Ketika Pawai MTQ Diramaikan oleh Pendeta dan Jemaat Gereja

Ketika Pawai MTQ Diramaikan oleh Pendeta dan Jemaat Gereja

Ini kisah di kampungku, ketika MTQ justru banyak sahabatku dari berbeda agama datang

Ketika Pawai MTQ Diramaikan oleh Pendeta dan Jemaat Gereja
Sungguh indah toleransi dari kejadian-kejadian kecil seperti ini

Jam dua siang itu, pada awal Maret yang cukup terik, sebuah truk proyek berhenti di depan gereja GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor alias nama sebuah sinode Gereja Protestan arus utama yang paling dominan di NTT, sama halnya dengan GKE di Kalimantan ataupun GPM di Maluku) jemaat Abarim. Serombongan anak remaja segera naik dalam truk itu yang lalu menuruni jalanan berlubang dan penuh batu lepas lalu berhenti di depan kantor desa. Di sana sudah bersiap-siap anak remaja dari GMIT jemaat Ekklesia dan jemaat Immanuel dalam pakaian adat lengkap dengan semua aksesoris dan hiasan.

Truk yang sarat muatan anak remaja dan pemuda serta sebagian ibu dan bapak lengkap dengan sarung dan selendang mereka ini bertujuan ke pelabuhan. Truk proyek ini disediakan pemerintah Desa Leer memang untuk menjemput jemaat gereja yang akan ikut pawai MTQ di pusat Kecamatan Pantar Barat.

Sebelum bingung mengapa harus truk, jawabannya sederhana, di sini tidak ada mobil. Hanya ada truk proyek dan sepeda motor. Bahkan truk proyek itu sebetulnya barang baru yang hadir karena adanya proyek pengerjaan jalan. Itu sebabnya orang di sini mengistilahkan pergi ke ibukota kabupaten, yakni Kota Kalabahi di Pulau Alor yang untuk ke sana harus ditempuh dengan perahu motor selama 4-5 jam perjalanan, dengan sebutan “naik oto merah” yang artinya naik mobil merah (mobil angkot di sana berwarna merah).

Kecamatan Pantar Barat adalah salah satu dari lima kecamatan yang ada di Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di Alor katanya memang sudah biasa jemaat gereja ikut pawai MTQ dan jemaah masjid meramaikan acara Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) namun baru kali ini saya melihat sendiri dan ikut serta dalam keramaian ini. Beberapa minggu sebelum MTQ sudah disebarkan surat dari panitia ke masjid, gereja, kantor, dan toko tentang sumbangan MTQ. Gereja-gereja menyumbangmasing-masing Rp 500 ribu ke panitia. Di luar sumbangan wajib pun jemaat gereja mengantarkan beras, jagung, dan kayu api untuk keperluan peserta MTQ.

Di Pelabuhan Baranusa masing-masing kontingen alias khafilah MTQ berkumpul dalam barisan masing-masing, baik dari PAUD, SD, MI, MTs, MA, ibu PKK, dan masing-masing desa dari 7 desa yang ada di Kecamatan Pantar Barat. Rombongan Desa Leer ini memang yang terbanyak dibandingkan desa-desa lain, bahkan jemaat gereja dari Desa Leer yang mengantar jumlahnya berkali lipat lebih banyak daripada peserta MTQ utusan desa. Semua menjadi satu membawa spanduk dan plang khalifah MTQ Desa Leer, mereka tidak membawa papan bertuliskan asal kampung maupun jemaat masing-masing. Pawai dimulai dari pelabuhan dan berakhir di kantor kecamatan. Jaraknya kira-kira 600 meter saja dan semua orang baik yang berpawai maupun yang menonton sama-sama gembira.

Ini bukan gerak jealan, jadi yang pentig semua orangberjalan santai dalam rombongannya. Ibu-ibu yang menggandeng anak bahkan menggendong anak pun tetap semangat mengikuti pawai ini. Padahal kalau dipikir sebetulnya jauh juga jarak dari kampung masing-masing hingga ke kecamatan lalu ikt pawai dan nanti pulangnyajua berjalan kaki karena oto proyek tidak mengantar lagi. Semangat kebersamaan itu yang ebuat mereka mau ikut serta berama-ramai. Jumlah peserta MTQ Desa Leer sendiri tidak banyak, hanay sekitar 20-an anak remaja, namun yang mengantar ini sampai ratusan orang.

Di sini hampir semua Muslimah mengenakan jilbab. Jadi sebetulnya mudah membedakan tampilan fisik mana jemaah masjid dan mana jemaat gereja. Baju adat untuk perempuan di sini terdiri dar sarung dan kain dengan semua aksesorisnya seperti waringkas (tusuk konde), gelang, kalung, ikat pinggang, dll. Kain sarung motif Pantar ini punya ciri khas sendiri, biasanya didominasi warna mereah dan hitam dengan berbagai corak. Kain inilah yang juga digunakan para Muslimah sebagai jilab, kerudung, sarung, maupun ikat pinggang.

Jadi meskipun para Muslimah ini tidak lagi memakai baju adat standar, namun kain sarung Pantar ini dimodofikasi penggunaannya sehingga tetap menjadi identitas orang Pantar.

Rombongan pawai berakhir di kantor kecamatan lalu dimulai upacara pembukaan. Dalam sambutannya, komandan upacara berharap bahwa kegiatan MTQ menajdi momen kebersamaan semua orang di sini. Harapan itu memang sudah tercapai bukan? Pada malam hari acara pembukaan MTQ juga GMIT Jemaat Ekklesia mengutus kelompok paduan suaranya dan nanti pentupan MTQ menjadi giliran GMIT Jemaat Abarim untuk mengisi acaa dengan lagu-lagu yang pernah mereka nyanyikan di lomba Pesparawi tahun lalu.

Di MTQ maupun di Pesparawi juga ketika masing-masing meramaikan acara dengan qasidah di Pesparawi dan paduan suara di MTQ, semua pihak tetap menyatakan iman masing-masing. Iman yang tidak akan bisa dijembatani karena perbedaan prinsipil tentang nabi terakhir dan tuhan juruselamat. Namun di sini perbedaan tidak dicari dan persamaan tidak dipaksakan. Semua terjadi alamiah sebagai sesama saudara dan saudari dari keluarga Pantar.

Selesai dari upacara pembukaan, Tim Desa Leer pun beranjak ke lokasi rumah peserta MTQ utusan desa. Masing-masing desa punya rumah penginapannya sendiri di kecamatan ini. Kepala desa, aparat desa, tokoh-tokoh kedua agama, dan semua yang berkepentingan terhadap kontingen ini menuju rumah tersebut. Para tokoh Muslim ini memanggil para remaja peserta MTQ untuk bersalaman dengan ibu pendeta jemaat Abarim agar didoakan berhasil di ajang MTQ. Tidak ada doa khusus selain ucapan tulus dari pendeta, tokoh-tokoh, dan kepala desa agar mereka berhasil. Sebagai keluarga sedesa, mereka mendoakan keberhasilan ini dan mendukung dengan kehadiran, doa, serta sumbangan logistik.

Di seluruh daerah ini, orang Muslim fasih mengucapkan Shalom sebagai salam bila menyapa orang Kristen dan demikian juga sebaliknya umat Kristen fasih mengucapkan assalamualaikum untuk menyapa orang Muslim. Secara substansial, keduanya Shalom dan Assalamualaikum memang berarti sama yakni damai bagimu. Ini hanyalah bahasa yang maknanya sama.

Di tempat-tempat lain yang terpapar virus radikalisme dan fundamentalisme, penggunaan kedua kedua jenis salam ini bisa saja menjadi masalah karena menjadi entitas pemisahan dan mereka yang terpisah adalah orang lain.  Tidak demikian halnya di sini, kedua istilah salam ini biasa untuk diucapkan sebagai bentuk doa memintakan kedamaian bagi yang disapa.

Shalom dan Assalamuailaikum berasal dari rumpun bahasa Semit. Dalam bahasa Ibrani, ucapan yang lengkap adalah Shalom Aleichem dan si penerima salam harus membalasanya dengan Aleichem Shalom. Bukankah itu sama persis dengan Assalamualaikum dan Waalaikumsalam? Di sini tidak ada orang yang memusingkan soal asal muasal kata dan penggunaan pada sesama orang beragaa sama maupun berbeda. Shalom dan Assalamualaikum disuarakan bersandingan.

Andaikan semua tempat sedamai di sini  (meskipun tentu di sini pun tidak luput dari perkelahian dan tawuran antar kampung yang bisa berujung dengan membawa-bawa agama) keadaan beragama kita jauh lebih indah dan toleran.