Barisan tentara muslim kacau balau, centang perenang tidak karuan. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri sendiri. Di antara mereka ada yang kembali ke Madinah. Sebagian yang lain ada yang melarikan diri ke atas gunung dan sebagian lain ada yang berbaur dengan orang-orang kafir Quraisy.
Dua pasukan saling bercampur dan sulit dibedakan sehingga tak jarang orang muslim menyerang orang muslim lainnya. Salah satu korbannya adalah seorang sahabat bernama Al-Yaman, ayah dari Hudzaifah.
Angin berkesiur berbarengan dengan kelebat pedang mengancam tubuh Al-Yaman. Meski sudah menghindar Al-Yaman tetap terkena tebasan. Hudzaifah sendiri sudah berteriak-teriak memperingatkan, “Hai hamba-hamba Allah, dia adalah ayahku.”
Berulangkali Hudzaifah berteriak namun tetap saja ayahnya diserang hingga terbunuh. Baju perang Al-Yaman terkoyak dan darah bersimbah di mana-mana. Perih hati Hudzaifah melihatnya namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sendiri sedang perang tanding dengan musuh. “Semoga Tuhan mengampuni kalian,” ratapnya.
Di tengah kekacauan itulah tiba-tiba ada seseorang berteriak, “Muhammad telah terbunuh.” Pemimpin besar tentara muslim telah mati. Seketika mental orang-orang muslim menjadi anjlok dan semangat nyaris hilang sama sekali. Pertempuran terhenti dan banyak di antara mereka meletakkan senjata.
Ya, tentara muslim kalah telak. Inilah kejadian yang menimpa pasukan Islam tatkala perang Uhud berlangsung. Peperangan yang terjadi pada hari Sabtu, 7 Syawal 3 H ini menjadi kekalahan terbesar pasukan Islam terhadap kafir Quraisy. Kekalahan yang disebabkan munculnya keserakahan sebagian besar pasukan pemanah sehingga meninggalkan posnya di atas bukit.
Di sisi lain, di antara banyak peperangan yang dialami umat Islam, sebagian besar adalah bertujuan mempertahankan diri. Di antaranya perang Uhud ini. Sebab Rasulullah sendiri lebih menghendaki kedamaian dengan mengadakan berbagai perjanjian.
Lalu di mana Rasulullah dalam keadaan genting ini?
Kabar terbunuhnya Rasulullah hanyalah siasat perang belaka untuk meruntuhkan semangat pasukan Islam yang sudah porak poranda. Padahal Rasulullah berada di medan pertempuran lain sehingga tidak diketahui.
Waktu itu Rasulullah tahu persis keadaan pasukannya yang kalang kabut. Ia, sebagaimana ditulis Ibnu Hisyam (w. 218 H) dalam Sirah Nabawiyah atau Kisah Nabi-nya, hanya ditemani sembilan orang pengawal di sisinya, tidak terlalu jauh dari mereka. Berulangkali ia berteriak, “Hai hamba-hamba Allah,” untuk mrmbangkitkan semangat pasukannya dan mengumpulkan mereka.
Dalam suasana perang yang bising oleh senjata beradu dan suara kuda yang meringkik bersahutan-sahutan suaranya tak cukup terdengar.
Keadaan pasukan Islam semakin tertekan. Banyak prajurit yang tewas dan terluka. Lambat laun sebagian pasukan tahu keberadaan Rasulullah dan merangsek untuk bergabung, meski tidak mudah karena dihadang barisan pasukan kafir Quraisy.
Saat itulah tampak kecerdikan Rasulullah untuk menyelamatkan pasukannya. Ia berteriak ke arah pasukan kafir Quraisy, “Kemarilah, aku adalah Rasulullah.”
Rasulullah mengalihkan perhatian kafir Quraisy agar dengan mudah pasukan Islam bergabung. Namun, apa daya pasukan kafir Quraisy begitu banyak. Tujuh pengawal Rasulullah tewas seluruhnya, tinggal dua orang dari Anshor yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Dalam kondisi yang sangat kritis itu, salah seorang pasukan kafir Quraisy bernama Utbah bin Abi Waqqash melempar beliau dengan batu hingga mengenai lambung beliau dan gigi seri yang berdekatan dengan gigi taring yang kanan bagian bawah serta melukai bibir bawah beliau. Pasukan lain, Abdullah bin Syihab Az-Zuhry, mendekati beliau dan memukul hingga melukai kening.
Datang pula seorang penunggang kuda yang beringas dan memukulkan pedang ke bahu Rasulullah dengan keras hingga sakitnya terasa sampai lebih dari sebulan. Lalu dia memukul lagi pada bagian tulang pipi sekeras pukulan pertama hingga ada dua keping lingkaran rantai topi besi yang lepas dan mengenai kening Rasulullah.
Sambil mengusap darah yang mengalir dari lukanya Rasulullah bersabda, “Bagaimana mungkin suatu kaum mendapat keberuntungan jika mereka melukai wajah Rasulnya dan memecahkan gigi serinya, padahal dia mendoakan mereka kepada Allah.”
Setelah itu Rasulullah diam sejenak, mengatur nafas dan memulihkan tenaganya. Tak ada wajah kebencian di wajah Rasulullah. “Ya Rabbi, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak tahu. Berikanlah petunjuk kepada mereka,” doanya dengan suara sendu.