Mempertimbangkan semua uraian di atas, berikut adalah beberapa gambaran tentang fitrah:

  1. Fitrah telah ada di setiap manusia. sehingga tidak peduli apa keyakinan, pangkat, ras atau agama orang tua, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah.
  2. Fitrah dapat kehilangan kesuciannya karena beberapa efek eksternal.
  3. Esensi fitrah tidak berubah dalam waktu dan lokasi. Artinya, fitrah pada saat Nabi Adam adalah sama dengan fitrah manusia saat ini dan yang akan datang. Oleh karenanya, Islam selalu menyarankan manusia untuk mengambil pelajaran dari masa lalu sebagai fitrah yang tetap tidak berubah. Dalam kata-kata Al-Qur’an, Islam menyarankan kita untuk mengambil pelajaran untuk peristiwa yang ada dengan mempertimbangkan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, karena manusia memiliki fitur fitrah yang sama.
  4. Fitrah selalu memandu dan menunjuk pada kebenaran

Nabi Muhammad saw pada dasarnya ingin mengajarkan kepada umatnya, bahwa setiap manusia pada hakikatnya memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dalam lembaran kehidupannya. Dengan fitrahnya itulah manusia dapat memeluk agama yang intinya dapat mengantarkan jiwanya kepada Pencipta. Manusia adalah makhluk yang sehat dan murni secara natural dan mampu menangkap ragam kebaikan dan kebenaran jika tidak terinfeksi oleh ragam warna warni kehidupan yang tidak sehat.  Wallahhua’lam.

Ahmad Tajuddin Arafat, penulis adalah pengajar di UIN Walisongo Semarang.