Krisis Transparansi, Pemerintah Mesir Bertarung Melawan Corona dan Demi Kepercayaan Publik

Krisis Transparansi, Pemerintah Mesir Bertarung Melawan Corona dan Demi Kepercayaan Publik

Aksi pemerintah Mesir dalam menutup informasi seputar corona diwarnai pengusiran jurnalis asing dan ‘operasi senyap’ protokol karantina Militer.

Krisis Transparansi, Pemerintah Mesir Bertarung Melawan Corona dan Demi Kepercayaan Publik

Pemerintah Mesir dianggap tidak transparan dalam memberikan informasi seputar virus corona yang sudah dikategorikan sebagai pandemi global. Sudah beberapa minggu ini, kecurigaan ini menguat di kalangan penduduk Mesir.

Sejauh ini, pemerintah Mesir tidak melakukan kebijakan lockdown dalam menghadapi corona. Mereka masih memberatkan perhitungan ekonomi, yang menurut mereka akan berdampak buruk bagi jutaan masyarakat jika lockdown dilaksanakan. Akan tetapi, situasi yang terjadi tidak sesederhana itu. Ada kesengajaan penutupan akses informasi yang dilakukan secara sistematis.

Ketika dunia sudah berjibaku melawan virus corona melalui banyak kebijakan, media pro-pemerintah Mesir terus-menerus menayangkan video propaganda. Berusaha meyakinkan publik bahwa pemerintah mampu mengontrol penyebaran sebagaimana China yang sudah sukses mengendalikan virus corona.

Sebuah video dirilis oleh CBC News Egypt pada 23 Maret 2020, berisi film pendek yang menunjukkan kemegahan situs-situs sejarah Mesir, dengan musik-musik patriotik berisi pesan berbahasa Arab, dan diselingi footage dari pemerintah China yang berhasil mengendalikan corona.

 

Akan tetapi upaya-upaya propaganda seperti ini justru menjebak Al-Sisi dan pemerintahannya ke dalam dua pertempuran sekaligus: pertarungan melawan wabah corona dan bertarung untuk memenangkan kepercayaan publik.

Penutupan informasi pemerintah Mesir diwarnai dengan insiden pengusiran secara paksa kontributor Guardian, Ruth Michaelson, pada tanggal 18 Maret 2020. Michaelson menulis sebuah artikel yang mengutip jurnal ilmiah dari Universitas Toronto, yang menyebutkan bahwa potensi kasus positif corona di Mesir ada di angka 19.000, sekurang-kurangnya 6.000. Sementara pemerintah Mesir bersikeras mengumumkan hanya ada tiga kasus.

Aksi pengusiran paksa semacam ini adalah langkah pemerintah untuk merebut hegemoni wacana tentang virus di tengah publik. Apa yang dilakukan pemerintah Mesir tampak berjalan mulus, sebelum kemudian dihantam dengan kematian mengejutkan di lingkaran pejabat militer. Dua pemimpin militer senior Mesir dipastikan meninggal dunia akibat virus corona dalam rentang kurang dari 24 jam.

Yang pertama adalah Mayor Jenderal Khaled Shaltout, kepala proyek perairan di lembaga teknik angkatan bersenjata Mesir yang dinyatakan meninggal pada tanggal 22 Maret. Keesokan harinya, Mayor Jenderal Shafea Abdel Halim Dawoud juga dinyatakan meninggal. Keduanya berada di dalam departemen yang sama.

Nama Dawoud ternyata merupakan satu dari 15 nama pemimpin militer Mesir yang diduga terinfeksi virus corona. Kelima belas nama tersebut terdapat dalam dokumen yang beredar secara luas di media sosial Mesir. Dengan viralnya dokumen tersebut, publik akhirnya tahu bahwa jumlah kasus positif corona tidak hanya tiga sebagaimana diberitakan. Sekaligus memberi pemahaman pemerintah sedang mempunyai agenda penutupan informasi di dalam penanganan virus corona.

Militer memang memainkan peran yang tidak sepele dalam penutupan informasi ini. Meskipun telah diketahui bahwa ada penyebaran di kalangan pejabat Militer, tetapi tidak ada upaya preventif untuk mencegah penyebaran virus ini. Militer masih tetap berjabat tangan dan cium pipi kanan-kiri sebagaimana tradisi Mesir seperti berjalan dengan normal saja, meski tetap ada operasi yang dilakukan dalam senyap.

Di media sosial tersebar sebuah dokumen “top secret” yang berisi prosedur karantina untuk para tentara yang berangkat maupun kembali dari barak Militer di beberapa wilayah. Secara spesifik dokumen tersebut menyebutkan wilayah Alexandria, Qena, Menya, Menoufia dan Doomyat.

“Sampai pemberitahuan lebih lanjut, semua perjalanan menuju lokasi-lokasi tersebut dengan ini dinyatakan dilarang. Semua yang kembali dari lokasi tersebut dalam 72 jam terakhir harus mengikuti prosedur karantina selama 15 hari.”

Ironisnya, ini adalah pertama kalinya ada pernyataan dan pemetaan bahwa kelima lokasi tersebut adalah zona merah. Lebih jauh lagi, pemetaan kelima wilayah tersebut seharusnya mencakup ratusan ribu penduduk, bukan hanya ratusan tentara dan pejabat Militer Mesir. Tersebarnya dokumen rahasia itu hanya menunjukkan bahwa krisis yang dialami lebih parah dari apa yang terlihat.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Mesir berdasarkan dokumen-dokumen rahasia tersebut, sangat kontras dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Al-Sisi dalam sambutannya: “Masyarakat kita, penduduk Mesir, sangat berharga bagi kami seperti halnya seluruh umat manusia di dunia.”

Dan ketertutupan informasi tersebut membuat pemerintah Mesir harus bertarung dalam dua pertempuran sekaligus: melawan wabah, dan bertarung demi meraih kembali kepercayaan warganya.

Baca juga: Nasib Mahasiswa Indonesia di Mesir Saat Wabah Corona: Diteriaki Cina Sampai Tidak Boleh Masuk Gedung

 

Tulisan ini diolah dari artikel asli berjudul Coronavirus and cover-up: Egypt’s two-fronted war oleh Amr Khalifa dari Middleeasteye.net