Kisah Seorang Budak Doanya Langsung Dikabulkan oleh Allah

Kisah Seorang Budak Doanya Langsung Dikabulkan oleh Allah

Kisah Seorang Budak Doanya Langsung Dikabulkan oleh Allah

Di suatu masa, Mekah sedang dilanda kemarau. Orang-orang pun berkumpul di Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat istisqa’ (shalat untuk meminta hujan). Sayangnya, hujan tak kunjung turun.

Abdullah bin Mubarak adalah salah satu peserta shalat istisqa’ itu. Di sampingnya, ada seseorang bekulit hitam dan begitu kurus (sebut saja Fulan). Fulan berdoa, “Ya Allah, orang-orang berdoa kepadaMu namun tidak Engkau kabulkan. Sekarang, aku memohon kepadaMu agar Engkau berkenan menurunkan hujan kepada kami!”

Tak lama setelah itu, hujan pun turun dengan sangat lebat. Fulan kemudian pergi. Abdullah mengikutinya dari belakang. Hingga akhirnya, Abdullah mengetahui tempat singgah si Fulan tersebut, yakni di suatu tempat perdagangan budak. Setelah itu, Abdullah pulang ke rumahnya.

Esok harinnya, Abdullah mendatangi tempat penjualan budak itu, berniat untuk membeli si Fulan. Kepada pemilik toko, Abdullah berkata, “Aku akan membeli seorang budak”. Pemilik toko mengeluarkan empat puluh budak miliknya, agar Abdullah bisa memilih mana yang ia suka. Sayangnya, Fulan sama sekali tak terlihat ada di antara budak-budak itu. Abudllah bertanya, “Masih ada lagi?”.

“Ada. Namun budak yang satu ini sakit-sakitan,” jawab pemilik toko kepada Abdullah.

Singkat cerita, Abdullah membeli si Fulan. Mereka berdua akhirnya pulang bersama. Di tengah jalan, Fulan bertanya kepada Abdullah, “Tuan, mengapa engkau mau membeli budak seperti aku, padahal aku adalah budak yang sakit-sakitan?”

Abdullah menjawab, “Karena aku melihat kejadian tempo hari itu” (tentang keramat yang dimiliki si Fulan, yakni doanya yang langsung dikabulkan Allah, pen.)

Fulan langsung bersandar di suatu tembok dan berdoa, “Ya Allah, jika Engkau menampakkan keramataku, maka aku memohon kepadaMu agar Engkau mencabut nyawaku!”. Seketika Fulan pun terjatuh dan meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raj’un.

Kisah di atas terdapat dalam kitab Karamat al-Awliya’ karya Hibatullah bin al-Hasan al-Thabari Al-Lalakai. Lewat kisah di atas, kita bisa bisa mengambil banyak hikmah. Salah satunya adalah hendaknya selalu menyembunyikan kebaikan dan kehebatan yang dimiliki.

Sejatinya, perihal menyembunyikan atau menampakkan kebaikan adalah pilihan belaka. Semuanya bernilai baik manakala dilakukan dengan niat yang baik pula. Semisal, menyembunyikan kebaikan karena ikhlas lillahi ta’ala (agar terhindar dari perasan sombong, misalnya) atau menampakkan kebaikan sebagai sarana untuk mengajak orang lain agar juga mau berbuat baik (seperti seorang guru yang menceritakan perjuangan dan kesuksesan dirinya agar murid-muridnya bisa mengambil pelajaran darinya).

Hal ini telah disinggung dalam Al-Qur’an ketika menjelaskan tentang sedekah. Allah Swt. berfirman:

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapu sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Baqarah [2]: 271)

Sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (tidak diketahui orang lain) belum tentu lebih baik daripada sedekah yang ditampakkan. Semua tergantung kepada kemaslahatan yang akan ditimbulkannya. Jika menampakkan sedekah dilakukan sebagai sarana mensyiarkan agama Islam dan agar diikuti orang lain, maka itu lebih baik daripada menyembunyikannya. Begitu kurang lebih penjelasan dalam tafsir al-Sa’di.

Walhasil, semua kembali kepada niat pelakunya. Jika ia yakin dengan menampakkan kebaikan bisa menjadi sarana dakwah maka itu tentu lebih baik. Namun justru jika itu berpotensi menjadi ajang untuk sombong, maka tentu menyembunyikan kebaikan lebih layak dilakukan. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Hibatullah bin al-Hasan al-Thabari Al-Lalakai, Karamat al-Awliya’ (Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, 2010), 182-183.

Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’diy, Taysir al-Kalam al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan (Riyadh: Dar al-Salam, 2002), 118.