Belakangan ini, kalau mendengar kata “Inggris” masih saja terbesit Brexit. Satu langkah politik yang berhasil dilakukan Britania Raya supaya lepas dari tubuh Uni-Eropa, lengkap dengan konsekuensi untung dan ruginya. Salah satu alasan kenapa kelompok pro-Brexit keukeuh mempertahankan pilihannya adalah semakin kuatnya gelombang imigran yang masuk Eropa, sedangan Uni-Eropa cukup longgar menerimanya.
Melihat alasan di atas, keberhasilan Brexit kemarin adalah preseden buruk bagi keberagaman kehidupan sosial-masyarakat. Artinya, kelompok sayap kanan dan ultra-nasionalis di Inggris kian menguat. Mereka adalah kumpulan individu yang mengagungkan pemurnian identitas, diskriminatif, dan anti-semit: benci kepada orang-orang Islam dan Yahudi.
Karakter seperti ini lekat dengan orang-orang India hari ini di bawah Partai Bharatiya Janata yang ringan tangan memukuli umat muslim, atau para neo-Nazi di sepanjang Eropa dan Amerika Latin yang rajin meneror komunitas Yahudi. Kemenangan Brexit juga mendapat sambutan dari para aktor sayap kanan Eropa seperti Geert Wilders, politisi Belanda di balik terciptanya film kontroversial tentang Nabi Muhammad; dan Marine Le Pen, politisi Prancis yang menyerukan larangan berjilbab di negaranya.
Masalahnya, ketika Islam dipahami dengan sinisme dan kebencian, maka pengetahuan tentang substansi Islam tidak akan tersampaikan secara penuh dan benar. Hal ini bisa mengakibatkan dampak buruk ke dua arah. Pertama, seluruh umat Islam di Eropa, terutama di Inggris, akan menjadi target kebencian dan diskriminasi sebab praduga dan tuduhan tentang Islam yang salah. Kedua, kelompok ekstremis Islam yang ada di sana akan mendapat justifikasi dan angin segar bagi setiap aksi terornya.
Artinya, ketika kelompok sayap kanan Inggris “membakar” Islam dari luar, kelompok ekstremis Islam malah membantunya “mengipasi” dari dalam. Otoritas Inggris bahkan telah memperingatkan bahwa ultra-nasionalisme adalah ancaman yang tumbuh paling cepat, sedangkan ekstremisme Islam tetap menjadi ancaman yang dominan. Jika dibiarkan kebencian antar dua entitas yang saling bertabrakan ini akan semakin membumbung tinggi dan sulit dipadamkan.
Kita sepakat, baik di Indonesia atau di seluruh dunia sekali pun, Islam sebagai ideologi moral tidak berdiri menjadi satu kelompok tunggal. Para pemeluknya memiliki mazhab, strategi dakwah, pemahaman pada teks, dan segala perbedaan yang melahirkan kelompok-kelompok berlainan di dalamnya. Pun sebenarnya sama dengan semua agama dan ideologi lainnya, selalu mempunyai ragam kelompoknya sendiri.
Di Inggris, tentu saja banyak komunitas muslim yang hidup dalam lingkungan yang moderat dan toleran. Tapi di komunitas lain tidak sedikit pula yang berpaham konservatif hingga ekstrem. Kita bisa melihatnya dari berbagai aksi kekerasan dan teror mengatasnamakan Islam yang melanda Inggris selama ini.
Tahun ini saja, kepolisian Inggris mencatat setidaknya sudah ada dua aksi teror oleh kelompok ekstremis Islam yang menimbulkan jatuhnya korban, yaitu Teror HMP Whitemoor dan Teror Streatham.
Dimulai pada 9 Januari 2020, ketika dua orang napi di Penjara Whitemoor, Brusthom Ziamani dan kawannya, mencoba membunuh seorang sipir dengan pisau buatan yang mereka rakit di dalam penjara. Dua napi tersebut mengenakan rompi bom palsu saat melakukan aksinya. Sebagaimana dilansir The Guardian, akibat aksi tersebut seorang sipir terluka parah di bagian kepala dan leher. Sedangkan beberapa lainnya mengalami luka ringan karena mencoba menyelamatkan temannya.
Ziamani adalah pengikut Anjem Choudary, seorang salafi-ekstremis Inggris pro-ISIS yang sangat anti-Barat. Choudary juga gencar mempromosikan syariatisasi di tanah Britania. Sedangkan Ziamani sendiri ditahan oleh kepolisian setempat karena merencanakan serangan terorisme pada tahun 2015 untuk memenggal kepala seorang tentara Inggris. Lalu di penjara, ia bersama rekannya yang mualaf melakukan percobaan pembunuhan kepada seorang sipir.
Belum sampai insiden Whitemoor dilupakan, menurut laporan SkyNews sebulan setelahnya seorang ekstremis muslim menikam dua korban tak bersalah di wilayah padat penduduk Streatham, London Selatan. Serupa dengan yang dilakukan Ziamani, tersangka bernama Sudesh Amman itu juga mengenakan rompi bom palsu. Kejadian tersebut membuat Amman ditembak mati di tempat oleh polisi yang bertugas.
Amman baru saja beberapa hari keluar dari penjara karena tuduhan menyebarkan ajaran ekstremisme Islam. Dia dijatuhi hukuman kurungan selama tiga tahun empat bulan sejak Desember 2018, tepatnya ketika pengadilan mendengar bahwa dia telah menyebarkan pandangan ekstremisnya dengan orang-orang di sekitarnya. Amman bahkan sempat membujuk pacarnya untuk membunuh orang tuanya.
Dua aksi teror para ekstremis Islam tersebut belum termasuk aksi teror besar di Inggris yang pernah terjadi sebelumnya, seperti katakanlah, pengeboman di Manchester Arena, pengeboman di stasiun kereta bawah tanah Parsons Green London, atau yang telah lama berlalu: Bom London 2005.
Segala rentenan peristiwa terorisme mengatasnamakan agama di Inggris sebenarnya tidak luput dari banyaknya organisasi ekstremis Islam yang berinang di sana. Selain ISIS, para ekstremis Islam di Inggris banyak yang berafiliasi dan tergabung dalam organisasi-organisasi teroris lain seperti Al-Qaeda, Tentara Islam Aden-Abyan, Islamic Jihad Union, Jamaah Mujahidin, hingga Kelompok Abu Sayyaf.
Di Indonesia kita mengenal nama-nama seperti Aman Abdurrahman, Amrozi bin Nurhasyim, Santoso, Imam Samudera, dan lain-lain. Mereka adalah para ekstremis Islam yang rela mati, tak segan membunuh, dan melakukan apa saja demi meraih utopia surga dan bidadari fiktifnya. Para teroris ini, selain menjadi ancaman nyata bagi Republik, juga telah menyeret citra Islam pada pengadilan stigmatik yang buruk di masyarakat dunia.
Pun sama halnya dengan yang dialami oleh saudara-saudara muslim kita di Inggris. Ketika aksi demi aksi teror para ekstremis Islam dilancarkan, semakin tenggelam pula wajah Islam ramah yang selama ini diperjuangkan oleh banyak komunitas muslim Inggris yang moderat.
Bedanya, jika di Inggris umat Islam harus mengindari pukulan dari dua sisi: menekan paham Islam yang ekstrem dan melindungi diri dari ancaman anti-semitisme para ultra-nasionalis; maka di Indonesia ultra-nasionalisme seringkali bercampur dengan agama (Islam) dan politik itu sendiri. Tentu saja tidak lain untuk mencapai tujuan politiknya dengan merepresi kelompok minoritas yang dilemahkan.
Kita tidak bisa mengatakan, bahwa tantangan kita di dalam negeri masih lebih ringan dibanding para muslim di Inggris. Selain ekstremisme Islam yang belum juga tumbang, bahkan malah memunculkan benih-benihnya melalui kekakuan beragama dan konservatisme, sebagian dari kita juga masih punya masalah serius pada mayoritarianisme yang hobi memaksakan kehendak dan membiasakan kekerasan.
Saya kira, saat kita merasa cemas dan empati dengan saudara muslim kita di Inggris, satu-satunya upaya yang paling dekat dengan jangkauan kita adalah memperbaiki watak berislam kita yang masih kaku, antikritik, menutup pintu dialog, merasa paling benar, superior, dan represif pada kelompok yang dilemahkan (mustadh’afin).
Kita butuh lebih banyak umat Islam yang penuh cinta, welas asih, dan mau berdialog dengan segala perbedaan. Di samping menerapkan ajaran Islam yang sebenarnya, tentu saja juga untuk mengubur citra buruk Islam di mata dunia; sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya.