Jihad Menurut Para Ulama: Tidak Selamanya Bermakna Perang

Jihad Menurut Para Ulama: Tidak Selamanya Bermakna Perang

Jihad Menurut Para Ulama: Tidak Selamanya Bermakna Perang

Beberapa hari lalu, narasi.tv kolaborasi dengan cariustadz.id menyelenggarakan diskusi yang mengumpulkan beberapa Ulama. Acara bertajuk Ulama Penyejuk Hati ini membincang seputar isu terkini. Seperti peristiwa pengeboman di Makassar dan penyerangan Mabes Polri beberapa waktu lalu, misalnya. Kejadian ini tentu sangat mengagetkan dan memilukan, terlebih di saat menjelang datangnya bulan suci Ramadan.

Ironisnya, pelaku menuliskan surat wasiat yang salah satunya berisi bahwa Jihad adalah ibadah tertinggi setelah Tauhid dan Salat. Bagi mereka, apa yang dilakukan adalah bentuk Jihad fi Sabilillah. Fenomena ini adalah wujud dari kesalahpahaman memahami tentang konsep Jihad. Bagi Habib Quraish Shihab, jihad adalah menggunakan seluruh daya untuk mencapai sesuatu yang luhur. Oleh karenanya, jihad tidak bisa diartikan hanya dengan bentuk perang saja. Hal ini bisa dipahami, misalnya dari QS. 25: 52.

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا

Ayat yang turun saat Nabi Muhammad masih berada di Makkah ini tidak lantas dipahami sebagai perintah berjihad dalam bentuk perang, melainkan jihad dengan al-Quran yang penuh dengan kesungguhan (Jihad Kabir). Artinya, umat Islam dituntut untuk menonjolkan ajaran Islam sesuai dengan karakter agama Islam itu sendiri, yakni ramah dan jauh dari kata kekerasan. Sebab, jika upaya meyakinkan orang lain tentang kebenaran agama dilakukan dengan cara-cara kekerasan, niscaya itu tak akan pernah berhasil. Bahkan, justru akan semakin menjauhkan mereka dari Islam.

“Oleh karenanya, mereka yang melakukan bom bunuh diri sebenarnya salah langkah. Mestinya mereka itu berjihad dengan menampilkan nilai-nilai ajaran agama dan menunjukkan kehebatan ajaran agama ini sehingga mereka masuk Islam, kalau mereka non Muslim. Atau sehingga mereka yang masih kurang dari aktivitas yang baik, akan lebih baik aktivitasnya,” tegas Habib Quraish.

KH Bahauddin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha yang berada di samping Habib Quraish pun mengamini hal ini: bahwa kita sebagai Muslim memang sudah seharusnya menampakkan sikap, tutur kata dan perilaku yang baik. Sebab bermula dari hal-hal itulah orang lain menjadi tertarik dengan Islam. Bukan dengan cara kekerasan.

Gus Baha mencontohkan, dulu saat Nabi berdakwah guna menyadarkan kaum Arab dari paganisme adalah dengan cara melontarkan pertanyaan yang sekiranya menganggu logika mereka. Seperti dalam QS. 46: 4: “Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah (kepadaku) tentang apa yang kamu sembah selain Allah; perlihatkan kepadaku apa yang telah mereka ciptakan dari bumi atau adakah peran serta mereka dalam (penciptaan) langit?.

Pertanyaan retorik semacam ini banyak ditemukan dalam al-Quran dan umumnya ditujukan kepada penyembah berhala. Sekali lagi, Nabi SAW tidak memilih untuk menggunakan cara-cara ekstrem dan keras. Dari pertanyaan tersebut akan membuka akal sehat mereka, bahwa bagaimana mungkin dirinya menyembah seonggok batu yang tak mampu berbuat apapun untuk para penyembahnya.

Di media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan ajaran-ajaran yang isinya begitu provokatif dan persuasif. Postingan semacam itu harus mampu diidentifikasi sejak dini agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah. Bagi Dr. Ali Nurdin, setidaknya ada tiga hal untuk mendeteksi adanya paham yang patut diduga berlawanan dengan nilai-nilai moderasi agama.

Pertama, jika terdapat sebuah paham yang tidak mencerminkan keragaman. Ya, sebagai sunnatullah, perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang wajib diterima oleh seluruh umat manusia. Oleh karenanya, siapapun yang mengingkari keragaman adalah indikasi awal yang harus dihindari.

Kedua, jika terdapat paham yang terlalu ketat atau terlalu longgar. Sikap pertama menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang eksklusif dan ketat. Sementara sikap kedua berpeluang menjadikan Islam kehilangan jati dirinya karena lebur dan larut dalam budaya lain.

Untuk itu, dalam berdakwah kita harus memiliki keseimbangan antara teks agama dengan konteks sosial masyarakat kini. Inilah yang dinamakan sebagai Wasathiyyah, atau moderasi. Satu sisi tidak memahami teks agama dengan begitu ketat, sempit, dan tekstual sehingga melahirkan sikap ekstrem dan kaku. Di sisi lain tidak juga terlalu kontekstual dan mengabaikan teks agama yang kemudian melahirkan sikap agama yang begitu longgar.

Ketiga, mencerminkan Fiqh al-Aulawiyyat, fiqih skala prioritas. Dalam konteks Islam keindonesiaan misalnya, sesuatu yang kita perjuangkan bersama mestinya adalah hal yang disepakati menjadi persoalan bersama, bukan terus menerus memperdebatkan hal yang sebenarnya adalah perkara furu’iyyah.

Gus Baha mencontohkan hal lain. Dulu ada seorang pemuda dengan semangat menggebu mengajukan diri ingin turut serta jihad bersama Nabi saw. Kemudian Nabi Muhammad bertanya, “apakah kedua orang tuamu masih hidup?”.

“Masih hidup wahai Nabi”, jawab pemuda tersebut.

Lantas Nabi berkata “Kembalilah dengan berjihad terhadap kedua orangtuamu.”

Dari riwayat ini, bisa kita lihat bahwa makna jihad sangatlah luas. Sekaligus menegaskan bahwa seseorang harus mendahulukan apa yang menjadi prioritas dirinya. Dalam konteks cerita di atas, sudah jelas bahwa bentuk jihad seorang anak adalah merawat dan berbakti kepada orang tua. Hal ini jauh lebih utama dan unggul dari jihad dalam bentuk peperangan. Bahkan perang yang dilakukan bersama Nabi SAW sekalipun.

“Jadi kata jihad, dari dulu birrul walidain juga jihad, memerangi hawa nafsu juga jihad. Apa saja yang baik itu dapat dikatakan sebagai jihad. Sehingga dengan seperti itu akan mengembalikan orang sesuai fitrahnya. Kalau suami ya membahagiakan istri, orangtua membahagiakan anak, (begitupun) anak membehagiakan orang tua,” tambah Gus Baha.

Oleh karenanya, Prof. Abdul Mu’ti mengatakan bahwa inilah pentingnya ilmu dan perlunya memperluas bacaan agar tidak terkurung dalam sempitnya pemahaman dalam memandang realitas agama.