Kenapa sih, Memakai Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal) Dilarang pada Masa Rasulullah SAW?

Kenapa sih, Memakai Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal) Dilarang pada Masa Rasulullah SAW?

Beberapa orang, bahkan artis, memakai celana cingkrang di atas mata kaki karena ingin mengikuti tuntunan Rasul, tapi di sisi lain, ia memakai barang-barang mewah.

Kenapa sih, Memakai Celana di Bawah Mata Kaki (Isbal) Dilarang pada Masa Rasulullah SAW?

Tukang jahit di samping rumah agak repot dengan permintaan pak Abu Muslim. Beberapa hari yang lalu, ia membuat celana di rumah tukang jahit tersebut, setelah diukur dan pas, Abu Muslim kembali lagi ke tukang jahit tersebut dan memintanya untuk memotong celananya hingga di atas mata kaki. Namun beberapa hari kemudian Abu Muslim lewat di depan rumah si tukang jahit dengan membawa barang belanjaan yang cukup banyak. Menurutnya, ia baru sampai dari pameran busana muslim milik artis-artis sedang hijrah.

Semahal apapun pakaian yang ia beli, tak masalah. Yang penting, ia bisa meniru gaya busana muslim yang dipakai para artis hijrah tersebut. Tukang jahit di samping rumah itu jengkel, ia mengira Abu Muslim terlalu irit untuk menjahit celana, sampai-sampai celananya ia potong sampai di atas mata kaki, tapi di sisi lain Abu Muslim malah belanja barang-barang mahal milik para artis itu. Usut punya usut, ternyata alasan abu muslim memotong celananya karena ia diberitahu oleh ustadz di pengajiannya, bahwa memakai celana di bawah mata kaki dilarang oleh Rasul SAW.

Memang, dahulu Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk memakai baju hingga di bawah mata kaki, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya dari Abu Hurairah:

ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار

Bagian kain yang memanjang ke bawah menutupi dua mata kaki adalah berada di neraka

Hadis di atas tidak bisa difahami secara parsial. Dibutuhkan pembacaan yang lebih komprehensif dengan mengumpulkan riwayat-riwayat lain yang setema agar pembaca bisa menemukan inti dari hadis tersebut. Dan juga agar pemahaman kita terhadap hadis larangan menjulurkan kain tersebut bisa lebih utuh dan tidak terkesan setengah-setengah.

Dalam hadis lain, Bukhari juga meriwayatkan melalui Ibnu Umar:

بينما رجل يجر إزاره خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة

Ketika seseorang laki-laki menyeret kainnya karena rendah (menutupi mata kaki), maka ia berbuat sombong di muka bumi sampai hari kiamat.

Dari hadis di atas mulai muncul kata “sombong” dalam susunan redaksinya. Hal ini sepertinya memiliki kaitan yang erat maksud menjulurkan kain ke bawah mata kaki. Maka perlu dicari kembali hadis-hadis yang berkaitan dengan “menjulurkan kain di bawah mata kaki” dan “sombong”.

Dalam beberapa riwayat yang lain, menjelaskan bahwa konsekuensi neraka tersebut adalah bagi orang-orang yang sombong. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Ibnu Umar:

لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر ثوبه خيلاء

Allah tidak akan melihat (merahmati) orang yang menyeret kainnya karena sombong. (H.R al-Bukhari)

Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa nabi membiarkan dan tidak melarang Abu Bakar menyeret kainnya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ

Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang menyeret kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat (merahmati)-nya. Kemudian Abu Bakar bertanya: Wahai Rasulullah, susungguhnya bagian dari kainku menjulur. Kecuali aku harus terus menjaganya agar tidak menjulur. Rasulullah bersabda: Kamu tidak termasuk orang yang melakukannya dengan sombong. (H.R al-Bukhari)

Dari hadis di atas, Abu Bakar dibiarkan oleh Rasulullah SAW menjulurkan kainnya karena Abu Bakar tidak termasuk orang yang sombong. Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari-Nya, Abu bakar selalu menjulurkan kainnya karena badanya yang kurus. Sehingga kain tersebut menjulur sendiri tanpa diinginkan oleh Abu Bakar. Bahkan al-Bukhari secara khusus membuat bab tersendiri yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menjulurkan kainnya” adalah karena sombong. Bab tersebut diberi judul oleh al-Bukhari dengan “Bab Man Jarra Tsaubahu Khuyalaa’a”.

KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. mengutip Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan bahwa pada hadis menjulurkan kain ini, yang sebenarnya dilarang oleh Rasul SAW bukanlah terletak pada perkara menjulurkan kainnya, melainkan pada sifat sombongnya.

Kok bisa sih Rasul melarang hal itu? Bagaimana situasi saat itu sehingga Rasul melarangnya?

Jadi gini, ketika orang Arab pada masa itu banyak yang dilanda paceklik dan kemiskinan, kain pun menjadi komoditas yang sangat langka, bahkan sebagian masyarakat Arab saat itu harus bergantian dengan pasangannya jika mau keluar rumah, karena mereka hanya memiliki satu baju untuk berdua. Sedangkan para orang kaya, masih memiliki banyak kain, bahkan saking banyaknya sampai kain tersebut menjulur ke bawah hingga terseret-seret.

Di saat seperti itulah nabi ingin mengajarkan kita arti peduli dan arti sederhana yang sesungguhnya. Yakni tidak berlebihan untuk diri sendiri di saat yang lain sedang kesulitan. Pun, Rasul mengajak kita prihatin dengan masyarakat sekitar.

Analoginya seperti ini, jika di desa kita handphone adalah suatu hal yang sangat langka, dan di saat itu kita adalah satu-satunya orang yang memiliki handphone maka biasanya kita akan sering menggunakannya di luar rumah agar dilihat orang. Di saat seperti inilah hati kita akan merasa bahwa kita lebih baik dari pada tetangga-tetangga kita yang tidak memiliki handphone. Di saat seperti itulah muncul sifat sombong dalam diri kita. Dan hal seperti inilah yang dilarang oleh Rasulullah SAW.

Lalu, bagaimana dengan kasus Abu Muslim di atas? Hal ini sama saja. Walaupun Abu Muslim memotong kain celananya hingga di atas mata kaki, namun ia malah belanja dan memakai barang-barang mahal, lalu dengan barang mahal itu dia jadi sombong, maka tak ada bedanya dengan kasus bangsa Arab pada masa itu.

Wallahu A’lam.