Beberapa peserta tes CAT (Computer Assisted Test) Calon Pegawai Negeri Sipil di Madiun ketahuan membawa jimat. Bentuk jimat tersebut bermacam-macam, mulai batu akik, gulungan kain warna putih, merah, dan lain sebagainya. Tidak diketahui isi dari gulungan kain tersebut, namun hal tersebut cukup mencengankan.
Seperti dilansir Kompas, Pemkab Madiun sendiri telah melarang peserta membawa barang-barang sejenis jimat tersebut. Secara aturan, mungkin hal ini dilarang oleh panitia tes, namun bagaimana Islam memandang hal ini?
Memandang hal ini tidak bisa secara general. Yakni, tidak bisa serta merta menghukumi haram dan sebagainya, karena dianggap menyekutukan Allah SWT dengan jimat yang dibawa.
Terkait hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperinci. Pertama, terkait penggunaan jimat secara umum. Dalam hadis memang pernah disebutkan bahwa penggunaan jimat, ruqyah, dan jampi-jampi hukumnya syirik.
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
“Sesungguhnya ruqyah (pengobatan dengan doa), jimat dan tiwalah (sejenis susuk daya pikat) adalah perbuatan yang meyebabkan syirik”
Dalam hadis tersebut, maka sudah jelas bahwa Rasulullah sendiri menyamakan jimat dengan ruqyah. Maka, dalam kasus ini, kita bisa menqiyaskan hukum jimat dengan ruqyah.
Namun, kita juga perlu melihat dan mengerti, mengapa jimat dan beberapa hal lain dalam hadis tersebut disebut syirik. Ibnu Hajar al-Asyqalani dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa tiga hal di atas termasuk syirik karena hal-hal tersebut dipercaya sebagai hal yang dapat menolak bencana dengan sendirinya, tanpa ada unsur Kekuasaan Allah SWT.
كانوا في الجاهلية يعتقدون أن دلك يدفع الآفات….ولا يدخل في ذلك ما كان بأسماء الله وكلامه
“Mereka (orang jahiliyah) berkeyakinan bahwa hal-hal tersebut dapat menolak bencana. Dan tidak terdapat di dalam hal/benda-benda tersebut asma Allah SWT dan kalam-Nya.”
Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa Rasulullah memberikan batasan, kapan jimat dan ruqyah tersebut bisa diperbolehkan, yakni, asalkan tidak mengandung kesyirikan.
كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّة، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْف تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
“Kami melakukan ruqyah saat kami di masa Jahiliyah. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang ruqyah?” Rasulullah menjawab: “Berikan ruqyah kalian padaku. Tidak apa-apa dengan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR Muslim)
Lalu, bagaimana kategori jimat dan ruqyah yang tidak mengandung kesyirikan?
Pertama, secara prinsip, sesuai penjelasan Ibn Hajar al-Asyqalani dalam Syarh Fathul Bari-nya, jimat tidak dikategorikan musyrik jika pengguna tersebut tidak memiliki keyakinan bahwa jimat tersebut bisa melakukan hal-hal diluar kuasa Allah SWT.
Kedua, jimat tersebut berisikan tulisan yang mengandung asma Allah atau ayat-ayat al-Quran. Abdullah bin Umar pernah menulis sebuah doa yang diajarkan Rasulullah SAW kepadanya dan tulisan tersebut dikalungkan ke anaknya. Hal ini terekam dalam al-Adzkar an-Nawawi karya Imam an-Nawawi.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعلمهم من الفزع كلمات : أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وشر عباده ، ومن همزات الشياطين ، وأن يحضرون ” ، وكان عبد الله بن عمرو يعلمهن من عقل من بنيه ، ومن لم يعقل كتبه فعلقه عليه. قال الترمذي حديث حسن.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengajarkan sejumlah kalimat ketika rasa takut mencekam. ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu. Abdullah bin Amr mengajarkan kalimat ini kepada anak-anaknya yang sudah bisa mengerti pelajaran. Kepada anak-anak balitanya yang belum bisa menangkap pelajaran, Abdullah menulis kalimat (yang diajarkan Rasulullah SAW) itu, lalu menggantungkannya di tubuh mereka. Imam At-Turmudzi mengatakan, hadis ini hasan.”
Dari kisah Ibn Umar tersebut, bisa disimpulkan bahwa jimat yang berisi ayat-ayat Al-Quran, asma Allah, atau bacaan doa, itu hukumnya sama seperti doa pada umumnya, yakni meminta kepada Allah SWT, bukan kepada benda jimat tersebut. Para ulama juga menyebutkan bahwa seharusnya, jimat tersebut bukan dari barang-barang yang najis. Seperti tulang bangkai, dan barang-barang najis yang lain.
Lalu, bagaimana dengan kasus para calon CPNS yang ketahuan membawa jimat tersebut?
Pertama, kita tidak bisa melihat secara langsung isi dari bungkusan “jimat” tersebut, apakah sesuai dengan kriteria di atas atau bukan. Pun urusan keyakinan orang tersebut terhadap jimat yang dibawanya tidak bisa kita justifikasi, karena keyakinan adalah urusan hati, tentu kita tidak mengatahui isi hatinya. Oleh karena itu, tetap hati-hati menjaga keyakinan terhadap benda-benda tersebut.
Kedua, boleh kita berdoa dan mengharap kepada Allah dengan lantaran jimat (sesuai kriteria di atas), asalkan tidak meninggalkan usaha dan kerja keras kita.
Wallahu A’lam.