Mbah Ali Maksum Krapyak, Kyai Lugas dan Berwawasan Luas

Mbah Ali Maksum Krapyak, Kyai Lugas dan Berwawasan Luas

Mbah Ali Maksum Krapyak, Kyai Lugas dan Berwawasan Luas
source: aswajamuda.com

Senin 14 Januari 2019 ini Krapyak akan tumpah ruah dihadiri oleh masyarakat di sekitar baik dari Yogyakarta maupun dari luar Yogyakarta. Banyak masyarakat  yang memang selalu menantikan moment haul untuk ngalap  barokah (mencari berkah). Baik dari kalangan santri Mbah Ali yang sudah sepuh, maupun santri-santri alumni generasi selanjutnya.

Kiprah keulamaan Mbah Ali memang tidak bisa diragukan lagi, beliau banyak memberi sumbangsih kemaslahatan bagi masyarakat. Kealimannya mencerahkan banyak persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan masyarakat. Tidak hanya itu, Mbah Ali juga memiliki kiprah yang berpengaruh dalam kepemerintahan.

Beliau memiliki kelugasan dalam menyikapi berbagai hal karena ditopang keilmuan yang amat luas. Luasnya samudera keilmuan yang beliau memiliki membuat beliau dapat melihat persoalan penting dan berani menyentil jika terdapat ketidaksesuaian yang terjadi di pemerintahan.

Sekalipun pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diklaim untuk mensejahterakan rakyat, namun jika itu ternyata memiliki dampak langsung bagi kerugian masyarakat, maka beliau akan dengan tegas menentang. Singkat kata Mbah Ali adalah ulama yang suara-suara pemikirannya tidak bisa diabaikan.

Kita patut bersyukur mengenal sosok ulama seperti Mbah Ali Maksum. Keteladanan beliau bak mata air yang menghilangkan dahaga ilmu kita. Pengetahuan tentang Mbah Ali adalah mata air yang tak pernah kering untuk bisa kita teguk atau kita rujuk dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan yang membutuhkan sentuhan penyelesaian kita. Tentu salah satu caranya adalah dengan mengenang beliau dalam moment haul.

Tokoh ulama besar yang kita cintai seperti Gus Dur, dalam riwayatnya juga pernah nyantri kepada Kyai Ali Maksum. Gus Dur pernah mengulas keteladanan beliau melalui tulisannya dengan mengatakan bahwa Mbah Ali menyuruh santri untuk tekun mendalami hukum agama dari buku-buku fiqh kuno, dan mendorong untuk mendalami literatur studi perbandingan dengan hukum-hukum lain yang dianut di Barat dan Timur.

Apa yang ditulis Gus Dur dalam mengenang sosok Mbah Ali adalah ingin membagikan resep bagi kita untuk memiliki keluasan ilmu. Dalam pandangan Gus Dur yang telah membaca Karl Marx sejak usia Sekolah Dasar, membaca ragam literatur akan menguatkan konsepsi kita perihal kehidupan. Membaca ragam perspektif keilmuan akan memperkaya perspektif kita dalam memecahkan ragam persoalan.

Bagi yang memiliki keluwesan cara pandang terdapat idiom yang mengisyaratkan kita menjadi pribadi yang tidak gumunan (gampang heran). Memang bagaimana sikap gumunan itu? Tak usah jauh-jauh, sikap gumunan dalam konteks literatur wacana keilmuan, salah satunya belum lama ini kita mendapat kabar adanya sekelompok oknum militer yang menyita literatur-literatur wacana kiri di toko buku di Kediri. Tidakkah itu sebuah ironi?

Perhatikan lagi, juga dalam satu riwayat tentang Mbah Ali yang ditulis Gus Dur. Ketika Mbah Ali disodori pertanyaan “Mengapa Kiai menyuruh mereka membaca buku-bukunya Abduh, apakah tidak khawatir para santri “lepas” dari NU?”

Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas, “Kalau membaca buku yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang”.

Kira-kira itulah dari sekian keteladanan Mbah Ali dalam konteks berwacana. Mbah Ali seakan berpesan kepada kita untuk tidak usah takut membaca ragam literatur atau produk pemikiran dari penjuru mana pun. Dikhawatirkan nanti kita menjadi pribadi yang gumunan. Tidak siap menyikapi beragam persoalan di masyarakat.

Membatasi diri dalam berwacana hanya akan mengkerdilkan kita sebagai makhluk berakal. Hal buruknya adalah dalam membimbing masyarakat, kita akan menemui jalan buntu, apabila kita miskin secara teoritis.

Keterbukaan berwacana adalah keharusan. Menjauhkan literatur-literatur dari jangkauan kita, entah menguburnya, membakarnya, membenamkan di dalam perut bumi sekalipun bukanlah sikap bijak bagi kita makhluk berakal.

Seorang tokoh sastrawan dunia, Wiliam Saroyyan pernah berujar; “Jika kau punya secuil rasa hormat pada gagasan dalam sebuah buku, apa yang mereka sumbangkan untuk kehidupan, jika kau percaya pada kertas dan cetakan, kau tak akan bisa membakar halaman-halaman sebuah buku. Bahkan andai pun itu dilakukan agar kau sendiri bisa nyaman saat menulis, kau tak akan bisa melakukannya. Ia akan menuntut terlalu banyak pertanyaan”. (Cerpen Wiliam Saroyan; “Pada Satu Malam yang Dingin”).

Terakhir, kembali pada pandangan Mbah Ali dalam hal  berwacana yang harus dilakukan seluas-luasnya, yang tidak lain adalah untuk membentuk kepribadian NU yang matang, sudah seharusnya kita turut meneladani beliau dalam hal mentradisikan berwacana yang di samping harus tekun, juga tidak membatasi hanya pada tradisi keilmuan kita saja (timur). Tradisi barat dengan kekayaan filsafatnya juga perlu kita remah dan kita sarikan dalam bentuk keluwesan cara bertindak kita selaku kader ulama.

Wallahu A’lam.