Hikmah dari Film Imperfect: Upaya Meneguhkan Konsep Memanusiakan Manusia

Hikmah dari Film Imperfect: Upaya Meneguhkan Konsep Memanusiakan Manusia

Film Imperfect yang disutradarai Ernest Prakasa membeirkan kita makna penting soal memanusiakan manusia

Hikmah dari Film Imperfect: Upaya Meneguhkan Konsep Memanusiakan Manusia

Apakah kamu pernah mengalami body shaming atau perundungan lainnya? Ternyata,  hampir semua orang pernah mengalaminya. Masifnya praktik perundungan fisik ini yang menjadikan film terbaru bertajuk Imperfect besutan Ernest Prakasa mendapatkan banjir penonton dalam penayangannya beberapa hari saja. Dari laman sosial media film tersebut, film ini telah ditonton 1.821.229 orang dalam kurun waktu 14 hari. Bisa jadi ramainya film ini dikarenakan tema yang diangkat sangat dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, persoalan perundungan dan insekyuritas.

Seperti film-film koh Ernest sebelumnya, genre yang dipilih adalah drama-komedi, dengan setting kehidupan keluarga. Film imperfect ini mengkisahkan anak sulung, bernama Rara, yang lahir dengan bentuk tubuh mirip dengan bapaknya yang gendut dan berkulit hitam, sementara sang mama yang dulunya adalah seorang model menginginkan anaknya merawat tubuhnya dengan mejaga pola makan dan rutin berolahraga. Singkat cerita, ia pun mendapatkan perundungan dari sana-sini.

Film ini memiliki pesan tersirat yang sangat jelas semisal jangan kita menghina orang karena bentuk tubuh yang ia miliki, dan juga mengajak para penonton untuk mensyukuri setiap kondisi tubuh yang dimiliki, seperti tagline film ini “ubah insekyur menjadi bersyukur”. Lebih jauh, menurut saya, Koh Ernest mengajak kita menengok tentang kemanusiaan dan memanusiakan manusia. Bahwa yang lebih penting untuk diasah bukanlah fisik terlebih dahulu, tetapi soal kapasitas diri dan hati.

Penampilan bukanlah sesuatu yang sangat penting dan menjadi fokus utama, seperti yang dikatakan Rara di film itu “Cantik kan gak tentu bahagia, Té!”. Penampilan bisa dikembalikan ke masing-masing subjek. Orang bisa sangat peduli atau tidak peduli pada giginya yang tinggos, tompel di wajahnya, rambut yang kriting, dan lain-lain. Semua itu adalah hak dan otoritas dari yang memiliki tubuh. Apalagi bentuk tubuh yang kita punya bukanlah sesuatu yang bisa kita pesan.

Film ini pun menurut saya mengajak kita untuk semakin meneguhkan kemanusiaan. Dalam diskursus kemanusiaan, modal manusia tidak hanya insting, semisal kalau lapar, jalan keluarnya adalah makan. tetapi lebih dari itu, manusia memiliki akal budi dan nurani yang bisa diolah. Dalam Alqur’an sendiri, beberapa kali Allah memuliakan manusia karena dibekali akal budi, semisal dalam Q.S. 95:4, 22:46, 7:179 dan lain-lain. Dirangkum oleh Zein, A. (2017) bahwa Alqur’an menjelaskan perihal Aql untuk manusia sebanyak 49 kali. Dari keterangan-keterangan yang dihimpun tentang akal untuk manusia, kata akal memiliki makna sebauh daya untuk memahami dan mengambarkan sesuatu, dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran, kesimpulan, serta hikmah.

Hal ini senada dengan salah satu kutipan paling tersohor dari Eleanor Roosevelt, Ibu Negara Amerika Serikat tahun 1933 sampai 1945. Ia mengatakan “Great minds discuss ideas, Average minds discuss events, Small minds discuss people”. Kalau berpijak pada apa yang diungkapkan Eleanor Roosevelt, cara kita menghargai karunia Tuhan paling agung berupa akal adalah dengan memanfaatkannya untuk mendiskusikan sebuah ide atau gagasan, sementara pikiran yang hanya digunakan untuk membicarakan manusia, termasuk menghina fisik orang lain, adalah pikiran yang kerdil.

Ketika dua sumber di atas disintesis, akan menghasilkan asumsi begini, bahwa tindak perundungan fisik yang massif terjadi adalah bukti bahwa masih banyak manusia yang tidak mensyukuri akal yang telah dititipkan Tuhan serata membiarkan diri terjungkal pada juran pikiran-pikiran yang kerdil. Sejatinya fisik yang kita terima adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Kita mendapat jatah tubuh yang pendek, hidung yang terlalu besar, mata yang sipit, daun telingga yang serupa belalai gajah, warna kulit yang hitam sampai rambut yang ikal, semuanya adalah hak preogratif Tuhan.

Gus Dur pernah mengatakan bahwa memuliakan manusia, berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.

Islam adalah agama kasih yang sangat menghargai kemanusiaan. Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menilai seseorang dari tampilan luar, latar belakang, atau nasabnya. Yang paling dihargai Allah adalah umatnya yang paling bertakwa, sementara manusia terbaik adalah yang paling memberi manfaat.

Selanjutnya, setiap umat Islam memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu, ditandai dengan ayat pertama yang turun untuk umat Islam adalah tentang perintah membaca. Sehingga, harusnya spirit yang selalu dibawa oleh umat Islam adalah rasa selalu ingin tahu dan kepala yang selalu penuh dengan pertanyaan. Tidak hanya penuh sesak oleh tuduhan, intimidisa dan hinaan atas ketidaksempurnaan orang lain.

Ketika pikiran hanya sampai pada kesimpulan tampilan luar yang berujung pada judge sampai hinaan fisik, tentu itu bukanlah tanda seorang muslim yang mampu menghargai kemanusiaan dan memanfaatkan akal yang dititipkan padanya. Muslim yang memiliki jiwa memanusiakan manusia tentu juga mempertimbangkan aspek kapasitas sampai kualitas hati. Sehingga, saya kira film Imperfect bisa menjadi pemantik untuk kita terus memanusiakan manusia. Mengingatkan kita bahwa kebiasaan menghardik lian bukan hanya dilarang oleh agama, tetapi juga akan mengganggu kesehatan mental korban perundungan.

Sisi Pendidikan kita juga saya kira penting untuk mengadopsi apa yang telah Imperfect sampaikan, karena banyak dari sisi Pendidikan kita yang hanya menyelesaikan tugas secara permukaan semisal mencetak manusia yang hanya mampu berkompetisi dengan capaian nilai-nilai yang bagus tanpa menyisipkan siraman moral dan muatan kemanusiaan dalam setiap sendi Pendidikan.

Wallahu A’lam

Sumber

Zein, A., (2017), The Interest of Qur’an About The Acts (A Thematic’s Review), Jurnal At-Tibyan, Vol. 2 No. 2