Ngobrolin Agama dengan Orang Beda Agama: Kalau Bisa Asik, Kenapa Harus Tegang?

Ngobrolin Agama dengan Orang Beda Agama: Kalau Bisa Asik, Kenapa Harus Tegang?

Islam mengajarkan umatnya untuk saling peduli dan membantu, serta menjunjung keadilan bagi semua orang dan makhluk di bumi, terlepas dari keyakinan, agama, ajaran, dan komitmen mereka.

Ngobrolin Agama dengan Orang Beda Agama: Kalau Bisa Asik, Kenapa Harus Tegang?

Tinggg, bunyi pesan notifikasi dari ponsel pintar saya. Begitu saya cek, ternyata sebuah pemberitahuan dari Youtube tentang rilisan terbaru siniar Close the Door milik Deddy Corbuzier yang menduetkan Habib Husein Jafar al-Hadar dengan Onadio Leonardo sebagai pembicara.

Terpikat dengan judul yang terpampang di keluku video, saya pun mengeklik gambar tersebut. Satu langkah kecil itu langsung menyambungkan saya pada siaran berdurasi 57 menit yang sudah ditonton lebih dari 2 juta kali sebelum 24 jam penayangan.

Bagi saya, siniar tersebut menarik karena membincang topik tentang agama (Islam), termasuk di dalamnya ideologi, ajaran, sikap, dan perilaku seorang/kelompok beragama, yang direpresentasikan oleh Habib Husein, dengan orang yang beda agama (Katolik) oleh Onadio.

Pantikan pertanyaan menggelitik yang disampaikan oleh Onadio, dari mulai alasan mengapa muslim tidak boleh makan babi, hingga keberadaan Tuhan menurut Islam, dijawab dengan logis tapi santai oleh Habib Husein. Juga, sebagai mualaf Deddy Corbuzier sesekali menimpali.

Tak ketinggalan, kelakar dan guyonan mewarnai obrolan ketiga orang tersebut, seolah meminggirkan persepsi jika “agama tidak dapat dibercandai”.

Memang, hampir di setiap kesempatan Habib Husein selalu menampilkan citra agama (Islam) sebagai hal yang menyenangkan dan menggembirakan, alih-alih menakutkan.

Pada siniar tersebut, Habib Husein menjelaskan bahwa alasannya sering membuat konten dialog dengan orang dari agama lain, salah satunya Onad, adalah untuk mengenalkan bentuk Islam yang menyenangkan, asik, dan lentur, yang ujungnya adalah toleransi terhadap Islam dan agama-agama lain.

Sebab, seringnya kesalahpahaman dan miskonsepsi seseorang terhadap suatu keyakinan didasari atas ketidaktahuan mereka terhadap keyakinan tersebut, hingga membuat seseorang mudah menilai sesuatu berdasarkan hal yang hanya didengar tapi tidak diketahui.

Di Indonesia, sudah umum didapati bahwasanya agama dan keyakinan seseorang turut mendefinisikan identitas individu atau kelompok. Makanya, tak jarang jika dengan mudah orang atau suatu kelompok mendaku sebagai representasi, atau wakil, dari wajah agama yang dianut.

Kecenderungan ini kemudian membentuk persepsi jamak masyarakat yang menempelkan sikap dan laku seorang individu pada kotak agama mereka. Misalnya sikap agresif dan laku anarkis yang dilakukan seorang individu dengan tampilan a la orang Arab, (selalu) dikaitkan dengan wajah umat Islam. Pada gilirannya, hal itu menciptakan kesan bahwa ajaran Islam itu agresif dan anarkis.

Pun juga dengan ungkapan (serta pikiran) sehari-hari, yang mungkin tanpa sengaja sering dilakukan, seperti: “Dia cantik, tapi kok enggak pakai jilbab”, atau “Orang itu baik, sayangnya enggak percaya sama Tuhan”, dan ungkapan sejenis lainnya.

Penilaian seseorang terhadap individu lain tidak murni hanya berdasar pada budi pekerti dan kebaikan yang ditampilkan, tapi juga berdasar pada embel-embel agama. Orang dengan mudah berselisih paham atas nama agama mereka sendiri. Makanya, gorengan konflik agama masih jadi barang laris di negeri ini.

Duta Agama dari Agama Lain

Menanggapi konteks persoalan tersebut, sebuah ide unik tercetus oleh Habib Husein untuk menjadikan Onadio sebagai Duta Islam Dari Katolik, yang oleh Deddy Corbuzier dijadikan headline pada keluku video siniar tersebut.

Duta agama dari agama lain dinilai lebih efektif dalam menyerukan keramahan dan pesan kebajikan yang terkandung dalam suatu agama atau keyakinan. Menurut Habib Husein, omongan umat muslim yang membaik-baikkan Islam, ibarat kata ocehan ‘orang dalam’ yang kesannya defensif dan subjektif.

Sebaliknya, testimoni baik serta penjelasan tentang kesalahpahaman yang disampaikan orang dari luar agama Islam justru akan lebih memperlihatkan penilaian objektif mereka terhadap citra agama Islam. Dan karena predikatnya adalah duta, maka seseorang tidak diharuskan masuk agama Islam terlebih dahulu. Demikian sebaliknya.

Fungsi “Duta Agama dari Agama Lain” tersebut adalah untuk menjelaskan kesalahpahaman bias stigma, serta membela agama itu, ketika ia butuh dibela.

Contoh saja, ketika ada pemaksaan penutupan warung makan di siang hari kala bulan Ramadhan. Tugas Duta Islam dari Agama Lain adalah menjelaskan kepada golongan mereka bahwa tidak semua wilayah mengalami hal serupa. Lagi pula, kejadian itu merupakan ulah oknum tertentu yang tidak semua umat muslim menyetujui.

Pun saat terjadi penolakan pembangunan tempat beribadah agama lain di wilayah Islam. Umat Islam dapat menjadi duta agama lain untuk membela hak-hak mereka yang terenggut karena nalar majoritarianisme masyarakat di sana.

Sejatinya Islam mengajarkan umatnya untuk saling peduli dan membantu serta menjunjung keadilan bagi semua makhluk di bumi, utamanya manusia, terlepas dari keyakinan, agama, ajaran, dan komitmen mereka.

Predikat khalifah fil ardl yang tersemat untuk manusia di dalam al-Quran menuntut mereka akan kesalehan total, yang oleh Gus Mus dirinci sebagai saleh ritual dan saleh sosial.

Jadi, selain dituntut untuk saleh secara ritual dengan mengamalkan ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat, dan lainnya, umat Islam juga dituntut untuk saleh secara sosial dengan melakukan kebajikan di bumi seperti menolong yang miskin, membela kaum tertindas, dan menebar kemanfaatan bagi yang lain.

Menjadi sosok yang saleh secara sosial dengan membela hak umat agama lain tidak berarti mengiyakan ideologi dan iman mereka, atau secara otomatis masuk ke dalam agama mereka. Sebab, seorang individu dalam persepsi sesama umat manusia, dengan individu yang membawa ideologi dan keyakinan mereka adalah dua hal yang berbeda.

Seorang Duta Agama dari Agama Lain tentu harus melihat perbedaan dua hal tersebut: bahwasannya yang mereka bela adalah hak mereka sebagai sesama umat manusia, yang tujuannya untuk menumbuhkan sikap toleransi antar agama dan harmoni umat manusia.

Seperti halnya orang yang berceramah di acara kematian, mereka tidak perlu mati lebih dulu supaya bisa memberi nasehat. Kita tidak harus menjadi bagian dari kelompok (dalam term ini agama) lain untuk bisa membela mereka, yang memang butuh dibela.