Belakangan ini kita digemparkan dengan banyaknya kasus-kasus diskriminasi. Mulai dari diskriminasi gender, diskriminasi agama, diskriminasi suku, bahkan diskriminasi atas pekerjaan-pekerjaan orang lain. Dengan diskriminasi yang ada, tentu menunjukkan dehumanisasi yang kian marak dan fatalnya, banyak terjadi di kalangan manusia yang dilabeli sebagai “tokoh”.
Dehumanisasi adalah proses di mana seseorang atau kelompok tertentu dipandang kurang manusiawi, atau kehilangan jati diri sebagai manusia. Mereka dipandang seperti tidak memiliki emosi, moralitas, atau martabat. Dengan kata lain seperti yang beredar, tidak bisa memanusiakan manusia.
Dehumanisasi dapat terjadi dalam berbagai konteks, yaitu:
Pertama, Diskriminasi Sosial
Biasanya terjadi pada kelompok minoritas yang diberi stereotip negatif, bahkan sampai pada mengklaim bahwa kelompok mayoritas lah yang paling benar.
Kedua, Penindasan
Biasanya ini terjadi sesame individu. Di mana seseorang hanya dianggap sebagai objek. Dan ini masih terjadi di masyarakat kita, perempuan sering dipandang haya sebatas sebagai objek seksual dari laki-laki.
• Tindak kriminal atau kekerasan: Pelaku yang melakukan kriminal atau kekerasan biasanya menggunakan dehumanisasi untuk mengurangi rasa bersalahnya. Di mana dia akan menganggap korban sebagai orang yang tidak berharga, sehingga pantas ditindas.
Dari berbagai macam konteks dehumanisasi, kita bisa melihat berbagai macam contoh yang sedang terjadi belakangan ini.
Tokoh agama yang dilabeli “Gus” secara terang-terangan menghina pengjual es teh di tengah kajian yang sedang berlangsung dengan kata yang seharusnya tidak dinormalisasikan saat dakwah.
Belum lagi penggunaan kata seksisme kepada seorang pemain wayang perempuan yang ditonton jutaan orang, menjadi penguat bahwa masih banyak laki-laki yang memandang perempuan sebagai objek seksual semata. Bahkan di kalangan yang katanya belajar agama.
Ada lagi diskriminasi gender, agama, serta ras pada satu individu yang terjadi di Maluku Utara. Di mana beliau sebagai perempuan terpilih menjadi Gubernur Maluku Utara dan berakhir didiskriminasi dengan pandangan bahwa perempuan tidak boleh jadi pimpinan, bahwa ras yang patut memimpin hanya suku asli tanah Maluku, bahwa hanya pimpinan dari kalangan islam yang berhak karena mayoritas masyarakatnya. Pola pikir yang menjadikan manusia dengan kondisi mayoritas, merasa sangat superior dari kalangan minoritas.
Padahal Islam sendiri tidak pernah mengajarkan diskriminasi. Justru Allah memerintahkan kepada kita semua untuk memuliakan manusia lain, karena Allah pun memuliakan manusia yang merupakan ciptaan-Nya. Selain itu, diksriminasi sangat ditentang karena berkaitan dengan kesetaraan manusia.
Bahwa manusia, tidak memandang dari mana dia berasal, sama di hadapan Allah. Hal ini sudah termaktum dalam al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13:
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha telii.”
Ayat tersebut mengajarkan kita bahwa sudah takdirnya Allah memang menciptakan manusia itu berbeda-beda. Dengan perbedaan itu justru menjadikan kita lebih saling mengenal, memahami, dan menghormati. Apabila yang dilakukan adalah diskriminasi, maka kita menentang firman Allah. Masalahnya, beberapa orang memang merasa dirinya paling mulia. Padahal, kemuliaan itu hanya Allah yang menentukan.