Bukti Kegagalan Teroris dalam Memahami Agama

Bukti Kegagalan Teroris dalam Memahami Agama

Apakah teroris punya agama? demikian orang banyak bertanya. Ya, teroris itu punya agama. Namun mereka gagal dalam memahami agama.

Bukti Kegagalan Teroris dalam Memahami Agama
Ilustrasi teroris perempuan yang sedang mengangkat senjata. Foto: Foreign Affair Magz

Dalam sepekan terakhir ini, Indonesia dikejutkan dengan rangkaian aksi teror. Pertama pada tanggal 10 Mei aksi para narapidana teroris menguasai Mako Brimob dan membunuh lima polisi. Kedua, aksi di tiga Gereja Surabaya yang menewaskan enam orang. Meskipun tragedi yang kedua ini belum teridentifikasi, akan tetapi tindakannya sudah di luar nalar manusia.

Deretan aksi ini menambah rapot Indonesia dalam masalah teroris. Apabila melihat dari serangkaian aksi yang pernah terjadi, semua akan terlihat jelas dari mana asalnya dan apa kepentingannya. Misalnya benih-benih ISIS di Indonesia menggunakan pola menyerang aparat negara seperti polisi dan tempat ibadah agama lain.

Dengan menyerang tempat-tempat tersebut, mereka merasa hasratnya atau nalurinya akan terpuaskan. Hasrat membenci yang diaktualisasikan dengan cara membunuh kelompok lain. Hasrat yang menolak untuk hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda. Dari hasrat-hasrat ini kemudian diakumulasikan sehingga rasa benci, marah, dan lain-lain akan terkumpul lalu lahirlah obsesi untuk membunuh orang-orang yang dibenci.

Hasrat dalam hal ini memang menjadi ciri dari manusia. Manusia pada dasarnya memiliki dua naluri, yaitu naluri untuk bertindak baik dan buruk. Jadi manusia memiliki dua unsur sekaligus dalam satu tubuh. Tatkala manusia mampu melawan hasrat buruknya dan beragama sesuai dengan yang diharapkan Tuhan, maka mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Tuhan.

Akan tetapi sebaliknya, jika hasrat buruk menguasai jiwa seseorang maka tendensi perbuatannya akan ke hal-hal yang buruk. Dengan melihat baik buruknya sifat yang dimiliki manusia, maka tidak heran jika Tuhan memuliakan manusia daripada malaikat. Dalam perbincangan antara Tuhan, setan, manusia dan malaikat, Tuhan menyuruh malaikat dan setan untuk bersujud kepada manusia. Ini menunjukkan bahwa betapa mulianya manusia daripada makhluk-makhluk lainnya.

Maka, sebenarnya naluri manusia yang suka membunuh orang lain lahir dari sifat buruknya manusia. Sifat buruk manusia ini yang melahirkan pandangan ekslusif sehingga pandangan terhadap orang lain akan dianggap musuh. Mereka tidak memandang secara egaliter bahwa sebenarnya manusia sama di mata Tuhan, melalui iman lah manusia akan berbeda satu sama lain.

Aksi teroris yang terjadi di Indonesia sebenarnya bisa dilihat dari sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia. Naluri buruk ini kemudian dikontruks dengan pemahaman teks agama yang rigid dan tekstualis, sehingga tindakan teroris mendapat legitimasi dari agama. Jadi, manusia akan dengan suka rela merelakan dirinya mati hanya demi angan-angan yang utopis, bahwa dengan membunuh orang lain akan mendapat imbalan di akhirat. Padahal dengan jelas bahwa Islam, dan agama-agama lain, melarang keras untuk membunuh orang lain kecuali di medan perang, akan tetapi itu juga umat Islam diharuskan menahan diri sebelum melakukan perang.

Maka jelas di sini bahwa aksi membunuh orang lain tanpa maksud apapun merupakan naluri buruk yang dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, sebenarnya manusia juga mampu untuk mengurangi bahkan menghapus naluri buruk tersebut dan mengembangkan naluri baiknya. Dimuliakannya manusia disamping makhluk-makhluk lain menandakan bahwa manusia mampu berbuat baik kepada dirinya sendiri maupun sekitarnya.

Hal inilah yang kurang dipahami oleh para teroris. Jika mereka menyadari bahwa memuliakan kehidupan dan berlaku baik untuk dirinya sendiri akan mengantarkan kebaikan kepada orang lain. Dengan begitu, hasrat untuk menciderai bahkan membunuh orang lain akan hilang. Kalupun memang manusia memiliki musuh kepada orang lain, maafkanlah mereka yang sudah memusuhi, karena dengan memaafkan semua masalah akan teratasi dan keinginan untuk membunuh atau menciderai akan tiada.

Padahal ketika manusia masih hidup, mereka bisa memanfaatkan sisa umurnya untuk berlaku baik. Anggap saja berlaku baik ini untuk menumpuk pahala yang akan menyelamatkan kehidupan selanjutnya. Nabi Muhammad SAW. sudah memberi peringatan bahwa perang yang paling berat adalah melawan hawa nafsu. Melawan hasrat untuk berbuat buruk untuk diri sendiri dan orang lain.

Dengan begitu, nilai yang terkandung dalam hadist Nabi tersebut adalah supaya manusia berusaha menghilangkan semaksimal mungkin tindakan-tindakan buruknya. Manusia harus jihad melawan hawa nafsu dirinya sendiri. Sebab dari situlah manusia akan dimuliakan di sisi Tuhan, akan tetapi jika manusia gagal dalam mengontrol hawa nafsunya maka mereka telah gagal untuk memegang kepercayaan Tuhan kepada manusia. Wallahu a’lam.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.