Kasus ‘Blur’ BEM UNJ dan Bagaimana Kita Seharusnya Bersikap Adil Gender

Kasus ‘Blur’ BEM UNJ dan Bagaimana Kita Seharusnya Bersikap Adil Gender

Kasus ‘Blur’ BEM UNJ dan Bagaimana Kita Seharusnya Bersikap Adil Gender
Foto ini rame karena muslimah diblur, apa ideologi di baliknya?

Beberapa hari terakhir media sosial diramaikan dengan beberapa postingan akun media sosial BEM kampus UNJ. Postingan tersebut menunjukkan nama-nama petugas BEM lengkap dengan nama dan fotonya. Yang bikin netizen mengernyitkan dahi, ada yang aneh dengan beberapa foto tersebut.

Beberapa hari kemudian BEM yang bersangkutan mengeluarkan klarifikasi. Mereka berdalih bahwa foto tersebut bukan diblur, tapi dikurangi opacity-nya. Klarifikasi tersebut menyatakan bahwa tidak benar di kampus tersebut terdapat anti feminisme, patriarki, dan sexisme. Sebuah klarifikasi yang memancing kita untuk meminta klarifikasi lagi. Sebuah penjelasan yang semakin membuat pandangan kita buram terhadap kampus negeri tersebut.

Pertama, mari kita bicara soal opacity. Kebetulan saya seorang desainer grafis yang sudah lebih dari sepuluh tahun bergelut di dalam dunia ini. Dalam teknik desain grafis, opacity bertujuan untuk mengatur transparasi sebuah objek. Jika opacity berada di level tinggi (100%), maka foto akan terlihat padat. Namun jika opacity dikurangi, maka akan membuat objek tersebut terlihat lebih transparan.

Di titik terendah (0%) maka objek tidak kelihatan sama sekali. Apabila objek ditempatkan di depan objek lain, maka tujuannya untuk memberikan gambaran dramatis atau menyamarkan objek yang dikurangi opacitynya.

Nah, saya tidak tahu apa sebenarnya niat dari BEM UNJ tersebut? Jika ingin menampilkan gambar dramatis, mengapa hanya tokoh perempuan saja? Namun jika memang niatnya untuk mengaburkan gambar, membuatnya tidak jelas, ya itu namanya blur. Dalam kamus bahasa Inggris, kata ‘blur’ bisa berarti verba (v) dan nomina (n).

Sebagai kata kerja (v), blur berarti make or become unclear or less distinct. Intinya, membuat sesuatu tidak jelas. Secara kata benda (n), blur adalah a thing that cannot be seen or heard clearly. Sesuatu yang tidak bisa dilihat atau didengar secara jelas. Nah, foto di UNJ itu masuk kategori ini. Apakah blur yang dipahami adik-adik BEM tersebut adalah blur ala KPI yang memburamkan wajah atau bagian-bagian tertentu dengan grafis kotak-kotak kecil?

Kedua, soal istilah feminisme, patriarki, dan sexisme. Saya haqqul yaqin adik-adik di BEM tersebut atau minimal pembuat pernyataan belum akrab dengan kajian gender. Bagaimana mungkin tidak adanya feminisme disetarakan dengan tidak adanya patriarki dan sexisme (maksudnya seksisme?).

Feminisme adalah sebuah faham atau gerakan tentang kesetaraan, biasanya berorientasi pada gender. Patriarki adalah budaya menempatkan lelaki di atas perempuan. Sementara seksisme adalah perilaku diskriminatif yang didasari jenis kelamin. Subjek dan objeknya tergantung budaya suatu masyarakat. Ketiganya bisa jadi berhubungan tapi bukan dalam satu cluster yang sama.

Saya tidak tahu apa yang mendasari sikap BEM UNJ, kampus negeri yang dibiayai pemerintah tersebut. Saya juga tidak berani mengandai-andai apa ideologi yang mereka bawa, termasuk kemungkinan ideologi pra-Islam yang menempatkan lelaki lebih superior dibanding perempuan.

Namun perlu kita ingatkan bersama bahwa rujukan dalam berislam adalah Nabi Muhammad SAW. Membaca sejarah Nabi Muhammad tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial masyarakat Arab pra-Islam di mana terjadi banyak diskriminasi terhadap perempuan. Nabi datang dengan ajaran Islam yang memuliakan perempuan dan menjamin hak-hak yang sama. Perempuan yang dulunya hanya ‘properti’, bisa diwariskan, berubah derajatnya menjadi makhluk yang mulia.

Inilah cara Islam membangun kehidupan yang egaliter. Sayangnya, ada kelompok-kelompok yang mengabaikan konteks sejarah dan hanya mencuplik teks bahwa perempuan sumber fitnah, perhiasan, dan lain-lain. Padahal, jika belajar agama melalui para ulama, kecenderungan memahami agama menjadi begitu menyeramkan bagi perempuan tidak pernah terjadi.

Di sinilah saya menghimbau bagi para lelaki (ikhwan) untuk mau belajar agama dengan baik, terutama mengenai relasi antara lelaki dan perempuan. Tak perlu menutup diri dari khazanah keilmuan yang begitu luas, termasuk kajian soal kesetaraan gender. Walau istilah ini datang dari Barat, pada dasarnya, ribuan tahun sebelumnya Islam sudah menjalan praktik kesetaraan gender tersebut. (AN)