Makna dan Hikmah Isra Miraj: Politik Minggir Dulu!!

Makna dan Hikmah Isra Miraj: Politik Minggir Dulu!!

Hikmah diperingatinya Isra Miraj adalah sebagai momentum untuk merenungi kembali bahwa kita sudah kelewat jauh dari sosok yang tulus apa adanya. Kita pun telah kelewat jauh dari sosok yang membela orang-orang tertindas.

Makna dan Hikmah Isra Miraj: Politik Minggir Dulu!!

Menulis mengenai hikmah Isra Miraj di tengah banyaknya orang yang takut terjangkit virus memang sama sekali tidak populis, bahkan di hari ini ketika peristiwa agung tersebut diperingati. Namun justru itu poin terpenting dari Isra’ Mi’raj yang bisa kita ambil. Bahwa agenda Rasulullah saw bukanlah agenda politik praktis yang kerap memanfaatkan populisme untuk meraup elektabilitas. Justru rival Sang Nabi yang menjadikan Isra Miraj ini sebagai sound bite untuk menjatuhkan beliau.

Adalah abu Jahal tokoh Quraisy dari klan Makhzum yang menuduh fenomena kenabian sebagai bagian dari agenda politik dari klan Hasyim. Semula dua klan ini memang saling beradu kehormatan dan kepemimpinan untuk memegang kendali tanah Haram. Abu Jahal bahkan terang-terangan menyatakan persaingan antara klannya dengan klan bani Hasyim. Begini kira-kira:

Bani Hasyim dan Makhzum ibarat kuda yang sama-sama berlari kencang. Mereka menjamu para peziarah kami pun melakukannya tak kalah baik. Mereka melakukan perbaikan ekonomi kami pun tak kalah kaya. Ketika kami –bani Makhzum– hendak menyusul mereka tiba-tiba saja ada anggota mereka yang mengaku sebagai nabi, bagaimana kami hendak menyusulnya, kata Abu Jahal seperti diterangkan oleh Prof. Quraish Shihab dalam bukunya Sirah Nabi Muhammad.

Abu Jahal yang sebelumnya dijuluki masyarakatnya sebagai tetua puak yang bijak memang bukanlah orang beriman. Ia lebih meyakini faktor politis yang mendorong Nabi Muhammad mendaku diri sebagai utusan ilahi. Keyakinan Abu Jahal ini pada abad dua puluh masih juga lestari. Dengan lantang Michael Cook dalam bukunya Muhammad menyatakan jika agama dan politik Muhammad adalah dua aktifitasnya yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa Cook, politik monoteisme adalah senjata revolusi Muhammad untuk melawan orang-orang kafir. Sebelumnya Cook bersama Patricia Crone bersepakat dalam Hagarism: The Making of the Islamic World bahwa dakwah Nabi saw menurut mereka beririsan dengan agenda politik praktis.

Pendapat dua sarjana revisionis tersebut secara eksplisit diimani dan bahkan diamalkan oleh beberapa saudara Muslim di Indonesia. Mereka bahkan tidak segan menyatakan bahwa sempurnanya rahmatan lil alamin-nya Rasulullah tidak akan bisa wujud tanpa adanya kepemimpinan politik yang kuat atau khilafah. Saudara-saudara agen khilafah itu bukan hanya menafikan konsep kenabian yang melampaui agenda politik, tetapi mereka juga mengejawantahkan pemikiran Barat yang sok-sok mereka gugat, setulus akal dan iman.

Kembali pada Isra’ Mi’raj. Selama ini pembahasan mengenai peristiwa bersejarah ini berukutat pada bagaimana prosesi Nabi Muhammad diperjalankan dari al-Haram menuju al-Aqsa dan kemudian ke langit ketujuh. Polemik yang timbul, salah satunya, adalah apakah beliau mengalami itu dengan jasad atau hanya ruh beliau. Semestinya kita sudah selesai dengan pertanyaan bagaimana cara mengimani peristiwa di luar nalar ini. Pertanyaan yang lebih signifikan untuk diajukan mestinya bagaimana konteks masyarakat pada masa itu menyikapi berita Isra’ Mi’raj. Kita mestinya merasa beruntung karena al-Bukhari mencatat satu hadis berkenaan dengan hikmah peristiwa Isra Miraj ini, tepat dengan gambaran respons masyarakat.

لَمَّا كَذَّبَتْنِي قُرَيْشٌ، قُمْتُ فِي الحِجْرِ، فَجَلاَ اللَّهُ لِي بَيْتَ المَقْدِسِ، فَطَفِقْتُ أُخْبِرُهُمْ عَنْ آيَاتِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَيْه

Ketika orang Quraisy mendustakanku, aku berdiri di al-Hijr kemudian Allah tampakkan kepadaku Bait al-Maqdis, aku pun menyampaikan kepada mereka mengenai pertandanya sebagaimana aku lihat.

Jika kita mengacu pada Abu Jahal, sarjana reivisionis, dan agen khilafah, kemudian melihat peristiwa ini menggunakan nalar politik, maka terlihat jelas Nabi Muhammad sama sekali tidak memainkan siasat politik. Mengeluarkan statement bahwa ia telah isra’ terang sekali bukan merupakan ungkapan populis. Justru kabar dari beliau ini menjadi gelombang populisme Quraisy yang saat itu gencar mendustakan beliau. Posisi Nabi secara politik sedang loyo, belum setengah dekade lepas dari boikot yang dilakukan masyarakat Quraisy terhadap klan beliau.

Dan, mengabarkan mengenai isra’ jelas tidak akan menguntungkan beliau. Tapi, sekali lagi, tugas kenabian itu beda dengan politik partisan. Konsep kenabian melampaui politik. Fakhruddin al-Razi menulis dalam Jami’ al-Ulum, seperti dilansir Nasrin Askari dalam bukunya The Medieval Reception of the Shahnama as a Mirror for Princes, bahwa mustahil ada lagi pemimpin yang seperti Nabi Saw. Demi kepemimpinan yang ideal al-Razi meniscayakan adanya fusi antara pemerintah dengan ulama. Kemustahilan ini muncul karena selepas kenabian unsur politik akan mendominasi konteks kepemimpinan. Konsep kenabian yang jujur apa adanya tidak akan pernah selaras dengan agenda politik yang terselubung dan agitatif.

Isra Miraj, dengan demikian, menjadi fragmen besar dalam kesejarahan Islam bahwa orientasi kenabian bukan semata-mata politis. Bahwa kemudian kita , misalnya, sebagai umat beliau terjun dalam dunia politik, itu sah-sah saja, tetapi jangan sekali-kali menyinggung kalau kenabian ada kaitannya dengan tujuan politik. Lebih-lebih agenda politik yang memanfaatkan populisme sebagai modal mobilisasi massa, Nabi saw tidak pantas menjadi sosok naif pragmatis yang populis.

Ketika yang dibela oleh para elit Mekah adalah orang-orang berpunya, Nabi saw justru merangkul orang-orang papa. Ketika penguasa kerap memanfaatkan posisinya untuk pribadi dan keluarganya Nabi Saw justru membagi-bagikan semua yang beliau punya, bahkan mengharamkan diri untuk mewariskan sesuatu pada keturunannya. Ketika para elit berharap mewahnya koneksi dan relasi, beliau justru berdoa agar dikumpulkan dengan mereka yang miskin tak berpunya.

Akhirnya, penting untuk diingat bahwa hikmah dari Isra Miraj ini adalah momentum untuk merenungi kembali bahwa kita sudah kelewat jauh dari sosok yang tulus apa adanya. Kita sudah jauh dari sosok yang membela orang-orang tertindas. Telah jauh pula dari beliau yang dicintai tanpa perlu menyamarkan diri. Kita berjalan ke masa lampau, melihatnya seksama untuk menghidupkan masa kini, lantas naik dan jatuh bangun menjadi manusia seutuhnya.  Allahumma Shalli ala Sayyidina Muhammad…

BACA JUGA Nasib Umat Nabi Muhammad SAW di Masa Depan Telah Tergambar Saat Isra Miraj atau Artikel-artikel tentang Isra Miraj lainnya