Belajar dari Penggerudukan Parlemen di Amerika, Mungkinkah Indonesia Mengalami Hal Serupa?

Belajar dari Penggerudukan Parlemen di Amerika, Mungkinkah Indonesia Mengalami Hal Serupa?

Tirani mayoritas yang lebih keji dapat terjadi di Indonesia kalau pada momen elektoral tertentu, agenda atau aktor dengan wacana progresif ditempatkan sebagai umpan oleh figur kharismatik yang berkepentingan untuk menyalakan residu tribalistik.

Belajar dari Penggerudukan Parlemen di Amerika, Mungkinkah Indonesia Mengalami Hal Serupa?

Amerika adalah negara pertama yang mengalami kekerasan demokratis akibat misinformasi berkesinambungan. Trump telah secara berkala menyebar misinformasi dan pelintiran, khususnya di akun Twitternya, jauh sebelum US Capitol digeruduk simpatisan Trump. Apa yang terjadi di US Capitol 6 Januari 2021 kemarin adalah masa panen dari bibit yang disemai sejak tahun 2016 lalu.

Trump secara konstan menyebar klaim yang tak berdasar dalam berbagai wacana, misalnya: “pemanasan global adalah propaganda China untuk merintangi ekonomi Amerika”; “virus korona dapat disembuhkan dengan menyuntikkan disinfektan ke dalam tubuh”; dan yang paling belakangan, “kalau Joe Biden menang, Amerika akan dikuasai oleh China dan kalian [warga amerika] diwajibkan belajar bahasa China”; dan yang terakhir paling gencar ia promosikan adalah, “ia dicurangi oleh Biden.”

Akan tetapi, ‘api’ seperti Trump tidak akan sedemikan berkobar kalau tidak ada ‘bensin.’ Trump hadir saat masyarakat Amerika mengalami polarisasi nilai. Orang-orang tua, umumnya mereka yang berkulit putih, anglo-saxon, protestan (WASP), merasa bahwa nilai-nilai yang mereka anut seperti pentingnya pekerjaan, nativisme, dan sederet nilai lain yang dulu pada masa pasca-perang dingin dianggap penting sedang dalam ancaman.

Perasaan itu muncul karena nilai-nilai progresif seperti kosmopolitanisme, legalisasi pernikahan sesama jenis, tuntutan keadilan rasial dalam struktur ekonomi dan ketenagakerjaan, dan lain-lain yang dimotori oleh generasi muda sedang berkembang secara gemilang. Kehadiran Trump di pemilu 2016 membawa angin segar bagi nilai-nilai lawas.

Di saat yang sama, kemajuan teknologi informasi di tahun 2016 juga membawa masyarakat Amerika pada level polarisasi yang lebih jauh karena, pertama, pemilu 2016 adalah ‘monumen politik’ di mana praktik  politik memasuki babak otomatisasi kampanye dan kontrol opini publik yang mapan. Kedua, KPU Amerika (The Federal Election Commission) belum mengenal tentang bahaya propaganda komputasi.

Ketiga, platform media sosial seperti Twitter dan Facebook belum memiliki regulasi yang memadai terkait misinformasi, politik dan etika sosial. Keempat, sebagaimana umumnya hukum hubungan teknologi dengan generasi, generasi tua selalu lebih rawan terpengaruh oleh hoaks dan pelintiran dibanding generasi muda.

Saat Trump terpilih menjadi presiden di tahun 2016, nilai-nilai lawas, seperti nativisme, white-supremacy, dan konservatisme, akhirnya menguat. Di lain pihak, stakeholder seperti platform media sosial, KPU, jurnalis dan aktivis demokrasi mulai melakukan evaluasi dan mempersiapkan aturan dan rekomendasi untuk mencegah hal serupa pemilu 2016 terulang di masa depan.

Tajamnya polarisasi yang dipelihara Trump dan evaluasi yang dilakukan oleh berbagai stakeholder penjaga demokrasi, berbuah di tahun 2020. Suksesnya penggrudukan US Capitol mengindikasikan dua hal, pertama, misinformasi telah mengkristal di hati para pendukung Trump menghasilkan basis massa yang nekat menduduki gedung kongres saat momen penting kenegaraan. Kedua, bias rasial telah mengakar hingga memengaruhi respon aparat keamanan terhadap para peserta penggrudukan US Capitol―privilese yang tidak dimiliki oleh peserta demo Black Lives Matter beberapa bulan lalu yang terkena represi aparat dan dituduh sebagai anarko dan antifa.

Sementara itu, platform media sosial di tahun 2020 telah berperan aktif dalam membersihkan misinformasi dan kebencian. Selama masa kampanye pemilu Amerika 2020 misalnya, Facebook, Twitter dan Instagram memberikan label peringatan yang cukup intens pada konten dan tweet milik Trump. Dan pada langkah yang paling belakangan, Twitter resmi menutup akun milik Trump karena unggahannya memuat provokasi tindak kekerasan dan pelanggaran etika komunitas―pemandangan baru yang menandakan bahwa platform media sosial telah memasuki babak lanjutan dalam dinamika kehidupan, khususnya politik.

Apa yang terjadi di Amerika tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi di Indonesia. ‘Bahan bakar’ yang sama, namun dengan wujud yang berbeda, telah tersedia. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah kehadiran karakter politisi yang sama seperti Trump. Sekali suatu negara pernah digeruduk oleh massa yang muncul akibat misinformasi dan demagogi, besar kemungkinan penggerudukan itu akan terulang di masa depan.

Penyebabnya, basis massa yang menghimpun pengalaman afektif luring dan daring antar individu akan meninggalkan residu yang dapat digunakan ulang di kemudian hari. Will of crusade (semangat perlawanan) dan romantika ideologis terkandung dalam residu itu. Selama residu itu masih ada, upaya pencegahan formal apapun―misalnya seperti pembubaran organisasi―sulit untuk berdampak signifikan karena residu itu melekat pada diri individu dalam bentuk kepercayaan dan bingkai pemikiran.

Berbeda dengan Amerika di mana polarisasi nilai terjadi pada skema antar generasi, polarisasi nilai di Indonesia terjadi pada skema antar ideologi, bukan generasi. Di depan panggung, Islamisme dan Nasionalisme menjadi pemain utama, meski kalau disingkap tirai belakang panggungnya akan terlihat ada pergumulan oligarki menyusun naskah sandiwara.

Kelompok-kelompok progresif pengusung kesetaraan gender, kedaulatan agraria, hak asasi, keamanan data pribadi dan sejenisnya, yang tekun mengkritik soal kelakuan Indonesia yang sering kali terlalu kanan dan konservatif, diberikan jatah peran sebagai kambing-hitam yang jadi bulan-bulanan buih massa Islamisme dan elit-elit nasionalis lewat label kiri, anarko, laknatullah dan komunis.

Pada situasi belakangan, Islamisme sedang naik daun. Meski berbagai upaya formal dan struktural―baik oleh negara ataupun organisasi yang sehaluan―telah dilakukan untuk menghambatnya, namun tidak dapat pungkiri bahwa Islamisme jauh lebih mahir menularkan ideologi, kepercayaan dan bingkai berpikirnya lewat teknologi digital dibanding aktor-aktor di barisan nasionalisme.

Bedanya, nasionalisme identik dengan pemegang tongkat kekuasaan, sedangkan Islamisme cenderung identik dengan arus massa akar rumput. Oleh karena itu keduanya menyimpan potensi anti-demokratik yang berbeda. Elit nasionalis bertendensi mengekspresikannya lewat keputusan otoritarian, sedangkan arus massa Islamisme bertendensi mengekspresikannya lewat tirani mayoritas.

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia menyimpan energi tirani mayoritas lintas generasi yang prospektif. Surveinya Vedi Hadiz dan Inayah Rakhmani misalnya menunjukkan, dari 600 peserta Aksi Bela Islam 2016: 51 persen di antaranya adalah berpendidikan sarjana dan 47 persen lainnya berpendidikan SMA; 44 persen peserta punya pengeluaran 4,5 juta hingga 7 juta per-bulan;  dan 60 persen peserta berusia 20 tahunan, 18 persen di usia 30 tahunan, dan hanya 14 persen yang berusia di atas 40 tahun.

Pada aspek yang berbeda, penelitiannya Ibnu Nadzir dkk. tentang hoaks dan misinformasi di sembilan provinsi di Indonesia, menemukan bahwa, pertama, tiga hoaks yang paling terkenal adalah hoaks tentang tenaga kerja Cina, kebangkitan PKI dan kriminalisasi ulama. Kedua, tingkat pendidikan tidak menjamin kekebalan terhadap hoaks: misalnya, 46,4 persen kelompok sarjana dan 62,5 persen kelompok magister/doktoral percaya bahwa pemerintah sengaja mengkriminalisasi ulama.

Temuan-temuan itu tidak hanya menyiratkan bahwa kepanikan moral yang Islamisme tawarkan dapat menembus batas kelas sosial, usia dan pendidikan, akan tetapi juga menyiratkan tingginya prospek kohesi massa untuk disulut lewat misinformasi.

Sebagaimana Amerika, Indonesia telah punya riwayat penggerukan massa di tahun 2016 lalu, dan punya bias agama yang mencolok. Sama halnya dengan white-privilege di Amerika, Basis massa Islamisme di Indonesia menikmati privilesenya sebagai mayoritas tanpa perlu mengalami memar dipelipis atau tertembak peluru karet seperti yang dialami oleh massa pengkritik Omnibus Law di Senayan.

Tirani mayoritas yang lebih keji dapat terjadi di Indonesia kalau pada momen elektoral tertentu, agenda atau aktor dengan wacana progresif ditempatkan sebagai umpan―atau dipelintir―oleh figur kharismatik yang berkepentingan untuk menyalakan residu tribalistik yang telah mengendap selama beberapa saat. Resiko ini dapat membesar bila bias privilege ikut mewarnai aturan main yang ada.