Kisah Peradaban Islam: Mesir Pernah Bersinar, Jepang pun Datang Belajar

Kisah Peradaban Islam: Mesir Pernah Bersinar, Jepang pun Datang Belajar

Dalam sejarah, Mesir pernah begitu digdaya dan Jepang bukan apa-apa. Kini, dunia berputar sebaliknya.

Kisah Peradaban Islam: Mesir Pernah Bersinar, Jepang pun Datang Belajar

Masjid Muhammad Ali Pasha, dibangun sepanjang tahun 1830-1848 M oleh Muhammad Ali Pasha, wali (gubernur) Turki-Ottoman untuk wilayah Mesir. Berdiri megah di puncak bukit sekaligus kawasan benteng Shalahuddin al-Ayyubi. Seluruh dinding masjid, baik luar ataupun dalam, berbahan utama alabaster (marmer). Sebab itu, masjid ini juga disebut “Masjid Marmer”.

Masjid Marmer diarsiteki oleh Mimar Bosnak Yusuf dari Bosnia, menyerupai bangunan Masjid Sultan Ahmet di Istanbul dengan sedikit sentuhan tambahan berupa perpaduan corak Turki-Ottoman-Eropa.

Muhammad Ali Pasha adalah orang Albania, lahir di pesisir Yunani, menjadi gubernur imperium Ottoman (Turki) untuk kawasan Mesir. Ia pun membangun masjid yang diarsiteki oleh seorang Bosnia. Semua kawasan-negeri tersebut (Albania, Yunani, Turki, Mesir, Bosnia) pada zaman itu masuk dalam satu wilayah kekuasaan imperium besar Turki-Ottoman.

Ia dikenal sebagai bapak pembaharuan Mesir. Ia didaulat menjadi wali (gubernur) imperium Turki-Ottoman untuk wilayah Mesir pada tahun 1805 M dengan sokongan penuh dari para bangsawan-Mamluk dan juga para ulama Mesir.

Penobatan ini menyusul kesuksesan karir militernya yang berhasil mengusir pasukan Prancis dari Mesir pasca pendudukan Napoleon Bonaparte (1798-1801 M) dengan dibantu pasukan Inggris.

Keindahan masjid ini mampu melambungkan imajinasi kita pada kemajuan

Sang “Wali” banyak melakukan pembaharuan di pelbagai bidang, utamanya militer, tata negara, industri, dan pendidikan. Pada masa pemerintahannya pulalah dunia Arab-Islam mulai melakukan kontak budaya dengan Eropa Modern. Muhammad Ali Pasha mengirimkan para putra terbaik Mesir untuk belajar di Paris dan Vienna, menyerap berbagai macam pencapaian dan kemajuan Eropa kala itu, untuk kemudian ditransformasikan di tanah Mesir.

Namun, Ali Pasha tidak melepas begitu saja kader-kadernya. Dia menugaskan Shaikh Rafi’ Rifa’ah Thahthawi untuk menjadi pengawas dan pembimbing spiritual rombongan itu. Pembimbing juga bertugas memberikan pelajaran kebudayaannya sendiri, agar para kader tak hilang identitasnya sebagai orang Mesir.

Proyek ini sukses besar. Sepulangnya dari Eropa, para putra terbaik Mesir itu pun bekerja melakukan banyak pembaharuan dan pemajuan negara, berkhidmah bersama sang Wali Muhammad Ali Pasha.

Mereka merancang dan mendirikan sekolah-sekolah modern, utamanya sekolah kedokteran, akademi militer, teknik, industri, arsitektur, seni dan bahasa (alsun) pun didirikan serta dikelola dengan baik. Bangunan-bangunan baru sekolah tersebut didirikan dengan citarasa arsitektur yang tinggi, memadukan corak khas Mesir-Turki-Eropa.

Satuan militer pun banyak mengalami pembaharuan dan pengembangan luar biasa, hingga pasukan militer Muhammad Ali Pasha pun menjadi yang terkuat di kawasan. Ketika pemberontakan Wahhabi-Saudi meletus di kawasan Hijaz (Semenanjung Arabia) pada 1807 M, Sultan Ottoman pun menugaskan Muhammad Ali Pasha untuk menumpas pemberontakan tersebut

Muhammad Ali Pasha sezaman dengan masa pemerintahan Sultan Mahmud II, penguasa Turki-Ottoman yang juga atasan-junjungannya. Periode Sultan Mahmud II dicatat sebagai periode “tanzimat” di mana imperium Turki-Ottoman melakukan pembaharuan di pelbagai bidang secara besar-besaran. Proyek pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali Pasha di atas rupanya mengikuti proyek “tanzimat” ala Sultan Mahmud II.

Pada tahun 1862 M, Kaisar Jepang Meiji, yang dikenal sebagai bapak pembaharuan Jepang, mengirimkan rombongan utusannya ke Mesir untuk belajar bagaimana negara itu sukses melakukan pembaharuan dan mencangkok modernisme Eropa. Rombongan Jepang itu dipimpin oleh Fukuzawa Yukichi.

Diceritakan dalam catatan perjalanannya (Seiyō Jijō/ 西洋事情), bahwa ia begitu terkesima ketika melihat belasan gerobak kereta dapat berjalan sendiri dengan cepat di atas jalan besi dari Kairo ke Suez. Pada masa itu di Jepang belum ada kereta uap dan gas, sementara di Mesir sudah ada.  Fukuzawa juga terkagum-kagum dengan banyaknya sekolah-sekolah modern di Kairo dan Shubra yang mengajarkan ilmu pengetahuan secara takhashshush (spesialiasi), juga kekagumannya akan mesin cetak yang bekerja di Maktabah Amiriyyah, Kairo, juga dengan mesin-mesin industri lainnya yang bekerja sangat produktif.

Itu dulu. Dunia rupanya terus berputar membolak-balikkan sejarah bangsa-bangsa.

Kini, beda Mesir, beda Turki, dan beda pula Jepang. Kini Jepang dan Turki sudah ke mana, sementara Mesir sedang di mana.

Saya tak tahu apa yang akan ditulis oleh Fukuzawa andai ia melancong ke Mesir di zaman ini, dan apa yang akan diperbuat oleh Muhammad Ali Pasha jika ia melihat Mesir yang dulu jaya dipimpinnya dalam keadaan yang “seperti sekarang ini”. []

Ikuti kisah menarik lainnya di jejaring media islami Alif.id