Pada suatu waktu, ketika mataku masih mudah terbelalak menyaksikan segala sesuatu yang baru, ayah membawaku ke rumah temannya. Teman ayahku itu seorang guru matematika dan seni rupa. Ayah mempertemukanku dengannya karena ingin minat dan bakatku tumbuh.
Dia, sang guru, mulai membuat sketsa, gambar bentuk, sedikit anatomi, nirmana dasar dan pengantar tentang para pelukis besar dari masa terdahulu.
Dia menunjukkan padaku buku yang membuatku menjadi seorang penyendiri yang penuh gairah: drawing-drawing karya Rembrandt yang dramatis, lukisan-lukisan Van Gogh yang penuh warna dan keharuan, bunga-bunga bertabur cahaya buatan Monet, aneka rupa watak manusia yang mengerikan pada karya-karya Picasso, serta kemurnian puitis pada karya-karya Matisse.
Guruku buku-buku itu dengan cara meminta pada keduataan negara-negara sahabat lewat kartu pos. Pada halaman-halamannya aku menikmati petualangan visual yang hebat dan mengangumkan.
Tiap kali liburan pesantren, aku menghabiskan hari-hariku di rumah Pak Rukman. Ya, Pak Rukman aku memanggilnya. Dia adalah seorang lelaki yang amat sederhana, pendiam, tekun, dan serba bisa. Semoga Allah memberinya kebahagiaan, keselamatan, dan ridha-Nya.
Suatu siang, ia menunjukkan padaku sebuah lembaran berisi banyak sekali titik-titik, menyerupai sebuah bercak atau peta sebuah galaksi. Aku sadar, ini adalah permainan tebak-tebakan sebagai menu cemilan dalam kursusku.
Melihatku kebingungan menebak polanya, ia segera mengambil pensil dan menghubungkan titik-titik itu hingga membentuk puluhan gambar kuda dalam berbagai ukuran.
“Ini adalah lukisan Victor Vasarely, seniman ilusi optik asal Hungaria,” katanya.
Vasarely menggambar bidang dan figur secara berkelipatan, seperti cermin warana berpasang-pasangan, yang terus membesar hingga menyerupai makrokosmos—jagad agung dengan segala hukum-hukumnya ini.
Sebagai seorang santri yang menyukai kaligrafi sebagai kesenangan sekaligus disiplin diri, permainan optis Vasarely tidak terlalu baru. Aku menemukan pola yang sama dalam kaligrafi Islam, atau bahkan seni Islam secara keseluruan sebagaimana kemudian kupahami di masa dewasa.
Di sana, seni Islam, ada permainan geometris yang jauh lebih kompleks pada gaya-gaya kaligrafi Arab, dekorasi Arabesque, dan konsep desain arsitektur Islam. Kelipatan segi tiga dipeluk bidang bundar dalam ruang segi enam, lalu dilipatgandakan begitu rupa hingga tak terhingga dan tak bertepi, sebagai refleksi dari luasnya alam ciptaan Ilahi.
Ragam hias semacam itulah yang menghiasai kubah-kubah Masjid di Teheran, Arkade di Lahore hingga pilar-pilar masjid di Fez. Tidak lupa, dinding-dinding kamar sultan dan puteri di istana Alhambra, Andalusia.
Seni Islam awal, berkembang dengan mengeksplorasi abstraksi lewat studi geometri di mana matematika ditransformasikan ke huruf-huruf, pakaian, arsitektur, tata kota, hingga menjadi karakter khas dari seni Islam itu sendiri. Sementara, gambar figuratif manusia dan binatang dihindari, etika yang waktu itu masih berlaku.
Di dalam keluasannya itu, kita akan menemukan bidang-bidang sederhana dari geometri formal, sama seperti bentuk Kabah yang hanya segi empat. Namun, di sisi lain, kita juga akan menemukan keluasan dan kompleksitas seperti pada masjid dan istana-istana para Sultan.
Akibat permainan sang guru, siang itu aku lebih banyak melamun daripada berlatih sketsa. Aku tengelam dalam renungan yang tidak bertepi. Awan berarak di langit, angin berhembus, tapi aku tetap diam seperti kupu-kupu yang tersesat dalam taman geometri peradaban Barat-modern dalam lukisan Vasalery dan peradaban Islam-klasik pada kaligrafi dan Arabesque yang pernah kupelajari di pesantren.
“Tuhan hadir di Barat dan di Timur dengan sama indahnya,” itulah kira-kira yang kukatakan dalam benakku.
Tapi, saat itu jiwaku masih begitu murni dari aneka ragam gagasan dan kata-kata, sehigga aku hanya bisa terdiam, larut dalam lamunan yang menakjubkan ini.
Kaligrafi Arab klasik bergerak dalam kaidah-kaidah universal menyerupai hukum matematika di mana Islam memiliki sumbangan yang amat membanggakan. Seorang kaligrafer klasik akan berjuang menggapai kadiah-kaidah itu dalam presisi dan komposisinya, hingga pikiran, jiwa dan jari-jarinya sesuai dengan kaidah dan pesan dalam lafadz-lafadz yang dituliskan.
Dengan tunduk sepenuhnya pada kaidah-kaidah universal itu, ego dan kepentingan pribadi ditinggalkan. Dengan tunduk sepenuhnya pada kaidah-kaidah universal itu, hati yang lemah tak akan sampai pada hakikat makna keindahan. Dengan tunduk sepenuhnya pada kaidah-kaidah universal itu, nafsu untuk merasa hebat dengan klaim sebagai penemu tak mendapat tempat.
Seringkali, jari-jariku terasa begitu ngilu setelah menuliskan sebuah huruf hingga ribuan kali demi mencapai presisi yang disyaratkan. Saat selesai sebuah karya tercetak di atas kertas, di sana tak ada lagi aku—hanya sebuah keindahan universum sebagai bagian dari penyelenggaraan Ilahi, melalui tangan makhluk-Nya yang dhaif ini.
Sampai di sini, pembaca, aku belum terjaga dari lamunanku. Aku masih di sana, membayangkan masyarakat yang melahirkan huruf-huruf yang indah ini. Bagaimana para musafir yang hidup nomadik di padang pasir, yang kuat tradisi lisannya, mampu melahirkan seni tulisan yang hebat ini, mengejar ketertinggalan dari peradaban tetanganya di Mesir yang telah melahirkan huruf hieroglif dan masa Asyiria dengan seni tulis paku atau fonogramnya.
Demikianlah, sejarah kaligrafi pada akhirnya adalah sejarah peradaban, refleksi dari transformasi besar dari oral ke literal, dari resital ke manuskrip, dari gema ke inskripsi, dari senandung ke teknologi cetak. Dan pada akhirnya, dua medium komunikasi itu hidup berdampingan, berbeda, namun jauh di dalamnya terdapat prinsip yang kurang lebih sama: sebuah hukum universal yang suci, yang khas sains Abad Pertengahan, dalam bentuk presisi geometri dalam Arabesque, kaligrafi dan arsitektur, atau hitugan musikal dalam puisi yang dinyanyikan, dari bentuk-bentuk sederhana yang dilipatgandakan hingga membesar dan kemudian, dengan kekuatan dan rahmat Allah, menjadi semacam cetak biru dari tatanan peradaban.
Maka, saat tanganku, dengan tekanan dan keluwesan yang terukur, menggoreskan pena khusus untuk membentuk kaligrafi bergaya naskhi, tepat pada titik pertemuan mata pena dengan kertas itu pikiranku mengembara pada masa huruf Arab masih begitu kaku dan sederhana, belum mengenal vokal seperti halnya huruf Ibrani, sebagaimana terdapat pada inskripsi-inskrpsi Nabatea di kawasan Anbar dan Hirah di Arab Utara.
Bersama para musafir yang mengembara ke arah selatan, huruf-huruf ini berkembang semakin kompleks sekaligus rigid. Saat mengenal harakat, huruf-huruf melesat ke masa depan yang jauh. Ia membentuk berbagai gaya yang menyerupai puspa ragam bunga-bunga di taman permenungan para ulama, filsuf dan ilmuwan di masa Umayah dan Abbasiyah.
Jiwa remajaku (oh, betapa menggairahkan masa itu!) sering tak sabar menulis dalam gaya naskhi yang formal dan membosankan. Ingin rasanya segera menulis dalam gaya tsulus, tapi teman-temanku di pesantren selalu mencegahku sampai aku cukup terampil dengan gaya paling dasar ini.
Di kemudian hari, pelajaran-pelajaran pokok di pesantren kutulis dengan tanganku sendiri. Judul kitab kutulis dalam gaya tsulus yang anggun. Nama pengarang dalam gaya farisi yang ramping dan jelas. Judul tiap bab ditulis dalam gaya diwani dari Konstantinopel yang romantis, adapaun pokok kitab ditulis dalam naskhi yang jelas dan resmi.
Gaya riq’i yang sederhana dan cepat biasa kugunakan untuk catatan di pinggir halaman kitab manakala ada hal penting yang kuperoleh dari guru atau sahabatku yang alim, atau hasil permenunganku sendiri mengenai pokok tertentu dari kitab itu.
Pembaca, tiap kali menyaksikan goresan-goresanku sendiri, kadang aku merasa senang dan bangga atas minat dan bakatku. Namun, saat menyadari bahwa setiap temanku di pesantren juga melakukan hal yang sama, dan dengan hasil yang tidak jarang lebih baik, rasa banggaku itu pun pupus. Aku pun kembali pada prinsip dasar kaligrafi: patuhlah pada hukum universalnya, wahai jiwa muda yang mudah takjub dan tergoda oleh mimpi.
Begitulah, semakin seseorang mengahasilkan kaligrafi yang sempurna, semakin dia pasrah dan luruh dalam kaidah-kaidahnya, dalam taman geometri bunga-bunga Arabesque, huruf-huruf yang saling menjalin dengan dekorasi-dekorasinya, tak ubahnya kalam Ilahi yang terucap di tengah alam semesta ciptaan-Nya yang amat luas ini.
Sekarang, saat mengenang masa-masa itu, aku hanya bisa memejamkan mata. Dalam kebutaan ini, aku menyaksikan bagaimana huruf-huruf dalam berbagai gaya itu menjelma taman spiritual yang membuka diri secara perlahan di hadapan jiwaku. Kemudian, mengurai makna-maknanya seperti musim yang tengah beralih, seakan menyaksikan kalam di dalam kalam, syair di dalam syair, bunga di dalam bunga dan zarah di dalam zarah.
Saat kubuka mata, ingin rasanya berbagi apa yang kurasakan selama mataku terpejam, tapi aku tak cukup bijaksana untuk memahami apalagi menguraikannya.
“Pengetahuan bukan semata apa yang kita pikirkan dan katakan, tetapi apa yang kita rasakan, alami dan amalkan,” begitu kira-kira Pak Rukman, guru les lukisku itu. Dia selalu bersungguh-sungguh mengajarkan tentang perlunya praktik dan eksperimen dalam segala hal.
Maka kaligrafi-kaligrafi itu bukan semata apa yang kulihat dengan mata yang terbelalak, tetapi sebuah horison perkembangan peradaban yang membentang, jatuh dan bangun, patah dan bersambung, hingga membuat jiwa dan pikiranku tergetar di tengah keluasan dan warna-warninya, hasil kreasi jutaan insan dan jiwa, yang bekerja sebagai pernyataan dari keindahan-Nya.
Kita perlu mempelajarinya; bukan untuk menirunya, tetapi untuk mencipta dalam bentuk yang berbeda—sesuai era dan bidang kita, di mana pun kita berada. []
Faisal Kamandobat, penyair dan peminat seni rupa, associate di Studio Nasirun.
Ikuti tulisan eksklusif tentang Kaligrafi di islami.co lainnya di tautan ini:
Masjid di Bandung dan aliran Kaligrafi (Bagian-1)
Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (Bagian-2)
Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (3-Habis)
Kaligrafi, Pesantren hingga Getar Spiritual