Islam, Nawal El Saadawi dan Perjuangan Perempuan

Islam, Nawal El Saadawi dan Perjuangan Perempuan

Nawal el Sadawi memberi contoh perlawanan dan islam sebagai teologi pembebasan

Islam, Nawal El Saadawi dan Perjuangan Perempuan
Protes perempuan dan mahasiswi Mesir atas Arab Spring

Islam dikenal sebagai agama pembebasan dan memperjuangkan kesetaraan ras, kelas sosial dan perjuangan perempuan sejak kemunculannya 14 abad yang silam. Islam melawan penindasan dan perilaku buruk terhadap perempuan yang dilakukan oleh bangsa jahiliyah. Perempuan mendapatkan tempat yang mulia dalam agama Islam. Pejuang dan perjuangan perempuan pun selalu ada menghiasi sejarah Islam.

Tanggal 28 Februari dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional. Dirayakan sejak tahun 1909 oleh Partai Sosialis Amerika Serikat. Demonstrasi yang dilakukan oleh para perempuan di Petrograd pada tanggal 8 Maret 1917 adalah cikal bakal terjadinya Revolusi Rusia. Oleh sebab itu, setiap akhir bulan Februari hingga awal Maret diresmikan sebagai Hari Perempuan Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mewujudkan hak perempuan dan perdamaian dunia.

Gerakan perjuangan perempuan memang selalu muncul di setiap zaman. Perjuangan ini tak pernah usai, sebab penindasan akan perempuan selalu saja terjadi hingga sekarang. Feminisme selain gerakan kebudayaan, politik, sosial dan ekonomi, juga dikenal sebagai bagian dari teori sastra, yaitu sastra femenis.

Sastra selalu menjadi pilihan untuk menjadi corong bagi suara-suara mereka yang terbungkam. Sastra yang kita kenal sebagai membangkitkan imajinasi manusia. Imajinasi manusia mempunyai daya dorong pada dua hal yaitu, pertama, daya yang menggerakankan bagian-bagian desiratif seperti insting, kecondongan dan reaksi. Kedua, daya yang digerakkan oleh lain seperti tubuh dan otot.

Imajinasi yang dibangkitkan oleh sastra juga membangkitkan hasrat atau perlawanan kepada suatu objek selaras dengan prinsip intelek praktis maupun secara bebas. Apabila prinsip intelek praktis membimbing imajinasi, maka tindakan manusia menjadi rasional, yaitu ia mengikuti kebaikan hakiki dan menghindari keburukan hakiki. Oleh sebab inilah, sastra adalah medium tepat menyuarakan kebenaran yang terbungkam.

Kembali ke sastra feminis, teks kitab suci yang selama ini masih banyak ditafsirkan dalam bingkai patriarkhi. Sebab inilah sastrawan feminis, Nawal El Saadawi tampil untuk mulai membongkar kedudukan perempuan dalam kultur budaya Arab sangat direndahkan. Ada semacam bias “kepentingan elit budaya dan kekerasan” mendasari posisi perempuan ditaruh rendah.

Media sastra diharapkan bisa menyosialisasikan berbagai hal dalam membangun atau meruntuhkan sebuah ideologi yang menindas. Gagasan-gagasan feminisme El Saadawi dibingkai dengan sangat apik dalam beberapa karyanya, diantara yang paling terkenal al-Wajhu al-A’ri lil Mara’ah al-Arabiyah.

Nawal El Saadawi sangat dikenal sebagai pengugat yang gigih dalam memperjuangkan perempuan dalam kekuasaan lelaki. Islam pada masa Rasulullah menurut Nawal El Saadawi adalah agama yang sebenarnya sangat ramah kepada perempuan. Membebaskan perempuan dari perbudakan, diskriminasi, serta marjinalisasi yang disebabkan oleh sistem patriarkat yang berkelas-kelas dalam kebudayaan yang lalim, inilah yang dilakukan Islam pada masa Rasul. Namun seiring perkembangan zaman, kebudayaan Arab, Islam juga Eropa malah kembali menempatkan perempuan tak lebih pada barang jualan atau budak, diskriminasi pada perempuan pun tak terhindarkan.

Nawal El Saadawi mengingatkan kepada kita untuk bisa selektif dalam memandang warisan sejarah kebudayaan Arab dan Islam, di mana ada sisi dalam kebudayaan yang sangat merugikan dan menindas kepada perempuan sudah seharusnya dibuang dan ditinggalkan.

Kaum perempuan, menurut Nawal El Saadawi, tidak akan bebas dari sistem patriarkhi kecuali mereka sendiri yang mulai merubahnya dan berusaha mengangkat harkat dan martabatnya dalam bingkai modernisasi. Emma Goldman, seorang pemikir Anarkhi, menjelaskan perempuan tidak akan maju jika belum memahami makna emansipasi dengan sepenuhnya. Menurutnya, perempuan saat ini lebih memikirkan kemerdekaan eksternal, namun lupa pada ada yang lebih berbahaya yaitu tirani internal. Tirani internal sangat berbahaya bagi kehidupan perempuan, sekilas tirani ini selaras pada pikiran dan hati di hadapan para pelaku aktif emansipasi perempuan, sama seperti pikiran dan hati orang tua.

Perjuangan perempuan memanglah berat, melawan penindasan dari sisi ekstrnal hingga internal. Perjuangan ini tidak akan menyingkirkan bahwa posisi perempuan sebagai manusia yang bebas, berdiri tegak di atas tanahnya sendiri, menuntut kebebasan yang tidak terbatas, semuanya ini untuk mendengarkan suara nalurinya sebagai perempuan yang mencintai dan dicintai tanpa batas-batas imajiner.

Perempuan saat ini seharusnya mengingat kembali kritik Fatima Mernissi, dimana yang lebih membeli baju dan keperluan makeup ketimbang buku, untuk  membuka cakrawala berpikir mereka dalam membuka singkap kelas-kelas yang dibuat oleh para penguasa yang patriarkhi.

Nawal El Saadawi menegaskan bahwa dalam gerak sejarah, peran perempuan tidak bisa diabaikan. Dari gerakan revolusi hingga perjuangan kemerdekaan, perempuan selalu mengambil peran. Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, Hari Perempuan Internasional adalah gerakan-gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak esensial sebagai manusia. Namun, Emma Goldman menambahkan perjuangan perempuan seharusnya bisa keluar dari sudut sempit yang cuma melawan antagonisme terhadap lelaki.

 

Fatahallahu Alaihi Futuh al-Arifin