Ketika hendak menuliskan tentang FPI yang ‘seharusnya’ menjadi partai, saya awalnya mau menuliskan tentang karakter FPI yang antidemokrasi dengan menelusur perjalanan sejarahnya. Inheren dalam logika ini, FPI kecil probabilitasnya menjadi partai politik. Namun, mau tak mau karena membolak-balik lagi beberapa literatur tentang demokrasi dan masyarakat muslim, saya mendapatkan poin penting tentang dua visi politik Islam yang menjelma menjadi dua tipikal komunitas muslim di Indonesia.
Sebelum masuk ke poin ini, terlebih dahulu kita menolehkan kepala pada pertanyaan sederhana berikut, apakah gerakan FPI merupakan gerakan masyarakat sipil? Jawabnya, belum. Lantas, apa itu gerakan masyarakat sipil? Ada beberapa jawaban yang terkait erat dengan perspektif tertentu.
Mengutip Robert Hefner (1998), saya bisa sebutkan bahwa menurut para filsuf politik republikan, masyarakat sipil adalah tempat warganegara belajar kebiasaan-kebiasaan partisipasi dan toleransi yang tentunya vital bagi demokrasi. Bagi pengusung pasar bebas, asosiasi-asosiasi sipil dianggap memberikan layanan-layanan sosial tanpa memerangkap warganegara pada ketergantungan kesejahteraan yang diberikan negara.
Untuk para penulis kiri pasca-Marxis, masyarakat sipil dilantangkan sebagai sarana memperkokoh demokrasi. Secara keseluruhan, singkatnya semuanya menyatakan bahwa masyarakat sipil itu memiliki nisbah pada kekuatan untuk menciptakan daya-daya penyeimbang, menyingkirkan anomie, meningkatkan usaha ekonomi, menguatkan keluarga, meneguhkan demokrasi, dan menanamkan kebajikan republikan.
Sampai di sini, kita perlu menyebutkan bahwa masyarakat sipil niscaya terkait erat dengan relasinya terhadap negara dan kehidupan demokratis. Dalam konteks ini, sah saja bila kita bertanya, apakah ideal FPI adalah kehidupan demokratis dalam bernegara? Dengan berat hati, saya menjawab tidak. Rizieq sebagai pimpinan FPI telah secara tegas menolak demokrasi sehingga pembicaraan macam ideal-ideal demokratis menjadi tidak relevan.
Agar benderang, saya kutipkan ujaran berikut, “Demokrasi lebih bahaya dari babi. Jika kita colek babi itu terkena najis mugholadoh, dan jika dibersihkan 7 kali maka kembali suci. Jika dimakan dagingnya kita akan berdosa namun tidak jatuh kafir. Namun jika demokrasi di benak kaum muslimin maka dia ridho hukum Allah dipermainkan, maka dia bisa murtad keluar dari islam. Demokrasi bisa memurtadkan kita,” tegas Habib. (Lihat ar-Rahmah.com, 2/04/2013).
Tapi, agak ambivalen, belakangan sekitar setahun beberapa bulan kemudian, Habib Rizieq justru menyebutkan tentang demokratisasi. Hal ini diucapkannya terkait saat terjadi penolakan atas kehadiran dirinya untuk mendeklarasikan pendirian FPI di Tulung Agung. Menurutnya selama aksi penolakan terhadapnya prosedural dan beralasan, maka mereka yang menolak dia merupakan bagian dari demokratisasi. Kendati demikian, dia menuding bahwa yang menolaknya adalah orang-orang yang menjadi sasarannya dalam “amar ma’ruf nahy munkar”.
Dia mengungkapkan kepada media, “Anda-anda sebagai media di daerah lebih tahu, apakah mereka yang nolak itu golongan germo, pelaku prostitusi, preman, pemilik kafe, atau bahkan kelompok non-Muslim,” katanya. (Republika.co.id, 8/10/2014).
Rizieq tidak mau melihat kenyataan bahwa pihak yang menolaknya sebagian berasal dari kalangan muslim taat juga. Yakni kalangan yang menerima demokrasi secara substantif.
Mengapa Rizieq menganut logika antidemokrasi? Sinaran historis berikut mungkin cukup mendedahkan. Lagi, mengutip Hefner, kalangan muslim di Indonesia, berbeda dengan mereka yang di Timur Tengah, memiliki sejarah panjang pluralisme intelektual dan organisasional. Preseden pluralis ini memiliki muasal penting yang merujuk pada kenyataan bahwa Islam yang disebarkan di kawasan ini bukan melalui raja penakluk dunia, tapi melalui jejaring perdagangan dan negara-kota. Faktor terakhir ini menyerupai pemerintahan multisentris masa Eropa modern awal.
Pola persebaran politis macam ini di era kolonial bukannya berkurang, sebaliknya justru makin dikukuhkan. Kebijakan politik Belanda yang memisahkan secara tegas antara Islam dan negara mendorong institusi-institusi muslim menjauh dari negara dan malah merasuk dalam ke masyarakat. Kebijakan inilah yang malah membantu menciptakan tradisi Islam yang subur bagi asosiasi masyarakat bawah dan kemerdekaan kewargaan. Gerakan-gerakan reformasi Islam berkembang pesat dengan tetap mempertahankan pluralisme intelektual dan organisasional.
Alih-alih preseden pluralisme dan asosiasi, beberapa pihak dalam komunitas muslim tetap bersikap ambivalen terhadap ideal-ideal demokratik sipil. Kelompok ini menegaskan bahwa agama mereka memerintahkan agar menjauh dari pengalaman historis langsung dan kembali pada bayangan masa keemasan di mana agama dan negara dianggap tunggal. Visi politik antidemokrasi inilah yang dianut Rizieq. Namun, perlu dikemukakan bahwa Rizieq bersikap ambivalen juga dalam ideal politik Islam ini.
Di satu sisi, menyokong khilafah sehingga dengan mudah bergandeng dengan HTI, di sisi lain, FPI mendorong proyek syariatisasi Indonesia dengan program NKRI Bersyariah. Penting disebutkan bahwa tentunya ideal syariat yang mereka perjuangkan adalah minus nilai-nilai demokrasi yang substantif yakni partisipasi dan toleransi yang universal. Mengapa? Ketika pergerakan sejarah pemikiran dan kelembagaan membawa pada kesadaran bahwa entitas negara dan masyarakat memiliki distingsi agar terwujud kehidupan kemasyarakatan demokratis dan beradab, visi itu malah berupaya menyatukan lagi dua entitas tersebut. Jelas ini adalah visi yang mundur, usang dan jumud.
Kini kita tiba pada persoalan bagaimana bila FPI bersulih menjadi parpol peserta pemilu. Pertama dan utama, FPI tentu harus mengikuti syarat-syarat partai politik baik formal maupun material. Persyaratan-persyaratan ini tampaknya mudah untuk dipenuhi oleh FPI. Kedua, seturut ketundukan pada persyaratan parpol, maka FPI mesti tunduk pada ideal-ideal demokratis sipil yang menandakan keberadaban demokratik, yakni pengakuan atas toleransi dan prinsip kesetaraan. Mau tidak mau, FPI harus mengadopsi dan menerapkan ideal-ideal demokratis macam pengakuan pada kebebasan berkumpul dan dialog non-koersif.
Pada titik ini, boleh jadi FPI akan kesulitan, sebab, senyatanya ada persoalan manakala FPI berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berbeda bahkan berlawanan. Fakta ini gamblang manakala kita menoleh sebentar pada kisruh negosiasi damai antara Tempo dengan FPI baru-baru ini. Ketiga, secara visi politik ia mengalami perubahan radikal karena adanya pengakuan distingsi penting antara entitas negara dan masyarakat sipil yang demokratis. Beberapa pengamat memang menyebutkan bahwa dalam hal nasionalisme, FPI menerimanya sebagai kenyataan, namun nasionalisme ini bukan mengarah pada ideal demokratis, malah sebaliknya.
FPI menganut semacam etnonasionalisme yang melakukan mitologisasi mayoritas terminoritisasi. Selain itu, entah apakah ini tepat, penulis telah mengurainya dalam Homo Hasadus 2, ada semacam hatred subjectivity yang bisa ditarik akarnya pada tipe etnonasionalisme di atas. Lebih jauh, dengan rekam jejaknya selama ini, andai bersulih jadi parpol, FPI akan menjalankan politik dominasi atas nama mayoritas sejalan dengan upayanya mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Wallahu a’lam. [ ]