Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan Bin al-Hasan Bin Yasar al-Bashri, Ia lahir pada tahun 22 H – dua tahun terakhir dari kepemimpinan ‘Umar bin Khattab (W.23 H) – . Ibunya adalah Khadimah (pembantu) dari Ummi Salamah (Istri Nabi Muhammad). Pada saat ibunya melahirkan, ibunya membawa bayi (Hasan al-Bashri) kepada khalifah ‘Umar untuk meminta Sayyidina Umar mendoakan bayinya. Kemudian ‘Umar mendoakan bayi tersebut dengan do’anya:
“اللهم فقهه في الدين وحببه إلى الناس “
“Ya Allah jadikanlah bayi ini kelak menjadi orang yang memahami agama dan orang yang dicintai manusia”
Hasan al-Bashri adalah salah satu tabiin terkemuka. Ia terkenal akan kewira’ian, keilmuan, dan kefasihan perkataannya. Menurut Sezgin, ia merupakan tokoh yang diperebutkan oleh hampir semua kalangan sebagai “ikon”, baik kalangan ahlussunnah wal jamaah maupun muktazilah. Ia wafat pada tahun 110 H atau bertepatan dengan tahun 728 M. Hampir seluruh penduduk Madinah turut mengantarkan saat jenazahnya disemayamkan.
Tetangga Penyembah Api
Hasan al-Bashri memiliki seorang tetangga bernama Simeon. Ia adalah seorang penyembah api. Suatu hari Simeon jatuh sakit dan dalam keadaan sekarat. Hasan al-Bashri menjenguk dan mengajaknya untuk masuk Islam. Kemudian Simeon meminta Hasan untuk memberinya pernyataan tertulis bahwa Tuhan tidak akan menghukumnya. Hasan memenuhi permintaan itu. Simeon ingin dokumen itu diletakkan dalam tangannya di kuburan bila ia mati. Permintaan Simeon dikabulkan oleh Hasan al-Bashri.
Singkat cerita, Simeon meninggal. Hasan al-Bashri ikut serta dalam prosesi pemakamannya. Kemudian Hasan al-Bashri kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia merenungkan apa yang telah dilakukannya terhadap Simeon termasuk mengajaknya masuk Islam.
Dalam mimpinya, ia melihat Simeon memancarkan cahaya bagaikan lilin. Simeon terlihat sedang mengenakan jubah yang bagus dan di atas kepalanya ada mahkota. Ia berjalan-jalan sambil tersenyum di taman surga:
“ Apa kabar Simeon?” Hasan bertanya.
“Mengapa anda bertanya? Anda bisa melihat sendiri. Tuhan yang Maha Kuasa dengan rahmat-Nya membawaku ke Hadapan-Nya dan dengan sangat ramah menunjukkan wajah-Nya kepadaku. Nikmat-nikmat yang diberikan kepadaku tidak bisa digambarkan. Jaminan Anda telah diterima, jadi sekarang ambillah kembali dokumen Anda. Saya tidak membutuhkannya lagi.”
Ketika Hasan bangun, ia melihat kertas itu di tangannya dan memekik, “Tuhan, aku tahu bahwa apa yang Engkau lakukan ada sebabnya. Sungguh luas rahmat-Mu. Siapa yang akan menderita kerugian di pintu-Mu? Engkau mengabulkan seorang kafir berusia tujuh puluh tahun untuk datang ke Dekat-Mu dengan satu ucapan. Lantas bagaimana Engkau akan melarang seorang beriman berumur tujuh puluh tahun.
Inilah secuil kisah dari seorang sufi generasi tabiin yang menggambarkan bahwa kenikmatan seseorang di akhirat kelak tidak dapat diketahui oleh siapa pun terkecuali oleh Allah SWT sendiri. Simeon yang selama berpuluh tahun menyembah api kemudian di akhir hayatnya ia justru husnul khatimah. Semua dosa-dosanya diampuni. Ia masuk surga dan menikmati kebahagiaan di akhirat. Salah satu hikmah yang dapat kita petik dari kisah ini adalah bahwa tidaklah berguna dan bernilai kita menilai kadar keimanan atau bahkan kemusyrikan orang lain. Sebab, siapa tahu ia justru lebih mulia dari kita di akhir hidupnya; Husnul khatimah sebagaimana Simeon.
Sumber Bacaan:
Baha’ al-Din al-Kindi, Al-Suluk fi thabaqat al-‘Ulama wa al-Muluk, Shan’a-Maktabah al-Irsyad, tt
Fuat Sezgin, Tarikh at-Turats al-Arabi, vol. IV
Wahid Bakhs Rabbani, Islamic Sufism,pent: Burhan Wira Subrata, Jakarta-Sahara, cet.I 2004