Inaya Wahid: Banyak Artis Tobat Tidak Mengubah Penampilan, Kenapa Enggak Disebut Hijrah?

Inaya Wahid: Banyak Artis Tobat Tidak Mengubah Penampilan, Kenapa Enggak Disebut Hijrah?

Inaya Wahid berbagi pengalamannya di panggung seni teater, dan bagaimana seharusnya Muslim dan Muslimah Indonesia memaknai kesenian.

Inaya Wahid: Banyak Artis Tobat Tidak Mengubah Penampilan, Kenapa Enggak Disebut Hijrah?

Inayah Wulandari Wahid, atau yang akrab disapa Inaya Wahid, dikenal sebagai putri bungsu dari Presiden keempat Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Belakangan, Inaya menapaki jalannya sendiri sebagai seorang aktris yang tampil di pentas teater. Karier Inaya di dunia akting makin dikenal luas ketika ia membintangi sitkom OK-Jek dan berperan sebagai driver Ojek Online. Saat ini ia juga menjadi presenter Talkshow Ngopi (Ngobrol Pintar) di Kompas TV.

Inaya mengaku menggemari dunia teater sejak sekolah. Sampai satu ketika ia ingin melanjutkan kuliah di jurusan seni teater di salah satu Institut Seni di Indonesia. Keinginan Inaya masuk di jurusan seni teater sempat menerima penolakan dari sang Ibunda, Ibu Sinta Nuriyah.

“Kamu mau masuk teater? Nanti gede mau jadi apa?” Begitu aku Inaya sambil tertawa, yang menyebut pertanyaan Ibunda ini sebagai pertanyaan ajaib.

Akhirnya, Inaya berkompromi dengan sang Ibu dengan masuk jurusan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Pertanyaan “ajaib” sang Ibu kini dengan sendirinya terjawab. Inaya Wahid menjadi pemain teater dan makin aktif menekuni dunia seni.

Kutukan sebagai Putri Gus Dur dan Peran Jadi Buruh Cuci

Sebagai anak bungsu dari Presiden Gus Dur, Inaya merasa sulit untuk lepas dari ekspektasi melanjutkan legacy almarhum sebagai pejuang toleransi, demokrasi dan hak asasi manusia. “Ini entah nasib entah kutukan,” kata Inaya. Namun “kutukan” itu justru membuat Inaya tertantang untuk menjadikan panggung teater sebagai sarana memperjuangkan nilai-nilai yang diwariskan oleh Almarhum Gus Dur.

Satu peran yang tidak dilupakannya adalah peran sebagai kelompok rentan dalam masyarakat. Dalam sebuah lakon teater, Inaya berperan sebagai Wagiyem, buruh cuci yang merupakan istri tua dari seorang pejabat, yang menikahinya sebelum pejabat ini sukses berkarier dalam politik. Singkat cerita, si pejabat ini terciduk kasus korupsi yang membuat Wagiyem makin sengsara dan menanggung malu.

Bagi Inaya, panggung teater adalah penyambung suara kaum tertindas. Peran-peran seperti Wagiyem ini menyampaikan pesan bagi penonton teater supaya tahu, bahwa ada kelompok perempuan rentan yang selama ini ada di sekitar kita, namun tidak kita sadari.

Lakon-lakonnya dalam panggung teater juga menjadi tantangan tersendiri buat Inaya. Berhasil tidaknya pesan tersebut ditangkap oleh penonton, sangat bergantung pada totalitasnya sebagai aktris. Dalam proses berteater, mau tidak mau ia harus bergaul dengan orang yang dia perankan di panggung demi mendalami peran. Sebagai buruh cuci, sebagai perempuan tertindas, dan sebagainya. Kegiatan seperti halnya yang dahulu pernah dilakukan oleh ayahnya.

Bukan Inaya namanya jika tidak sentil sana-sini. Di satu acara Talk Show Ngopi (Ngobrol Pintar) yang ia pandu di Kompas TV, ia dan teman-teman host saling berbagi istilah Teater Indonesia Bingung. Pasalnya, di Indonesia ini banyak pemain teater berbakat, yang pemerannya sendiri bingung, dan membuat banyak orang semakin bingung.

Hmmmm… apakah ini sindiran Inaya untuk para pejabat yang belakangan bingung dan bikin kita bingung menghadapi pandemic Covid-19? Inaya hanya tersenyum.

Fenomena Hijrah dan Seni Islami

Dunia panggung seni peran yang digeluti Inaya penuh dengan gemerlap lampu sorot, pergaulan lintas batas kelompok, dan kebebasan berekspresi. Situasi ini menjadi dilema tersendiri dalam konteks keagamaan seseorang. Sehingga akhirnya tidak sedikit para pekerja seni (terutama aktor, aktris dan musisi) yang memutuskan meninggalkan dunia yang mengibarkan nama mereka dengan dalih hijrah. Beberapa di antaranya, tidak jarang meninggalkan dunia seni secara total karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang mereka pahami.

Inaya mengatakan, secara pribadi, teman-teman pekerja seni yang memutuskan untuk hijrah patut didukung. Itu adalah hak masing-masing individu. Bahkan, Inaya mengakui, sudah menjadi keinginan lumrah bagi setiap manusia untuk hijrah, dalam artian berpindah menuju ke situasi atau tempat yang lebih baik..

Hanya saja, persoalannya ada pada hijrah yang dimaknai sebagai penampilan fisik semata. Kegelisahan yang dilontarkan Inaya cukup menggelitik:

“Aku sering melihat teman-teman artis, di sekitarku mereka mengalami perpindahan itu, dari tidak baik menjadi lebih baik, yang tapi kemudian secara identitas fisik, mereka tidak berubah. Kenapa kita enggak melabeli itu sebagai hijrah?”

Inaya mengaku sangat, sangat sering menjumpai teman-temannya sesama aktris yang meninggalkan minuman keras, tidak mau lagi keluar malam untuk dugem, dan terus belajar agama semata karena mereka ingin bertobat dari kebiasaan buruknya. Mereka ingin menjadi manusia yang lebih baik. Akan tetapi, secara fisik dan penampilan, mereka tidak mengalami perubahan seperti yang umumnya disebut hijrah oleh banyak orang. Bagi Inaya, itu juga hijrah yang perlu diapresiasi.

Tentang pekerja seni yang meninggalkan dunianya, persoalan tidak terletak pada seninya sendiri. Inaya merasa prihatin ketika persoalan hijrah menjadi seakan sangat dipaksakan, sampai kadang mengorbankan panggung seni itu sendiri yang merupakan sumber nafkah keluarga mereka.

“Kalau emang skill mereka skill musisi, bagaimana? Malah justru banyak madharatnya kalau hijrah sampai menutup rezeki dan nafkah keluarga.”

Lantas, sebagai jalan tengahnya, apakah dunia seni harus Islami?

Bagi Inaya, seni yang Islami tidak bergantung pada seberapa banyak identitas atau atribut Islami yang ditonjolkan dalam satu karya. Menurutnya, seni Islami adalah seni yang punya prinsip-prinsip dan nilai yang menjadi misi Islam. Apapun media seninya, yang terpenting adalah munculnya sisi kemanusiaan dan kebajikan dalam sebuah karya.

Inaya Wahid tergabung dalam Festival Film Madani. Dalam Festival yang sudah berlangsung tiga kali itu, para pegiat perfilman mengangkat film-film yang menampilkan Islam dari sisi keseharian tokoh filim. Sehingga Islam yang tampak di layar adalah Islam sehari-hari yang dekat dengan realitas kehidupan manusia, dan tanpa pretensi dakwah yang vulgar, atau membawa misi superioritas Islam di mata penonton. Di Festival Film Madani, nilai-nilai Islam muncul secara lumrah saja.

Film yang berkesan bagi Inaya adalah film Yomeddine (2018), atau Yaumuddin bagi lidah orang Indonesia. Film produksi Mesir ini berkisah tentang seorang tua Kristen Koptik yang menderita penyakit Kusta, dan seorang temannya, seorang Muslim yang masih anak-anak. Mereka berdua hidup di penampungan penyakit Kusta sejak kecil, dan melakukan perjalanan jauh untuk menelusuri keluarganya. Film ini tidak secara eksplisit menunjukkan dakwah keislaman, namun tidak dipungkiri mentransfer nilai keislaman yang membekas di hati para penontonnya.

Hari ini, keberadaan kita sebagai Muslim di Indonesia adalah sebuah privilege yang besar. Dengan punya privilege berarti Muslim dan Muslimah Indonesia menjadi kelompok yang paling punya kekuatan, dan paling bertanggung jawab untuk mengubah situasi. Maka dari itu, sudah seharusnya Muslim dan Muslimah Indonesia menjadi yang paling depan untuk menaruh empati dan mengubah situasi bagi kelompok lain yang tidak memiliki privilege sebesar Muslim. Dan bagi Inaya Wahid, cara mengubah situasi ini bisa melalui film, lewat seni. Dengan cara apapun. Sesederhana mengupload video TikTok.

“Coba, apa yang membuat kita tetap waras di tengah pandemic ini kalau bukan seni?” Begitu pungkas Inaya.

Akhirul kalam, seni itu fitrah manusia. Pada dasarnya manusia mencintai, dan suka akan keindahan. Begitu pula Allah yang Maha Indah, mencintai keindahan. Sulit melepaskan kesenian dari kehidupan manusia. Dia bisa menjadi buruk kalau kita membuatnya jadi buruk. Seni bisa menjadi baik di tangan Muslim dan Muslimah yang baik. Kita yang memberinya nilai, kita yang memberinya makna.