Perubahan iklim dan kerusakan alam adalah persoalan umat manusia. Peningkatan suhu bumi dan anomali cuaca pun diantaranya mengakibatkan banyak bencana alam di berbagai tempat. Kondisi ini tentu tanggungjawab umat manusia, bahkan tidak ada sekat identitas. Urusan kemanusiaan hari ini menuntut kolaborasi umat manusia.
Keserakahan membabat hutan, mengeksploitasi sumber daya alam, hingga pembuangan emisi gas adalah sekian dari ragam dosa manusia atas alam. Umat beragama harus mengambil posisi strategis dalam menghadapi krisis alam. Mengapa?
Agama (seharusnya) tidak sekedar baris-baris ayat atau seruan pendakwah. Aksi-aksi progresif dalam menghadapi beragam krisis kemanusiaan sudah seharusnya mendapatkan dukungan dan sokongan ajaran agama. Agama menghadirkan daya dan semangat perjuangan melawan beragam krisis kemanusiaan.
Ancaman bencana dan anomali cuaca adalah persoalan riil atas kemanusiaan. Untuk itu, kondisi ini tentu menuntut umat beragama terlibat aktif. kampanye perlawanan dan sikap progresif atas kerusakan alam lewat dakwah-dakwah di tempat-tempat ibadah, diharapkan bisa memunculkan kepatuhan dalam perjuangan progresif.
Di sisi lain, kolaborasi antar umat beragama juga menjadi nilai lebih dalam perjuangan melawan kerusakan alam. Sebab, krisis iklim tidak lagi sekedar isu lokal atau urusan sekelompok manusia namun tanggungjawab manusia, sembari menuntut para perusak alam dihukum lebih berat.
***
Tim Moderasi Beragama dari MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 1 Banjarmasin menyodorkan kegiatan menanam pohon bersama, dalam keikutsertaan di Inisiator Muda Moderasi Beragama kemarin. Bagi mereka, kegiatan ini adalah pilihan paling aman dalam mengekspresikan narasi moderasi beragama di sekolah tersebut. Mengapa?
Narasi moderasi beragama, hingga hari ini, masih dicurigai sebagai upaya pendangkalan iman umat Islam. Sebagian pengajar disebut masih mempercayai moderasi beragama adalah wajah lain dari pluralisme, yang telah mendapatkan stigma negatif. “Membaca salawat di Gereja” dan “Mengikuti ibadah agama lain” adalah tuduhan populer yang marak di kalangan pengajar.
Selain itu, perbincangan moderasi beragama di lingkungan para guru seringkali berujung pada perdebatan soal batik moderasi, yang pernah beredar akan diwajibkan kepada seluruh ASN (Aparatur Sipil Negara) memakainya. Walaupun, hingga hari ini, isu tersebut tidak pernah terbukti atau benar-benar diterapkan. Dinamika ini terus menghantui kampanye moderasi beragama, bahkan terbilang cukup menganggu.
Moderasi beragama memang masih banyak diwarnai penolakan atau sikap resistensi. Sebagian besar disebabkan kecurigaan dan stigma negatif atas kampanye kesetaraan antar umat beragama oleh Negara. Untuk itu, kampanye moderasi beragama lewat aksi-aksi kemanusiaan yang bersifat universal bisa jadi menjadi “jalan tengah” menghadapi kondisi tersebut.
Tim Moderasi Beragama MAN 1 Banjarmasin pun mengajak kawan-kawan sekolah menengah atas dari agama Hindu dan Kristen, untuk terlibat dalam kegiatan menanam pohon tersebut. Bertempat di salah ruang terbuka di kota Banjarmasin, mereka menanam puluhan bibit pohon dan bersepakat akan terus menjalin pertemanan yang setara sembari menjaga alam bersama.
Hingga hari ini, beberapa siswa MAN 1 Banjarmasin yang terlibat di kegiatan tersebut masih menjalin komunikasi dan merawat pohon yang mereka tanam kemarin. Aktifitas ini tentu minim kritik atau stigma negatif dari mereka yang masih belum bersepakat dengan narasi moderasi beragama.
***
Krisis iklim bisa dihadapi dengan kolaborasi umat beragama. Tim moderasi beragama MAN 1 Banjarmasin membuktikan ini. Kampanye mereka atas relasi antar umat beragama yang setara dan berkeadilan, yang dibarengi dengan aksi-aksi pelestarian lingkungan menjadi pembuktian bahwa persoalan perubahan iklim ini bisa dihadapi.
Agama dan krisis iklim tidak lagi sekedar pendedahan ayat-ayat ajaran agama. Aksi-aksi nyata menggerakan umat dengan lebih baik dan massif dalam menghadapi kerusakan alam, seperti menanam pohon, menanam mangrove, hingga kampanye buang sampah. Ajaran bernada pelestarian alam tidak lagi seruan kosong atau kampanye tak berujung aksi.
Vandhana Shiva, intelektual, pernah bercerita tentang aksi perlawanan atas ketidakadilan atas hak air yang dialami sebagian masyarakat India. Bagi Shiva, korban utama kerusakan alam adalah mereka yang mempunyai peran terkecil dalam menciptakan destabilisasi iklim. Masyarakat kecil tidak memiliki kuasa dalam membabat hutan, meracuni air, hingga mengalih fungsi lahan semena-mena.
Para siswa MAN 1 Banjarmasin dan kawan-kawan mereka tentu merasakan dampak pemanasan global hari ini. Untuk itu, dengan semangat yang sama dalam menjaga kelestarian alam dan kerjasama antar agama yang kuat, mereka melakukan penanaman pohon demi mengurangi dampak pemanasan global.
Para siswa berlainan latar agama tersebut melupakan perbedaan dan berkerjasama demi menghadirkan alam yang lebih baik. Padahal, mereka termasuk korban yang paling sedikit kontribusinya atas kerusakan alam. Kegiatan mereka ini seharusnya menginspirasi kita semua untuk melupakan sekat-sekat agama dan bekerjasama dalam menghadapi dampak lingkungan yang sedang tidak baik-baik saja ini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin