Kesombongan Beragama: Sebuah Narasi Untuk Afi

Kesombongan Beragama: Sebuah Narasi Untuk Afi

Kesombongan Beragama: Sebuah Narasi Untuk Afi

 

Seorang perempuan bernama Afi Nihaya Faradisa dari   Banyuwangi menuliskan statusnya yang cukup panjang dan kritis. Status itu diposting di salah satu media sosial yang dimilikinya, mendapatkan atensi cukup besar. Bayangkan yang membagikan statusnya tersebut tembus di angka 40 ribu kali, dan apresiasi dari kolom komentar juga tembus di angka puluhan ribu. Komentarnya pun hampir berimbang, dari yang menyanjung hingga menghujat, dari pujian hingga sumpah serapah, dari yang pakai kata-kata baik hingga kata-kata yang tak pantas ditulis di media sosial.

Kecerdasan status Afi pun tak berhenti di situ saja, beberapa hari setelah statusnya berjudul “warisan” itu Afi pun menulis  sebuah status lagi yang bertemakan kegalauan seorang gadis muda betapa tidak kondusifnya bertukar ide dan pemikiran di media sosial (Baca: Warisan: Tulisan Reflektif Remaja Banyuwangi yang Menuai Kontroversi). Dia mengusulkan kepada remaja-remaja seumurannya untuk tidak berlaku kritis karena hanya akan mendatangkan caci maki yang melihatnya akan bikin sakit hati.

Namun beberapa hari yang lalu, kita juga dikejutkan sebuah video yang merekam sekelompok anak kecil berpawai obor untuk menyambut bulan suci namun malah meneriakkan kata-kata “bunuh xxxx (salah satu terpidana penistaan agama)”.

Mungkin bagi mereka dengan akan membunuh yang mereka sebut itu akan menambah kesucian bulan Ramadhan. Kita dibuat cukup bingung bagaimana sekelompok anak kecil sudah mengucapkan dengan semangatnya kata-kata yang seharusnya tidak boleh, karena menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja akan berurusan dengan hukum.

Saya melihat dari dua kejadian di atas, adanya ketidak kondusifan dalam berbagi pemikiran ini dan membuncahnya semangat keberagamaan yang ditampilkan dalam kata “bunuh” adalah sebuah gejala membuncahnya kesombongan dalam beragama. Saya memberikan kata kesombongan bukan ujug-ujug karena saya menilai adanya perasaan kebenaran mutlak dan perlunya menghilangkan fitrah perbedaan dalam kehidupan ini walau cuma lewat kata yang menyerang pribadi yang mengeluarkan pendapat yang berbeda.

Ada sebuah adagium latin “Vanitas Vanitatum (Kesombongan adalah sia-sia)””. Aforisme ini memiliki makna bahwa perilaku sombong adalah kesia-siaan, karena perilaku ini akan membutakan kita pada kebenaran yang ada di depan. Bahkan Nabi Muhammad memperingatkan kita bahwa “Tidak akan masuk surga, jika masih ada di diri kalian kesombongan walau sebesar atom”.

Bahkan jika kita membuka lembaran sejarah, Firaun yang sombong tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Musa, Abu Lahab yang notebene paman langsung Nabi pun tidak menerima bahkan menolak ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad disebabkan salah satunya karena kesombongannya. Dari kesombongan juga bisa berawal sebuah perang, semisal Nazi di Jerman yang sang fasis tersebut ajaran utamanya adalah sebuah kemurnian dan kebanggaan sebagai bangsa Arya khususnya kulit putihnya.

Gus Dur (Abdurrahman Wahid) pernah menuliskan sebuah esai yang patut untuk kita baca kembali, berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Dalam esai tersebut Gus Dur sangat menekankan sebuah sikap terbuka dalam menghadapi sebuah perbedaan, sebab Islam yang hidup dalam pengalaman seorang Afi yang sangat muda sudah seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua, agama yang dipahami dan dijalani oleh seorang Afi sangatlah mungkin berbeda dengan apa yang kita alami semua.

Namun dalam tulisannya, Afi yang bernama lengkap Afi Nihaya Firdasa seakan-akan memukul rasa keberagamaan kita yang selama ini kita pegang. Afi seakan-akan menegaskan bahwa seorang gadis muda yang hidup di sebuah desa kecil di ujung timur pulau Jawa juga mempunyai hak untuk menyuarakan sebuah nilai kebenaran yang layak untuk kita dengar.

Jika kita bandingkan dengan sekolompok anak kecil yang sudah diajarkan untuk meneriakkan kata-kata seperti bunuh-bunuh kepada seseorang, apa yang dilakukan Afi lebih beradab dan terhormat. Karena Afi masih menekankan untuk menyuarakan tanpa menghakimi orang salah atas sebuah pilihan yang sudah ia pilih sebelumnya. Tapi sayang seribu sayang, tak semua kita memang memiliki hati dan pikiran yang terbuka dalam membaca status Afi tersebut oleh sebab itu, tak terhindarkanlah bullying dan menyerang pribadi yang jelas-jelas di luar konteks tulisan tersebut.

Tak sedikit orang yang tidak tergetar hatinya saat melihat anak-anak yang masih belia tersebut meneriakkan kata “bunuh” untuk orang yang dibencinya, namun malah belingsatan saat membaca sebuah status yang ditulis dengan sangat cerdas oleh gadis belia. Mereka menyerang Afi dengan semangatnya namun diam di kasus teriakan anak-anak tersebut, sebab bagi mereka suara anak-anak tersebut mewakili sebuah perasaan mereka akan kebenaran yang mereka miliki.

Inilah yang membuat Gus Dur memperingatkan kita dalam esainya, kata “Islam Kita” akan sangatlah sulit dikonsepsikan sebab perbedaaan pengalaman yang membentuk “Islamku” dengan isi dan bentuk “Islam Anda”. Konsepsi “Islam Kita” menurut Gus Dur akan cenderung dipaksakan oleh sementara orang. Mereka akan dengan pongahnya menegaskan bahwa merekalah yang akan menjadi representasi dari Islam. Padahal ada banyak orang Islam yang juga tidak sependapat dengan mereka.

Beginilah jika rasa kebanggaan kita akan agama kita sendiri malah membuat kita lupa bahwa kita hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda, baik beda agama, suku, ras, bahkan kewarganegaraan. Jika saling ejek, hina dan caci maki dibiasakan apakah semuanya akan selesai. Saya kira akan sangat jauh dari kata damai, rasa keterancaman dan selalu disakiti selalu menjadi alasan untuk membalas menghina, mencaci dan mengejek. Bukankah hidup dengan sikap-sikap tersebut malah akan mengeraskan atau meruncingkan perbedaan di antara kita?

Ada banyak permasalahan yang lebih esensial yang perlu dibincangkan, selain permasalahan perbedaan ini. Kemiskinan yang semakin nyata, kesenjangan yang yang semakin lebar. Apakah masyarakat kita harus selalu disuguhi apa yang ditulis oleh Afi saling beradu superioritas namun tak mencari titik temu? Ah, kadang melihat kesombongan dalam beragama ada perasaan lelah, namun kita kembali diingatkan oleh Afi, bahwa kita tidak harus berpikir sama, tapi marilah sama-sama berpikir.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah frase arab yang sering diajarkan di sekolah-sekolah “’ainur ridha an kulli ‘aibin kalilatun, wama anna ‘ainus shukhthi tubdi’u masawi (memandang sesuatu dengan cinta akan membuat semua aib akan terlihat tumpul, begitu pula memandang sesuatu dengan rasa benci maka semua akan terlihat buruk)”.

Begitu juga dalam kasus Afi ini, ketika kita melihat semua hinaan dan caci maki yang dialamatkan kepada dia, kemungkinan besar orang yang mencaci dan menghina tersebut memandang Afi hanya dengan kacamata kebencian yang akan mengawali membuncahnya kesombongan dalam beragama. Tabik

Penulis adalah anggota Jaringan GUSDURian Kalimantan Selatan dan Penggiat Literasi