Jalan Panjang Media Islam

Jalan Panjang Media Islam

Bagaimana sejarah media berbasis muslim menghidupi dirinya dan bergulat dengan pembaca? Telaah ini mengulik hal itu dari sisi sejarah.

Jalan Panjang Media Islam

Sejarah mencatat, sejumlah media Islam, dengan corak ideologi masing-masing, turut mewarnai perjalanan pers Indonesia. Sebut saja misalnya Panji Masyarakat, Ummat, Amanah, Republika, Sabili, Hidayatullah, Syir’ah, Ummi dan lain-lain. Juga media-media yang dirilis organisasi massa Islam seperti Suara Muhammadiyah dan Duta Masyarakat. Pada perkembangannya, seiring persaingan yang makin ketat, sejumlah media Islam tumbang dan sebagian yang lain tetap bertahan atau bermigrasi ke ranah siber.

Secara sederhana, kita bisa menandai perjalanan media Islam di Indonesia dengan sejumlah penanda. Pertama, lahirnya Republika. Republika dianggap sebagai media massa dengan corak Islam dan komunitas pembaca muslim terbesar dan paling mapan di Indonesia. Media tersebut lahir dari rahim ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia), terbit pertama kali pada 4 Januari 1993. Republika tercatat memiliki 70% pembaca laki-laki dan 30% pembaca perempuan (Survey Nasional 2012, Nielsen Consumer Media View). Sedangkan dari segi usia, pembaca Republika didominasi pembaca muda.

Kedua, munculnya Sabili. Media Islam yang juga dianggap besar dan pernah mengalami masa kejayaan hingga terjual 100.000 eksemplar adalah Sabili. Adalah Zainal Muttaqin bersama teman-temannya di Kelompok Telaah dan Amaliah Islami (KTAI) yang membidani lahirnya Majalah Sabili. Kala itu, surat kabar harus memiliki surat izin penerbitan dan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Zainal dan teman-temannya menerbitkan majalah tanpa surat izin.

Bermodal patungan kurang lebih Rp 1.000.000, Sabili terbit pertama pada awal 1998 sebanyak 2.000 eksemplar. Seiring waktu Sabili semakin bertumbuh dan menemukan ciri khas serta pembacanya sendiri. Sabili dikenal sebagai media yang kerap menurunkan tulisan-tulisan provokatif dengan bahasa vulgar dan bombastis.

Ketiga, kehadiran Syir’ah. Pada mulanya Syir’ah terbit dalam bentuk buletin dengan oplah 500 eksemplar. Oleh para pendiri yang sebagian besar pegiat di berbagai forum studi di Jakarta, Ciputat, dan Depok, media ini diniatkan sabagai media diseminasi wajah Islam yang kritis, terbuka, dan damai.

Syir’ah lahir dari rangkaian diskusi yang digelar beberapa forum studi di Depok dan Jakarta dengan Yayasan Desantara, lembaga swadaya yang menekuni isu-isu Islam dan kebudayaan. Nama Syir’ah dipilih karena dianggap bisa mewakili cita-cita untuk selalu menerima perbedaan dan ruang untuk mendialogkan perbedaan.

Agus Sudibyo, pengamat media, pernah memberi kritik untuk Syir’ah. Baginya, Syir’ah terlihat ingin melawan fundamentalisme dengan cara yang fundamentalistik. Mereka fundamentalis bukan dalam artian ideologis, tapi dari cara menyajikan berita. Menurut Agus, hal tersebut adalah permasalahan dalam mengelola sebuah media. Salah satu misal, Syir’ah tak segan-segan membuat liputan soal gay. Bagi kalangan Islam yang liberal, hal itu tentu tidak jadi soal. Tapi bagi Islam yang di tengah-tengah, hal serupa itu sulit diterima.

Maka, Syir’ah harus lebih hati-hati dalam memilih isu. Agar tetap bertahan, Syir’ah harus merebut simpati dan empati kelompok-kelompok Islam yang mengambang. Syir’ah sebaiknya bersabar untuk tidak menampilkan isu-isu yang kontroversial, kecuali jika sudah memiliki pasar yang cukup besar.

Apabila pasar sudah bisa diyakinkan, barulah membahas isu-isu seputar gay, nikah beda agama, dan lainnya. Kritik Agus berikutnya, Syir’ah tidak tepat menggunakan Sabili sebagai perbandingan. Harus dicari perbandingan lain, misalnya dari media-media alternatif seperti Kartini atau Sarinah. Bagaimana majalah seperti Kartini dan Sarinah bisa bertahan lama, itulah yang harus dipelajari.

 

Populer dan Islamis

Pandangan lain mengenai media Islam di Indonesia datang dari Alamsyah M Dja’far, peneliti Wahid Institute. Menurutnya, media Islam pasca reformasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah media yang mengusung isu penegakan syariah, jihad dan menginginkan berdirinya negara Islam, sedang yang kedua adalah media Islam populer. Majalah Sabili dan Hidayatullah termasuk dalam kelompok pertama. Sabili pernah menjadi ikon penting kelompok ini dan secara fenomenal berhasil meraup oplah besar.

Besarnya oplah yang dicapai oleh Sabili salah satunya lantaran liputan-liputan Sabili terkait konflik di Ambon dan Poso. Adapun Majalah Hidayatullah, yang berkembang dari pesantren Hidayatullah, memiliki pasar yang cukup stabil  dengan segmen para santri dan alumninya. Sedangkan majalah lain yang dikategorikan Islamis adalah majalah Ummi dan Annida dengan segmen ibu-ibu muslimah dan remaja muslim.

Kategori kedua adalah media Islam populer yang dibagi menjadi media mistik dan media gaya hidup. Majalah Hidayah mewakili media mistik Islam, sebuah majalah fenomenal di Indonesia karena oplahnya pernah mencapai 400.000 eksemplar/bulan. Majalah tersebut mempengaruhi tren tayangan mistik di televisi yang merupakan visualisasi dari tulisan di majalah Hidayah. Representasi kategori gaya hidup (lifestyle) adalah majalah Paras, yang mengambil segmen ibu-ibu muslimah dengan mengeksplorasi tren fashion. Selain itu juga terdapat Majalah Muslimah dan Majalah Anggun, yang merupakan majalah pernikahan, serta majalah Alia dan Nur.

Lalu bagaimana kondisi media Islam saat ini? Pengelompokan yang dilakukan Alamsyah (dengan konteks tahun 2000-an) terasa masih cukup relevan hingga sekarang. Hanya saja, semenjak pemblokiran situs radikal oleh BNPT-Kemenkominfo, media Islam di Indonesia seolah terpecah menjadi dua kelompok: media Islam radikal dan media Islam moderat.

Cap radikal diberikan BNPT kepada suatu media jika media tersebut: (1) Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama (2) Mudah mengkafirkan orang lain (3) Mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS (4) Memaknai jihad secara terbatas.

Pun demikian, gambaran media Islam di Indonesia boleh jadi tak sesederhana ‘media radikal vs media moderat’. Tentu ada banyak wajah Islam di Indonesia dan beragam pula ekspresi yang mereka tampilkan di media yang mereka miliki. Laman islambergerak.com misalnya, mereka memposisikan diri sebagai media Islam progresif. Kemudahan yang diberikan internet memang memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Namun, di Indonesia media Islam tetap berhadapan dengan tembok pembatas (pemerintah, pemblokiran).

Padahal, di era informasi yang mengalir deras nyaris tak terbendung ini, yang lebih penting dilakukan adalah memberikan pemahaman yang baik kepada para netizen.   Kita berharap ada warna-warni media Islam di Indonesia demi mendapat wacana yang kaya. Sembari literasi media terus berjalan. []

A. Zakky Zulhazmi adalah Peneliti dan Penulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber. Alumnus pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.