Juhayman al-Utaibiy pada tahun 1979, melakukan aksi teror di al-Masjidil Haram. Juhayman dulu adalah mantan tentara nasional Saudi Arabia. Keinginannya yang kuat di dalam mempelajari ilmu agama, membuatnya keluar dari dinas militer.
Juhayman kemudian belajar di Madinah. Ia pun dikenal dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Era 1970-an diketahui sebagai era kedekatan Saudi Arabia dengan kelompok al-Ikhwanul Muslimun. Kedekatan itu dipicu oleh ketidaksukaan Rejim Raja Faishal terhadap Presiden Gamal Abdel Naser.
Rezim Naser sendiri diketahui sangat memusuhi kelompok al-Ikhwan meskipun semasa mudanya, ia pernah tercatat sebagai kader Ikhwan. Politik represif Naser itu yang menjadi alasan bagi aktivis Ikhwan untuk hijrah ke Saudi. Di antara yang hijrah adalah Muhammad Quthb dan Abdullah Nashih Ulwan.
Kedatangan para aktivis Ikhwan ini disambut baik Raja Faishal. Mereka yang kebanyakan adalah para akademisi ini diberi tempat untuk mengajar di kampus-kampus Saudi. Muhammad Quthb diketahui tercatat sebagai pengajar di Universitas Islam Madinah.
Edward Mortimer mencatat bahwa terjadi interaksi di antara Juhayman dengan Muhammad Quthb, adik dari Sayyid Quthb. Dari interaksi itu, Juhayman mendapat banyak informasi tentang politik dunia Islam.
Kecintaannya yang begitu kuat terhadap agama, membentuk cara pandang Juhayman yang sangat idealis ketika melihat realitas. Dari informasi yang diperolehnya, Juhayman berpendapat bahwa dunia tidak lagi bersahabat kepada Islam.
Menurutnya, pemimpin-pemimpin negara Islam sudah tidak lagi peduli dengan agamanya. Simpulan itu didapatnya setelah melihat Gamal Abdel Nasser, dan Saddam Husain yang menurutnya tidak lagi berpihak kepada Islam.
Kekecewaan Juhayman makin menjadi ketika Pemerintah Saudi membuka keran modernisasi. Masuknya tayangan televisi di Saudi Arabia telah mengubah cara pandang dan gaya hidup masyarakat. Lebih-lebih ketika Pemerintah Saudi membolehkan wanita tampil di layar Televisi sebagai pembaca berita.
Perubahan itu menurut Juhayman, mengancam ajaran Islam. Juhayman pun meradang. Ia mengajukan protes melalui Syaikh bin Baz. Juhayman yakin jika protesnya itu akan disampaikan kepada Raja.
Namun, jauh panggang dari api. Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun tidak terlihat membantu upaya Juhayman. Ia pun kecewa. Dengan bekal kemampuan militer yang dimilikinya, Juhayman mengumpulkan rekan-rekannya untuk menggugah Pemerintah agar kembali mempertahankan Islam.
Dengan senjata lengkap, Juhayman menyandera al-Masjidil Haram. KH. Marwazie menjadi saksi aksi teror Juhayman. Makkah pun mencekam. Kurang lebih selama tiga hari Juhayman beserta pasukannya menguasai Masjidil Haram.
Pihak Kerajaan pun mengerahkan pasukan elit untuk bebaskan Masjid Utama itu. Jet-jet tempur pun diterbangkan. KH Ahmad Marwazie menceritakan bahwa ratusan peluru dimuntahkan dari jet-jet tempur ke arah menara-menara Masjid. Anehnya, menara-menara itu tidak hancur walaupun berkali-kali diberondong peluru.
Setelah pertarungan yang melelahkan, Juhayman dan pasukannya berhasil ditaklukkan. Pihak Kerajaan segera mengadakan sidang kilat. Tidak perlu menunggu lama, vonis pun dikeluarkan.
Juhayman dan kawan-kawan dihukum pancung. Pelaksanaan hukum pancung dilakukan di Makkah. Juhayman didakwa melakukan fasad (kerusakan) berupa penyerangan terhadap Masjidil Haram yang dimuliakan, menyandera jamaah, membunuh beberapa orang, dan menebarkan ketakutan.
Juhayman memang sudah mati di tangan algojo. Tapi, amarah Juhayman tidak akan mati. Ini yang harus diwaspadai.