Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (2)

Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (2)

Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (2)
Masjid atau musholla adalah rumah umat Islam (Andir Erik/ISLAMIDOTCO)

Dua Aliran

Ada dua aliran yang ikut meramaikan jagat kaligrafi Indonesia, tradisional dan modern. Aliran tradisional berangkat dari penguasaan kaidah penulisan kaligrafi Arab.

Ada delapan kaidah yang berlaku: nasakh, tsuluts, riq’ah, diwani, diwani jali, farisi,… dan kufi.

Dari penguasan tersebut mereka kemudian mencari bentuk-bentuk baru melalui lukisan, biasanya lukisan alam. Kebanyakan pelaku aliran ini berlatar belakang pendidikan pesantren.

Sementara aliran kedua berangkat dari latar belakang seniman lukis atau akademisi. Mereka kemudian memasukkan kaligrafi Arab ke dalam lukisannya tanpa terikat pada delapan kaidah itu.

Aliran pertama sangat mementingkan kebenaran kaidah huruf dan yang kedua mengutamakan lukisannya. Oleh interaksi yang lama, boleh jadi ada lintas aliran. Atau ada yang menguasai dua aliran itu sehingga layak disebut seniman kaligrafi sekalipun tak banyak jumlahnya. Di antara yang sedikit itu adalah almarhum Saifullah.

Bagi Saifullah, kaligrafi adalah seni surgawi, sebab bisa membawa penikmatnya sampai pada kebesaran Allah. Dalam kaligrafi terpadu berbagai disiplin ilmu, mencakup nahwu-sharaf, kaidah imlaiyah, dan geometri.

Penguasaan berbagai ilmu itu mutlak karena seorang kaligrafer  tak boleh salah menulis ayat Al-Quran. Semasa hidupnya, ia sangat mendambakan agar kaligrafi masuk dalam kurikulum pendidikan sehingga ada materi anatomi huruf.

Dalam pandangannya, “Dengan penguasaan anatomi yang mendalam, kaligrafer bisa membuat huruf-huruf itu bernyawa, memiliki ruh dan dinamika saat digoreskan.”

Untuk sampai pada tahap itu tentu membutuhkn penjiwaan yang lama dan imajinasi yang kuat. Kalau ahli ibadah sampai (wushul) kepada Tuhan dengan wiridnya, maka kaligrafer sampai kepada Tuhan dengan goresan tangannya.

Dengan demikian, kaligrafi di sebuah mesjid bukan sekedar tempelan. Perencana pembangunan mesjid tidak boleh mengabaikan elemen estetis yang penting ini. Tidak bisa lagi terjadi, setelah mesjid jadi, barulah kaligrafer dipanggil dan diminta menghiasi sekeliling mesjid dengan tulisan ayat-ayat Al-Quran.

“Alhamdulillah, sekarang kesadaran untuk melibatkan designer kaligrafi sudah menguat,” kata Mohammad Iqbal, anak kedua Saifullah.

Designer kaligrafi biasanya direkomendasikan oleh konsultan atau langsung diminta oleh pemilik. Dengan kesadaran ini, Iqbal bersama tim bisa menyiapkan elemen estetis yang tepat sesuai bangunan mesjid yang direncanakan.

“Kalau diminta setelah mesjid jadi, terkesan asal tempel, seringkali tidak memuaskan. Sebagai penggarap kami merasa tidak maksimal, sebab bagaimanapun garapan kami adalah karya seni,” tutur Iqbal. []

Ikuti tulisan eksklusif tentang Kaligrafi di islami.co lainnya di tautan ini:

Masjid di Bandung dan aliran Kaligrafi (Bagian-1)

Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (Bagian-2) 

Mesjid di Bandung dan Aliran Kaligrafi (3-Habis) 

Kaligrafi, Pesantren hingga Getar Spiritual

Misteri kaligrafi Gus Mus

Wawancara: Dunia Kaligrafi Sang Imam Besar (Bagian-1)

Wawancara: Dunia Kaligrafi Sang Imam Besar (Bagian-2)