Kesanku terhadap Prof. Quraish Shihab: Tentang Hidayah

Kesanku terhadap Prof. Quraish Shihab: Tentang Hidayah

Kesanku terhadap Prof. Quraish Shihab: Tentang Hidayah

Keterangan Prof. Quraish Shihab dalam al-Mishbah jilid 1 tentang “hidayah” bisa dijumpai dalam tafsir ayat 6 dari surat al-Fatihah. Ihdinas shiratal mustaqim –bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan yang lebar dan luas.

Jabaran panjang beliau tentang hidayah menumpu pada kata “ihdina”, bimbing (antar)lah kami –atau umumnya kita mengartikannya “berilah kami petunjuk”.

Bagi mukmin, hendaknya diyakini dengan keyakinan mendalam (haq) bahwa segala hal, kejadian, termasuk keberadaan hidup kita semua kini, merupakan ketetapan dan kehendak Allah Swt. Tidak ada yang tidak.

Jika di suatu pagi Anda menyaksikan anak ayam yang baru menetas sedang menotoli butiran-butiran beras lembut di tanah, mencari makan, lalu berlindung di balik badan induknya saat merasa terganggu/terancam, pandangan umum menyebutnya naluri, insting. Seluruh makhluk hidup memiliki naluri demikian.

Bagi mukmin, hal begitu dipandang sebagai bagian dari hidayah, petunjuk, Allah Swt. Benar, Prof. Quraish Shihab menyebutkan naluri, insting, sebagai hidayah level pertama, level paling rendah.

Kedua, indera. Sebutlah mata, telinga, perasa, dan sebagainya, semuanya merupakan bagian dari lingkup petunjuk, hidayah, yang dikaruniakanNya.

Jika Anda melihat ombak besar, kerja indera mata, Anda tahu bahwa Anda tak boleh terjun dan berenang di sana, sebab bahayanya sangat besar.

Tetapi, pandangan mata Anda ke tengah laut hanya mampu menjangkau batas horison. Tak bisa lebih mengetahui apa-apa di balik horison itu, yang secara akal kita tahu tentulah ada lautan lagi, horison lagi, lautan lagi, dan lagi, dan seterusnya.

Indera sama sekali tak cukup untuk menjadikan kita tahu dengan utuh, menyeluruh.

Kita lalu ditolong-dilengkapi oleh akal. Inilah fase hidayah ketiga. Akal mengumpulkan seluruh informasi, pengetahuan, termasuk yang berasal dari naluri dan panca indera, kemudian mengulas, mengkaji, dan membuat kesimpulan-kesimpulan, yang boleh jadi berbeda dengan keterangan panca naluri dan indera. Keterangan analitis akal bagai menyempurnakan petunjuk-petunjuk sebelumnya.

Semakin luas, dalam, dan kritis kerja akal, mungkin karena makin banyaknya bacaan, pergaulan, diskusi, sekolah/kuliah, pengajian, dan sebagainya, jelas akan menyumbangkan simpulan pengertian dan pengetahuan yang lebih baik dan benar.

Jika fungsi hidayah akal ini disebutkan sejajar dengan “logika”, itu bisa diterima. Tetapi tepat di detik yang sama kita mengerti bahwa kerja logika hanya bisa menjangkau hal-hal yang nyata, empiris, fisika –tidak bisa menembus metafisika, misal—itu pun amat sering akal kita terkelabui oleh hal yang seolah empiris-benar tetapi kemudian terbukti secara empiris tidak benar. Dalam titik demikianlah kerja akal, logika, tidak benar-benar mampu memikul dan memastikan sesuatu itu benarlah kebenaran. Ia bisa sekadar “residu-benar”, seolah benar, atau bayang-bayang kebenaran –dalam istilah Mulla Sadra disebut “tasykikul wujud” (jenjang-jenjang wujud (kebenaran)).

“Akal dapat diibaratkan sebagai pelampung; ia dapat menyelamatkan seseorang yang tak pandai berenang, baik di kolam maupun di laut yang tenang. Tetapi jika ombak dan gelombang telah membahana datang bertubi-tubi setinggi gunung, ketika itu yang pandai dan tak pandai berenang pun kondisinya sama saja. Ketika itu mereka semua tidak hanya membutuhkan pelampung, tetapi juga sesuatu yang melebihi pelampung. Karena itu, manusia membutuhkan petunjuk yang melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan kekeliruannya (akal) dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk ayau hidayah yang dimaksud adalah petunjuk agama.”

Inilah hidayah puncaknya, yakni petunjuk agama.

Apa yang dimaksud petunjuk agama adalah (1) keterangan-keterangan agama yang membawa kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, dan (2) petunjuk serta kemampuan mengimani, mematuhi, dan melaksanakan keterangan-ketarangan agama itu.

Ranah pertama adalah bidang manusia, kita; ranah kedua adalah bidang Allah Swt, wewenangNya, hak prerogatifNya.

Terlihat jelas bahwa menurut Prof. Quraish Shihab, segala apa yang melekat pada diri kita sebagai makhlukNya, dari kelompok insting, naluri, lalu indera, kemudian akal sehat, dan dikirimkanNya para utusanNya (Rasul) serta kitab suciNya sebagai keterangan agama ini–serta seluruh keterangan yang mencontohkan dan menjelaskannya, baik dari diri Rasulullah Saw sendiri, para sahabat, dan ulama penerusnya hingga era kita dan berikutnya—merupakan kesatuan holistik hidayahNya yang telah sangat cukup untuk mendorong kita beriman kepadaNya dan berbuat baik kepada liyan. Ini khittah, fitrah.

Saya bisa melengkapi dengan telah diberikanNya modal-modal tajalliyat (bukti-bukti kemahakuasaan Allah Swt di jagat raya ini), nikmat-nikmatNya yang tak terperi untuk dihitung apalagi dibalas, serta tentu saja karunia hati yang telah didesainNya cenderung kepada keimanan dan kebaikan sebagai buah dari telah diambilNya sumpah setia semua kita sejak ruh pertama kali ditiupkanNya di alam rahim –alastu birabbikum qalu bala syahidna, bukankah Aku adalah Tuhan kalian, mereka (ruh-ruh) menjawab, benar, kamilah telah menyaksikannya.

Berikutnya, Prof. Quraish Shihab membagi sublim/tidaknya hidayah-hidayah tersebut pada diri seseorang dalam dua bidang: pertama, karunia Allah Swt memberikan hidayah-hidayah yang mengarahkannya kepada keimanan dan kebaikan hidup (ini hak prerogatifNya semata), dan kedua, dorongan kesadaran dari pihak manusia sendiri untuk beriman kepadaNya dan berbuat baik dengan mengikuti petunjuk-petunjuk agama yang telah ada secara bersungguh-sungguh –sering disebut “ruang kasab, ikhtiar, manusia”.

Dengan dasar demikian, tidaklah sahih bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa beriman dan bertakwanya ia karena semata rajin, tekun, dan bersih hatinya; sebaliknya, membenarkan perilaku-perilku ingkar kepadaNya dan ajaran agama sebagai ketetapan dan kehendakNya.

Tidak, keduanya saling sinergi, bertautan.

Satu sisi telah dikatakanNya: “Wa innaka la tahdi man ahbabta walakinnaLlah yahdi man yasya’, sesungguhnya Engkau (Muhammad Saw) takkan bisa memberikan hidayah kepada siapa yang paling Engkau cintai sekalipun, akan tetapi Allah lah yang memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya.”, namun di sisi lain juga dikatakanNya: “Walladzina jahadu fina lanahdiyanna subulana wa innaLlaha lama’al muhsinin, dan orang-orang yang bersungguh-sungguh berjuang (menuju) Kami maka sungguh Kami akan memberikan petunjuk kepada jalan-jalan Kami wa sesungguhnya Allah hanya bersama orang-orang yang berbuat baik.

Pada ayat pertama, hidayah mutlak wewenang Allah Swt; pada ayat kedua, diberikan clue bagi kita bahwa Allah Swt hanyalah bersama orang-orang yang berbuat baik, dan untuk bisa menggapai derajat berbuat baik (agar dibersamai Allah Swt, tegasnya dihidayahiNya) maka kita haruslah bersungguh-sungguh berjuang, belajar, berbuat, mengamalkan apa-apa yang menjadi perintahNya. Begitu sinergi antara ruang kasab manusia dan karunia hidayah dari sisiNya.