May Ziyadah, Sang Pioner Karya Fiksi Arab yang Memikat Hati Kahlil Gibran

May Ziyadah, Sang Pioner Karya Fiksi Arab yang Memikat Hati Kahlil Gibran

May Ziyadah, seorang penulis, sastrawan, orator, dan pelopor kebangkitan feminis di Timur Arab. Ia juga merupakan kekasih Kahlil Gibran.

May Ziyadah, Sang Pioner Karya Fiksi Arab yang Memikat Hati Kahlil Gibran
Foto May Ziadeh atau May Ziyadah, seorang sastrawan Arab yang juga kekasih Kahlil Gibran.

Barangkali kita semua telah mengenal nama Kahlil Gibran, seorang pujangga yang puisi-puisinya kebanyakan adalah puisi cinta dan banyak dirujuk pemuda yang sedang jatuh ataupun patah cinta. Tetapi, pernahkah kita berpikir, siapakah inspirasi dari tulisannya yang indah? Atau, siapakah objek yang dituju oleh Kahlil Gibran dalam puisi-puisinya?

Kahlil Gibran memiliki seorang kekasih yang tidak pernah ditemuinya. Ia dan kekasihnya berkenalan dan saling jatuh cinta melalui korespondensi selama 20 tahun. Dalam beberapa puisinya, ia menulis khusus untuk kekasihnya tersebut. Kita tidak dapat mengatakan bahwa keseluruhan puisinya ditulis untuk kekasihnya. Tetapi tentu saja kekasihnya juga turut menjadi inspirasi bagi sang pujangga. Surat-surat cinta Kahlil pada May Ziadah dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia dengan judul “Kahlil Gibran: Surat-surat Cinta kepada May Ziadah”.

May Ziyadah, kekasih Kahlil Gibran bukanlah sembarang wanita. Ia merupakan seorang penulis dan termasuk salah seorang feminis pada masa awal wacana feminisme mengemuka di dunia Arab. Tulisan ini bukan hendak menceritakan kisah cinta kedua pasang kekasih tersebut, melainkan akan menyoroti biografi May Ziyadah serta aktivitas feminismenya.

Menurut Miriam Cooke, May Ziyadah (1886-1941), yang berkebangsaan Lebanon, harus diakui sebagai salah seorang pioner dalam sejarah literatur perempuan Arab, khususnya dalam karya fiksi. Perempuan Arab mulai menulis fiksi sejak akhir abad ke-19. Selain May Ziyadah, beberapa nama turut menjadi pioner dalam bidang ini; Zaynab Fawwaz, Labiba Hashim, dan Aisha Taymuriyya. Dalam artikel saya sebelumnya, turut disebutkan bahwa May Ziyadah merupakan teman dari Malak Hifni Nashif (Bahithah al-Badiyah).

Biografi May Ziyadah: Perjalanan Panjang al-Nabighah Ziyadah

May Ziyadah merupakan perempuan kelahiran Palestina, tepatnya di Nazareth, pada tahun 1886. Nama aslinya adalah Marie Elias Ziyadah. Ayahnya merupakan orang Lebanon sementara ibunya adalah orang Palestina. Pada pertengahan tahun 1907, ayahnya memutuskan untuk menetap di Mesir, dan ia ikut serta pindah ke sana. Selama di Mesir, ia menulis artikel, esai, dan editorial untuk koran dan majalah. Mesir lebih membangkitkan minat intelektualnya dan memberikan kesempatan yang luas baginya untuk menunjukkan dan mengembangkan minat tersebut. Kendati demikian, Ziyadah merupakah seorang yang tekun dan cukup ambisius dalam menekuni banyak bidang pengetahuan, bahkan sebelum ia pindah ke Mesir.

Ziyadah menempuh sekolah dasarnya di Sisiters of St. Joseph di Nazareth. Ia juga mempelajari musik, Bahasa Prancis, dan Italia. Pada tahun 1899, ia melanjutkan pendidikannya di Collège des Soeurs de la Visitation di Aintoura, Kesrouan, Lebanon. Saat itu, ia turut serta bersama keluarganya pergi ke Lebanon untuk mengunjungi sanak keluarga ayahnya. Saat menempuh pendidikan di Lebanon, kemampuan akademik dan talentanya dalam menulis puisi mulai tumbuh dan berkembang. Ziyadah menghabiskan final year akademiknya di Maison des filles de la Charité di Beirut, setelah ia dinyatakan lulus dari Aintoura. Ia kembali ke Nazareth pada 1905 dan pindah ke Mesir pada 1907.

Puisi-puisi romantis Prancis dapat dikatakan merupakan puisi-puisi yang menginspirasinya untuk menulis. Selain menulis, Ziyadah juga menjadi guru bahasa Prancis selama di Mesir. Ia mengajar di beberapa sekolah di Mesir, dan kemudian menjadi guru privat bahasa Prancis bagi tiga anak perempuan Idris Ragheb. Idris Ragheb “memberikan” kepemilikan surat kabar surat kabar el-Mahrousa kepada ayah May Ziyadah, Elias Ziyadah – setelah membelinya dari pemiliknya, Aziz Zand – pada akhir tahun 1908.

Pada Januari 1909, nama Elias Ziyadah tercatat sebagai pemilik dan sekaligus editor in-chief koran Al-Mahrousa. Hal ini membuka jalan bagi May Ziyadah untuk memulai karir jurnalistiknya dan memulai kehidupan literasinya. Tahun 1911, Ziyadah mempublikasikan kumpulan puisi berbahasa Prancis berjudul Fleurs de Rêve (Dreamy Flowers) dengan nama pena Isis Copia. Ziyadah kemudian mulai menulis dalam bahasa Arab dengan menggunakan nama May dan bukan nama Marie. Ia mulai menulis dalam bahasa Arab untuk menjadi bagian dari spirit kebangkitan modernisasi di Mesir. Nama pena lain dirinya adalah Aida. Nama pena tersebut ia gunakan ketika masa-masa kuliah di Lebanon dan menulis catatan harian dengan rutin dengan nama Aida.

Orang-orang yang berpengaruh terhadap pemikiran dan gaya menulis Ziyadah antara lain Ahmad Faris al-Shidyaq, Malak Hifni Nasif, dan Kahlil Gibran. Melalui tulisan-tulisannya di beberapa surat kabar (seperti al-Mahrousa al-Zuhour dan al-Hilal), Ziyadah memiliki visi untuk membangkitkan kesadaran pemuda. Tema-tema tulisannya biasanya berkisar pada isu-isu sosial, nasionalisme, dan tulisan tentang kritik sastra.

Sang Penulis, Jurnalis, dan Feminis

May Ziyadah memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap isu pemberdayaan perempuan. Hal tersebut tampak dalam tulisan maupun aktivitasnya. Dia mengajar subjek tentang perempuan, termasuk dalam kurikulum yang dia pakai. Ia juga membangun banyak relasi dengan asosiasi perempuan di Kairo, Damaskus, dan Beirut. Selain aktivismenya tersebut, Ziyadah juga terkenal sebagai public speaker yang handal. Ia diundang untuk mengisi forum-forum di Mesir hingga Lebanon dan mengisi kuliah-kuliah seperti halnya di Cairo University, American Unversity Kairo, dan lain-lain.

Ketertarikan Ziyadah dalam mendalami ilmu pengetahuan dan mengembangkan diri tidak berhenti hanya karena dia telah disibukkan oleh berbagai kegiatan. Pada 1912, Ziyadah belajar bahasa Latin, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman secara privat. Di saat yang bersamaan ia mendaftar di sekolah perempuan Yunani untuk belajar bahasa Yunani dan melukis. Ia juga belajar bahasa Spanyol. Ia juga mendaftar di Egyptian University (Cairo University) selama Perang Dunia I untuk belajar sejarah filsafat dan etika, sejarah literature Arab, dan sejarah Islam.

Ziyadah mendirikan Tuesday Salon pada tahun 1913 dan aktif selama kurang lebih dua puluh tahun (kata salon dalam sejarahnya dipahami sebagai ruang tamu atau ruang bertemu di mana sekelompok intelektual, politisi, seniman, dan lain sebagainya terpilih untuk menghadiri rumah pribadi orang yang berpengaruh secara sosial. Dalam kasus Tuesday Salon milik May Ziyadah, Taha Hussein menggambarkan bahwa Tuesday Salon Ziyadah menerima semua orang dari berbagai kelas sosial, gender, latar belakang keilmuan, dan Negara yang beragam. Hussein juga menambahkan bahwa di salon tersebut tidak hanya membahas satu topik dan biasanya disampaikan dalam bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Terkadang orang-orang yang hadir ke salonnya juga mendengarkan pembacaan puisi, artikel yang dibacakan, maupun pertunjukan musik.

Pada separuh tahun pertama 1920, Ziyadah memfokuskan dirinya pada menulis dan publikasi buku. Di antara buku yang ia tulis adalah biografi tentang Malak Hifni Nasif berjudul Bahithah al-Badiyah (1920) dan menerjemahkan novel berbahasa Jerman berjudul Deutsches Liebe ke bahasa Arab Ibtisamat wa dumuʿ (1921). Buku-buku lainnya yang ditulis oleh Ziyadah adalah al-Shahâ’if (The Neswpaper), al-Musâwâh (Equality), Kalimât wa Isyârât (Words and Signs), dan lain-lain.

Setelah kematian ayahnya pada 24 Oktober 1929, el-Mahrousa berganti kepemilikan atas nama May Ziyadah dan sekaligus menjadi editor in-chief. El-Mahrousa kemudian menjadi surat kabar yang tidak lagi terbit setiap hari tetapi terbit mingguan. Kematian ayahnya yang kemudian disusul ibunya, lalu tiga tahun kemudian kematian kekasihnya, Kahlil Gibran, memberikan dampak yang luar biasa buruk bagi kesehatan fisik dan mentalnya. Kesehatan mentalnya tersebut dijadikan kesempatan oleh beberapa pihak untuk menjatuhkan Ziyadah dengan menuduhnya gila dan perlu untuk dikurung paksa. Namun, berkat pertolongan teman-temannya, terutama Amin al-Rihani, ia bebas dari tuduhan gila tersebut.

Kedekatannya dengan al-Rihani menjadikan Ziyadah sangat terpukul atas kematian al-Rihani (1940) dan ia mulai menarik diri lagi dari aktivitas sosial. Sebelumnya, ia telah pulih dari sakit mentalnya dan telah memulai aktivitasnya seperti sedia kala, bahkan pada tahun 1938, ia menjadi tuan rumah dari delegasi forum sastra dan budaya, tokoh terkenal sastra dan budaya, serta tokoh feminis terkemuka.

May Ziyadah meninggal pada Oktober 1941 dalam usia 55 tahun. Sebelum meninggal, ia menyampaikan kuliah terakhirnya pada Januari 1941 di hadapan penulis, mahasiswa dan professor di American University of Cairo dengan judul “Live Dangerously”. Huda Sya’rawi lah yang mengurus upacara pemakamannya sekaligus mengadakan upacara besar-besaran untuk memperingati 40 hari kematiannya di markas Egyptian Feminist Union (EFU).

Ziyadah diakui sebagai penulis, sastrawan, orator, dan salah satu pelopor kebangkitan feminis di Timur Arab. Dia diakui sebagai perempuan yang genius (al-Nabigha May) karena kemampuannya dalam banyak bidang. Di batu nisannya tertulis: Here lies the genius of the East, the chief of Arab women writers, the ultimate role model for literary and social refinement, the dear departed May Ziadeh. (Di sinilah terbaring sang jenius dari Arab, sang pemimpin para penulis perempuan Arab, panutan utama dalam sastra dan perbaikan sosial, almarhumah May Ziyadah).

[NH]