Saya sempat bepikir, apakah benar kecenderungan masyarakat yang terlalu ambisius dengan agama akan berpengaruh pada kemunduran kualitas negara? Asumsi liar memang, namun melihat berbagai fenomena narasi para pendakwah agama di Indonesia yang membenturkan pandemi dengan agama, saya kok sedikit merasa jika asumsi itu agak benar. Narasi setamsil “tidak usah takut Covid-19, takutlah kepada Allah semata” hingga “Covid-19 merupakan tentara Allah yang dikirim untuk menghancurkan orang kafir di Cina” adalah sedikit contoh yang pernah mewarnai lini masa media sosial kita.
Baru-baru ini, Pemerintah memberlakukan PPKM darurat dan menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan sebagai koordinator pelaksana. PPKM darurat ini berlaku untuk Pulau Jawa-Bali dan berlangsung dalam durasi 3-20 Juli 2021. Tentu, kebijakan ini memantik beragam respon, termasuk yang muncul dari otoritas Agama, salah satunya dari Ustadz Abdul Somad (UAS).
Ditengarai, UAS menyoal tentang himbauan kepada umat Muslim agar mengurungkan ibadah berjama’ah di masjid selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro darurat di Jawa dan Bali. UAS menarasikan bahwa umat Muslim harusnya malu kepada Allah karena hanya bertahan di masjid 5-10 saja, sedangkan di pasar atau mall, umat Muslim bisa betah berjam-jam.
Dalam regulasi PPKM darurat memang diatur bahwa tempat ibadah seperti masjid dan mushala ditutup sementara, namun faktanya mall-mall juga ditutup sementara karena ia bukan termasuk sektor non-esensial. Mungkin yang dipermasalahkan UAS adalah supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari yang masih boleh dibuka dengan batasan jam operasional sampai pukul 20.00 waktu setempat, dengan kapasitas pengunjung 50 persen. Pertimbangannya, tempat-tempat tersebut merupakan sektor yang menyuplai kebutuhan primer manusia, menutup tempat-tempat tersebut bisa jadi justru semakin memperburuk kondisi masyarakat karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik. Tidak bisa dibayangkan jika sektor esensial tersebut ditutup, hendak ke mana masyarakat membeli beras, telur, sayur-sayuran yang menjadi sumber imun mereka di rumah.
Masalahnya, mengapa masjid ditutup? Sebenarnya bukan hanya masjid saja yang ditutup, gereja, pura, wihara, dan kelenteng, serta tempat umum lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah juga ditutup sementara. Pertama, masjid bukan termasuk sektor esensial yang menyentuh sisi primer kebutuhan manusia. Manusia di sini diartikan secara general, bukan orang Islam saja. Artinya jika masjid dibuka, sedangkan tempat ibadah lain ditutup, apakah kita mau mengambil resiko mengkambinghitamkan masjid sebagai salah satu cluster penyebaran virus? Daripada kemudian masjid dan Islam mendapat citra yang lebih buruk, melakukan kegiatan komunal di masjid ketika zona merah sebaiknya tidak dilakukan. Mencermati illat hukum juga perlu menjadi pertimbangan dalam melihat fenomena kebijakan masjid dan pasar. Ditutupnya pasar akan lebih menimbulkan kekacauan yang lebih besar daripada ditutupnya masjid. Perbedaan illat ini mengharuskan tindakan yang berbeda termasuk ketika mengapa pasar dibuka, sedangkan masjid ditutup.
Kita perlu mencontoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) yang langsung menghimbau seluruh sinode di Indonesia untuk mengikuti protokoler kesehatan yang sudah diatur pemerintah. Tidak lucu rasanya keegoisan “Islam” justru menyebabkan petaka bagi umat agama lain.
Kedua, syariat Islam bisa runtuh oleh satu illat, yaitu illat yang berhubungan dengan nyawa manusia. Nabi suatu kali pernah memerintah untuk mengantisipasi kusta dengan menjaga jarak. Hal ini terkait dengan dua sahabat Nabi yang terkena penyakit kusta, Muaiqib dan Anas bin Malik. Seperti dalam banyak hadis shahih, Nabi bersabda:
فر من المجذوم فرارك من الاسد
Artinya:
“Larilah dari orang yang terkena penyakit kusta seperti engkau lari dari harimau.” (HR: Bukhari)
Penyakit kusta menular tetapi belum ditemukan riwayat siapa sahabat lain yang tertular dari kedua sahabat Nabi tersebut. Hal itu karena secara medis penyakit ini penularannya sangat lambat Jika kusta yang penularannya lambat saja diperintah oleh Nabi untuk menjauh lalu bagaimana dengan penyakit yang penularannya lebih cepat? Apalagi terkadang orang yang membawa virus tersebut terlihat sehat dan tidak sakit namun menularkan kepada orang yang kondisi tubuhnya sudah tidak sehat.
Jika UAS menyoal perihal jamaah masjid yang jauh lebih sedikit daripada pasar ketika pandemi tentu aneh karena fenomena ini juga terjadi tidak hanya ketika pandemi, hal ini bahkan sudah menjadi realitas di Indonesia, bukan fenomena lagi. Memang kesadaran umat Muslim untuk ke Masjid yang berkurang perlu menjadi evaluasi bersama karena meramaikan masjid juga termasuk hal yang diperintahkan oleh Nabi. Namun, membenturkan isu ini dengan kebijakan terkait pandemi tentu bukan sebuah kebijaksanaan yang harusnya dimiliki oleh seorang pendakwah agama.
Negara membutuhkan rakyat yang patuh terkait kebijakan PPKM Darurat untuk mengurangi risiko penyebaran Virus Covid-19 yang dikabarkan semakin mengerikan dengan munculnya vairan Delta. Tentu narasi UAS berpotensi menciptakan stigma yang buruk terkait upaya memerangi Covid-19 ini. Ambisi yang berlebihan terhadap agama bisa jadi justru membutakan masyarakat Indonesia tentang apa yang seharusnya diperangi. Kita sedang memerangi pandemic, bukan memerangi kebijakan-kebijakan yang justru menghalangi kita membasmi pandemi.
Wallahu a’lam bisshowab …