Haruskah Umat Islam Pasrah di Tengah Wabah?

Haruskah Umat Islam Pasrah di Tengah Wabah?

Jadi, apakah kita sebagai muslim harus pasrah saja?

Haruskah Umat Islam Pasrah di Tengah Wabah?

2.657 kasus positif baru diumumkan oleh juru bicara pemerintah Indonesia terkait penanganan Covid-19, Ahmad Yurianto pada tanggal 9 Juli lalu. Jumlah tersebut menjadi angka tertinggi sejak kasus positif CoV-2 pertama kali diumumkan pada tanggal 22 Maret 2020. Kini, total jumlah kasus positif di Indonesia mencapai lebih dari 76 ribu, tertinggi di Asia Tenggara.

Meski kurva tak juga melandai bahkan terus merangkak titik puncaknya, kita dihadapkan pada dua persoalan besar. Pertama, berkurangnya sense of crisis sebagian besar masyarakat Indonesia. Himbauan physical distancing, cuci tangan, dan penggunaan masker yang menjadi standar pecegahan tertularnya virus tampaknya tak lagi begitu diperhatikan. Indikator sederhananya, sudah banyak pos-pos jaga yang dibongkar dan warga berangsur berupaya menerapkan kelaziman baru atau ‘new normal’.

Hal ini berbeda pada saat Indonesia menerapkan darurat Covid-19 selama beberapa minggu di periode April – Mei. Pada saat itu angka kasus baru masih di kisaran ratusan. Namun disiplin jaga diri dan jaga jarak dilakukan oleh warga. Bahkan banyak perkampungan sampai berinisiatif melakukan local lockdown untuk mencegah tersebarnya virus tersebut.

Kedua, mulai banyak suara ketidakpercayaan yang disuarakan terkait data-data kasus positif Covid-19. Ada dua kubu yang saling bertentangan, yaitu kubu yang mengatakan bahwa data dari pemerintah terlalu diglorifikasi dan kubu yang menyebut data pemerintah terlalu ditutup-tutupi.

Kelompok pertama menuduh pemerintah banyak meng-corona-kan pasien yang belum tentu positif, sedangkan kelompok kedua menyebut pemerintah ‘menyembunyikan’ banyak data demi melandaikan kurva kasus. Apalagi di berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo sudah memberi deadline kepada kepala daerah dan menterinya agar kurva harus melandai dengan cara apapun.

Situasi yang serba tidak menentu ditambah jumbuh-nya warga untuk terus berada di rumah saja selama beberapa bulan menyebabkan ledakan aktivitas luar ruangan yang berpotensi menjadi klaster-klaster tak terkontrol. Di kampung penulis misalnya, periode bulan April hingga bulan Mei protokol pencegahan begitu ketat diterapkan. Warga mendirikan posko cuci tangan dan membatasi kegiatan-kegiatan berkerumun.

Namun setelah wacana ‘new normal’ digulirkan pemerintah, warga kemudian menjalani kehidupan yang normal seperti sedia kala. Beberapa tenaga kesehatan yang bertugas di kampung yang dulunya sangat vokal mengedukasi warga, kini mulai terbiasa dengan kenyataan bahwa masyarakat kembali ke rutinitas lamanya. Sederhananya, sebagian warga mengira bahwa virus Corona ini sudah benar-benar hilang. Meski belakangan pemerintah merevisi kata ‘new normal’ dengan adaptasi kebiasaan baru.

‘Nrima Ing Pandemi’

Kita bisa belajar dari keberhasilan Selandia Baru mengatasi Covid-19 sehingga siap menerapkan kelaziman yang nyaris normal (almost normal). Selandia Baru berhasil mengonsolidasikan unsur pemerintah dan masyarakat untuk bersama menghadapi virus corona. Kesuksesan lockdown, penerapan physical distancing yang ketat, dan strategi jitu pemerintah menjadi kunci keberhasilan ini.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak awal, pemerintah memang tampak kesulitan untuk menerima kenyataan virus ini datang menginfeksi masyarakat. Kita bisa melihat pada periode Februari hingga Maret banyak tokoh negara yang justru melempar pernyataan yang meremehkan virus tersebut, di antaranya dengan menyebut suhu panas di Indonesia bisa melemahkan virus Corona.

Sentimen negatif masyarakat terus mengalami pembiakan karena langkah-langkah akrobatik negara tak mencerminkan kesiapan menghadapi wabah. Hingga awal Juli ini, masyarakat justru disibukkan dengan berbagai proyeksi yang tidak substansial, seperti baru-baru ini adanya klaim dari Kementerian Pertanian terkait penemuan kalung antivirus Corona.

Sementara itu lembaga legislatif tidak terlihat kiprahnya dalam mengawasi langkah-langkah pemerintah untuk penanganan wabah ini. Para anggota dewan secara ajaib malah membahas produk undang-undang yang selama ini mendapat pertentangan namun begitu gigih untuk disahkan. Belum pernah kita melihat bagaimana anggota dewan melakukan langkah besar mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah pusat.

Pemerintah yang kesulitan, dewan yang tak berjalan, dan warga yang kelelahan menghadapi situasi pandemi menjadikan ‘new normal’ bukan lagi dipahami sebagai praktik, tetapi sikap menormalisasi berbagai kejadian. Sederhananya, kita memang sudah kehilangan arah untuk mengendalikan wabah.

Meski demikian kita belum sepenuhnya kalah. Perjuangan melawan Covid-19 adalah perjuangan jangka panjang hingga kelak vaksin berhasil ditemukan. Untuk itu mengajak masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan perlu terus dilakukan.

Masyarakat Jawa mengenal kredo ‘nrima ing pandum’ yang berarti menerima terhadap takdir yang diberikan. Namun ada tahapan bagaimana seseorang bisa mengucapkan kalimat tersebut. Seseorang layak berbicara takdir apabila sudah melakukan upaya maksimal atau ikhtiar. Dalam istilah agama Islam pasrah terhadap takdir disebut sebagai tawakkal.

Secara naluriah, masyarakat kita yang sebagian besar muslim sudah mulai membiasakan diri hidup berdampingan dengan Covid-19 karena ‘nrima ing pandemi’, menerima wabah ini sebagai suratan takdir dari sang ilahi. Apakah kita berhak bersikap tawakkal tentu dilihat dari usaha maksimal (ikhtiar) yang kita lakukan. Tanpa itu semua, kita hanya menjebak diri pada kesadaran palsu. Dan angka-angka kasus baru pun tak lagi memiliki makna. Wallahua’lam.