Memindai Ekstremisme dalam Meme di Media Sosial

Memindai Ekstremisme dalam Meme di Media Sosial

Memindai Ekstremisme dalam Meme di Media Sosial

Jika di antara kita adalah pemakai aktif media sosial tentu sudah familiar dengan meme. Kata meme pertama kali dikenalkan oleh Dawkins melalui bukunya The Selfish Gene pada tahun 1976. Dawkins memakai istilah tersebut untuk mendefinisikan kelahiran budaya dengan asumsi terjadi lewat bentukan dari banyak replikator (peniru).

Hipotesis Dawkins adalah kita harus melihat kelahiran budaya berasal dari banyaknya bentukan peniru, yang biasanya menduplikasi sesuatu melalui hubungan dengan manusia, yang telah berevolusi sebagai peniru (walaupun tidak sempurna) informasi maupun perilaku yang efisien. Meme tidak selalu pengopian secara sempurna, bahkan dapat hilang, tercampur atau bahkan berubah dikarenakan pengaruh dari ide lainnya, sehingga menjadikan suatu meme yang baru. (Sumber: Wikipedia.com)

Mungkin dari penjelasan Dawkins di atas cukup mengejutkan kita sebagai konsumen meme setiap hari di media sosial. Sebab, kita sudah terbiasa memakai atau melihat meme sebagai bagian dari instrumen di media sosial. Tentu pemahaman kita tidak salah karena jika membaca apa yang ditulis oleh Shifman (2013), yang kita pahami yakni frasa meme umumnya diterapkan untuk menggambarkan propaganda pada konten seperti lelucon, rumor, video, atau situs dari satu orang ke orang lainnya melalui internet.

Entah sejak kapan telah terjadi reduksi atau pergeseran dari defenisi awal dari Dawkins, tapi meme sudah kadung kebanyakan kita pahami adalah berupa konten bagian dunia maya, atau lebih khususnya adalah media sosial. Malah meme sekarang tidak saja menyebar dalam bentuk konten aslinya, tetapi sering juga memunculkan turunan atau pembaharuan yang dibuat pengguna internet lain.

Tentu hal ini bukan tidak beralasan, karena jagat maya yang kita lihat sekarang seakan tidak lagi hanya bertumpu pada teks dan huruf belaka, video dan foto juga telah banyak mewarnai. Kehadiran platform media sosial berbasis foto dan video, macam Youtube dan Instagram, juga menjadi lahan subur peredaran meme.

Tertulis di laman Instagram, “Cara yang menyenangkan dan unik untuk berbagi hidup Anda dengan teman-teman melalui serangkaian gambar. Ambil foto dengan ponsel Anda, lalu pilih filter untuk mengubah gambar menjadi memori untuk disimpan selamanya. …. Kami membayangkan dunia lebih terhubung melalui foto ”. Bisa dibayangkan ada berbagai foto yang menghubungkan kita sebagai manusia atau warganet dalam satu platform.

Kekuatan visual jugalah yang bisa menyihir perhatian dan membuat sebagian warganet tertarik untuk turut turun berperang, dengan berbagai motivasi melatarinya. Thomas Hegghammer menuliskan dalam pengantar bukunya bahwa di zona perang dan kamp pelatihan kita seringkali melihat para jihadis menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk berdoa, mendengarkan dan menyannyikan lagu-lagu perjuangan, bercerita, menonton video jihadi, dan menafsirkan mimpi tentang perjuangan mereka.

Selain itu dia juga menegaskan produk-produk dan praktik-praktik di atas menonjol pada tahap paling awal dari induksi rekrutmen ke dalam kelompok-kelompok jihad. Banyak rekrutan baru tampaknya menikmati nyanyian dan video jihad jauh sebelum mereka melihat pertempuran dan mempelajari poin-poin doktrin secara serius. Semua hal ini menunjukkan bahwa produk dan praktik non-militer memiliki poin penting dalam cara kelompok jihadis merekrut dan beroperasi.

Peredaran narasi ekstremisme lewat meme sekarang sudah jauh berkurang, mungkin ini bagian dari filter konten yang dilakukan mandiri oleh pihak Instagram. Jika kita berselancar sekarang di media sosial, kecil kemungkinan kita mendapati video atau meme bernarasi ekstremisme kecuali kondisi geo-politik di belahan dunia tidak sedang bergejolak.

Ketika kasus kekerasan muslim di India atau Rohingya meledak maka tidak sedikit meme, foto dan video beredar luas di media sosial, di mana mayoritasnya berpretensi memanasi konflik kemanusiaan tersebut. Mungkin masih segar dalam ingatan kita sebuah foto yang merekam seorang muslim diperlakukan kasar, bahkan bisa mengancam nyawanya. Selain itu mungkin kita harus belajar dari peredaran sebuah foto anak kecil berdarah-darah yang selamat dari sebuah pengeboman. Tidak butuh waktu lama, foto tersebut viral di jagat maya dengan berbagai kecaman terhadap kekejaman sebuah rezim.

Peredarannya di media sosial tidak lagi hanya mengandung informasi yang sama (baca: diduplikasi), tapi juga rentan hilang dari konteks, bertambah narasi hingga bercampur dengan ide-ide lain, seperti ekstremisme, yang bisa dilakukan hanya dengan menambahkan beberapa kata atau kalimat yang berpeluang memunculkan mispersepsi dari orang lain. Dua foto di atas telah jauh bergeser pada narasi yang lebih besar seperti kebencian pada kelompok tertentu, seperti Syiah dan Hindu, atau menjadi legitimasi ketertindasan umat Islam yang cenderung memunculkan gerakan jihadis di belahan dunia lain. Kekerasan atas umat Islam di India juga disandarkan dari beberapa aksi ekstremisme dari berbagai wilayah lain di luar India.

Usaha memindai ekstremisme dalam sebuah meme tentu bukan pekerjaan yang mudah. Berdalih membela kemanusiaan, kita mungkin sekali terjebak pada keberpihakan buta pada isu primordial kaya agama atau suku. Dua kasus foto di atas, yang sering dijadikan meme, maka kita belajar mengedepankan dua hal penting untuk bisa keluar atau terhindar dari jebakan ekstremisme, yaitu kehati-hatian dan kemanusiaan.