Film Imperfect: Antara Masyarakat Tontonan dan Bagaimana Medsos Memanipulasi Kesadaran Orang

Film Imperfect: Antara Masyarakat Tontonan dan Bagaimana Medsos Memanipulasi Kesadaran Orang

Platform-platform raksasa digital itu selalu tahu apa yang orang butuhkan, dan lebih dari itu, mereka juga paham betul bagaimana cara memanipulasi kesadaran kita.

Film Imperfect: Antara Masyarakat Tontonan dan Bagaimana Medsos Memanipulasi Kesadaran Orang

Sepekan terakhir ini, linimasa media sosial saya sesak dengan sepotong tayangan film Imperfect: The Series. Merasa penasaran, saya akhirnya memutuskan untuk menonton drama-komedi ini. Tapi, bukan versi The Series-nya, melainkan Imperfect yang telah tayang penghujung 2019 silam. Mwehehe…

Bedebah, betul. Yang namanya Ernest Prakasa sepertinya memang tidak pernah jelek kalau bikin film. Tapi ini kalau saya lhoo. Sekali lagi, kalau menurut saya…

Ada banyak scene yang, terus terang, saya dibuat kelewat badala oleh Imperfect. Dan, tentu saja, sudah banyak ulasan yang menulis tentang puja-puji betapa film ini mau mengkoreksi narasi besar bernama rezim kecantikan. Untuk kepentingan ini, saya kira Ernest berhasil mengemas kritik sosialnya dengan apik.

Lebih dari itu, film Imperfect sebetulnya juga bicara tentang fenomena sosial lain yang dalam kajian media disebut sebagai the society of spectacle (masyarakat tontonan). Mudahnya, spectacle ini kita mengerti saja sebagai sebuah relasi sosial antar orang yang telah dimediasikan. Di sini, peran visual menjadi sesuatu yang penting. Karena itu, ia sekaligus akan memproduksi koleksi citra.

Ringkasnya, di dalam dunia spectacle, kita berhadapan dengan hal-hal yang seolah kelihatan indah. Pertanyaanya, apakah yang indah-indah itu selamanya adalah riil?

Film Imperfect tegas mengatakan tidak!!

Dengan sangat gamblang kita bisa melihat gejala “spectacle” ini lewat adegan George (Boy Wiliyam) yang selalu ingin nampang (appearance) di ruang media. Padahal, itu semua dia lakukan tidak lebih dari sekadar tebar pesona lewat klaim “work hard and stay humble” belaka.

Selain itu, masih ada lagi Lulu (Yasmin Naper) yang selalu merasa terteror oleh komentar setamsil “makin gendut” atau “chubby” atau “emoticon gajah” yang mendarat di feed Instagramnya.

Di atas itu semua, Rara (Jessica Mila) digambarkan nyaris kehilangan orang-orang yang telah tulus mengasihinya. Ini terjadi setelah dirinya setengah mampus memburu “kesempurnaan” sehingga larut dalam definisi bahwa menjadi cantik itu harus begini dan begitu.

Nah, apa yang terjadi kepada George, Lulu, dan Rara itu ternyata juga menjadi khazanah dari masyarakat (pasca) modern, bil khusus orang urban. Umumnya, ini bisa kita lihat lewat perilaku seleb-seleb yang bertebaran di jagad media sosial. Kata kuncinya adalah “pokoknya dunia harus tahu”, kendati itu adalah urusan perkakas, ubo rampe, hingga nongkrong di kafe mevvah.

Dan, suka tidak suka, yang demikian itu juga berlaku dalam konteks fenomena (seolah-olah) keagamaan. Apa yang dilakukan oleh Aldy Taher dengan #BACA ALQURAN_REKAM_POSTING, misalnya, secara benderang menunjukkan gejala spectacle. Ini satu.

Kedua, menjadi seorang Muslim hari ini ternyata tidak cukup dengan bersyahadat, atau sembahyang lima waktu, kemudian berpuasa, lalu berzakat, dan Haji. Lebih dari itu, ada semacam rezim pengetahuan yang seolah memaksa (sebagian besar) kita agar selalu merasa perlu mencitrakan ibadah di ruang media.

Maka, terjadilah yang namanya engagement. Ada interaksi antar subjek di ruang virtual. Kamu, misalnya, menggunggah photo di Instagram dengan latar Ka’bah, lantas disertai kepsyen “Alhamdulillah, bla, bla, bla…”

Lalu, seorang yang kebetulan melihat unggahan itu menyambar lewat kolom komentar,

“Wah, selamat ya. Anu, nitip tulisin nama aku sambil ala ala ‘kapan kamu ke sini’ gitu…”

Kelak, tepat setahun kemudian, Instagram mengingatkan momen penting itu, seolah-olah mau mengejek memori kolektif umat manusia yang penuh keterbatasan dan dipandang tidak mampu merekam secara persis kapan hal itu terjadi.

Begitulah kira-kira teknologi dan industri media bekerja. Manusia penuh keterbatasan, sedangkan mesin berupaya untuk menjadi sempurna. Bahkan, pada derajat tertentu ia dapat menyebabkan candu dan di luar kontrol.

Ringkasnya, platform-platform raksasa digital bani Google dan Facebook itu selalu tahu apa yang orang butuhkan, dan lebih dari itu, mereka juga paham betul bagaimana cara memanipulasi kesadaran kita.

Untuk hal ini kamu bisa nonton The Social Dilema (2020). Dan, dengan demikian, kita akan menjadi semakin mafhum bahwa sebenarnya manusia tidak benar-benar merdeka dari jerat para pebisnis yang memainkan algoritma bawah sadar orang. Selamat berakhir pekan…