Kegiatan Mengaji Massal di Ruang Publik, Untuk Apa?

Kegiatan Mengaji Massal di Ruang Publik, Untuk Apa?

Kegiatan mengaji massal di ruang publik diklaim sebagai upaya untuk mengisi ruang publik dengan kegiatan yang bermanfaat. Tepatkah demikian?

Kegiatan Mengaji Massal di Ruang Publik, Untuk Apa?
Potret dua anak kecil yang ikut serta dalam kegiatan mengaji massal di Titik Nol, Yogyakarta. Foto: Twitter @muslimunited

Beberapa waktu lalu, tepatnya menjelang Ramadhan, ada kegiatan mengaji massal di Titik Nol, Yogyakarta. Tak berapa lama setelah itu, saya pun mengecek Instagram dan mendapati beberapa postingan terkait kegiatan tersebut. Saya juga menyadari bahwa kegiatan mengaji di ruang publik tersebut bukan pertama kali dilakukan.

Masih mengambil tempat yang serupa dan momentum menjelang bulan Ramadan, tahun lalu kegiatan yang digagas oleh Muslim United dan Badan Wakaf Al-Qur’an Yogyakarta itu juga pernah dilaksanakan. Bahkan, selain di Titik Nol Yogyakarta, mereka juga melakukannya dalam gerbong kereta api hingga beberapa ruang publik lainnya. Tahun ini semakin banyak anak muda mengikutinya.

Kegiatan yang diberi nama #JogjaMengaji ini sepertinya memang digagas oleh dan untuk menyasar anak muda, terutama mahasiswa. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mengisi (baca: merebut) ruang publik. Dengan aksi membaca Al-Quran, sebagaimana disebutkan di beberapa caption konten terkait kegiatan tersebut, mereka ingin anak muda bisa “terhindar” dari beragam kegiatan dan kultur negatif.

Founder dan penggiat #JogjaMengaji melihat ruang publik telah atau hanya “dikuasai” oleh kegiatan yang “tidak bermanfaat.” Oleh sebab itu, mereka ingin merebut ruang-ruang tersebut dengan kegiatan mengaji Al-Quran. Benarkah demikian? Untuk apa kegiatan tersebut? Mengapa anak muda?

Anak Muda dan Kultur Barat

Hingga saat ini masih banyak masyarakat Muslim yang memandang kehidupan modern sebagai sesuatu yang negatif. Salah satu alasannya adalah modernitas dianggap tidak cocok dengan nilai dan ajaran agama. Bahkan, modernitas biasanya diasosiasikan pada kehidupan rasional dan bebas ala masyarakat Barat. Kita pun sering membangun “dinding semu” terhadap modernitas.

Menjadi “lebih saleh” atau “agamis” merupakan satu dari sekian usaha kita untuk mencegah dampak dari kultur Barat mempengaruhi kehidupan kita. Kegiatan mengaji Alquran di titik nol kota Yogyakarta kemarin memiliki pesan yang sama dengan pandangan ini.

Padahal, Islam hari ini tidak bisa berlepas dari kelindan dengan modernitas. Pam Nilan, akademisi asal Australia, menyebutkan bahwa Islam Indonesia kontemporer sebenarnya beririsan dengan beberapa karakteristik gaya hidup modern. Mulai dari urbanisasi, konsumsi, ketergantungan pada teknologi, periode pendidikan hingga pertumbuhan kelas menengah.

Lebih jauh, menurut Nilan, kondisi inilah yang menghadirkan Islam tidak sekedar agama, namun juga, di saat bersamaan merumuskan pasar untuk produk dan tren budaya yang khas Islam. Dalam artikel berjudul “The Reflexive Youth Culture of Devout Muslim Youth in Indonesia” tersebut, Nilan menjelaskan bahwa memang ada usaha untuk “membatasi” atau “mengontrol” tren atau pasar tersebut guna untuk mempertahankan kesalehan.

Aksi tersebut ini, menurut Nilan, disebut dengan tindakan selektif yang dimaksudkan untuk melegitimasi dan memverifikasi klaim dua identitas sekaligus, yakni muda sekalian Islam. Dengan kata lain, mereka mengekspresikan beragam budaya anak muda dalam bentuk kosmetik dan produk perawatan rambut halal, musik, pakaian Islami. Kemudian semua itu akan disesuaikan dengan tren modern, seperti telepon genggam, Iphone, dan teknologi lain, dan sekaligus dipersonalisasi dengan ikonografi Islamis, ayat-ayat Al-Quran, dan sebagainya.

Kegiatan #JogjaMengaji adalah ekspresi yang sama dengan penjelasan Nilan di atas. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana keinginan mereka menghadirkan Islam di ruang-ruang publik, yang selama ini dianggap lebih bernuansa tidak atau kurang religius. Dengan aktivitas tersebut, mereka mengekspresikan kegiatan anak muda yang beririsan antara modern dan Islami sekaligus.

Mengaji di Ruang Publik Sebagai Aktualisasi Diri Anak Muda

Selain irisan antara Islam, kultur Barat, dan anak muda, aksi #JogjaMengaji kemarin juga terkait dengan ruang publik. Titik Nol KM Yogyakarta di kejadian kemarin tidak saja dipahami sebagai ruang perjumpaan, namun juga sebagai ruang publik yang dianggap dapat memberikan “pengaruh” pada keislaman masyarakat Muslim lainnya.

Dalam kajian filsafat, ruang publik pertama kali didedahkan oleh filsuf asal Jerman, Jürgen Habermas. Menurut Habermas, ruang publik sebagai ranah kehidupan sosial yang terbentuk, tempat warga dapat berdiskusi dengan cara yang tidak dibatasi, yakni dalam jaminan kebebasan mengemukakan dan mempublikasikan pendapat. Ruang-ruang ini seringkali diartikan wadah secara fisik di mana orang bisa berjumpa dan saling berkomunikasi dengan bebas.

Menariknya, jika kita telisik lebih dalam lewat caption terkait aksi tersebut, maka itu tidak hanya menghadirkan Islam di ruang publik. Di saat bersamaan, mereka juga ingin mengaktualisasikan diri mereka sebagai anak muda sekaligus Islami, sebagaimana politik kesalehan yang menjadi ciri khas mereka.

Titik Nol KM Yogyakarta tidak hanya dilihat sebagai tempat nongkrong yang diasosiasikan sebagai ruang publik. Bagi kalangan muda, tempat tersebut juga menjadi wadah untuk mengaktualisasikan keislaman dalam diri mereka. Berbeda dengan masjid yang memiliki aura lebih formal, ruang-ruang publik, seperti Titik Nol, lebih bebas mengekspresikan keislaman yang “Fresh” dan “Anak Muda.”

Mengaji di ruang publik memang diharapkan bisa merebut ruang-ruang publik tersebut. Namun, bisakah mereka merebut ruang publik? Mungkin kita bisa berdebat terkait jawaban atas pertanyaan ini. Akan tetapi, dalam beberapa tahun ke depan, aksi tersebut sepertinya akan di-copypaste oleh kelompok anak muda lainnya. Sehingga, kegiatan mengaji Al-Quran di ruang publik secara massal ini kemungkinan besar akan terus kita jumpai ke depan.

Untuk merebut ruang publik dan memberikan pengaruh pada keberislaman di masyarakat Muslim secara luas, aksi #JogjaMengaji masih perlu membuktikan eksistensi dan mempertahankan impresinya terlebih dahulu. Selain itu, mereka juga harus bertarung sebagai bagian dari ruang publik yang memberikan kebebasan kepada siapa saja dalam mengekspresikan pendapatnya. Termasuk model keislaman yang dipraktikkan. Fatahallahu alaina futuh al-arifin

[NH]