Dalam beberapa dekade terakhir, paradigma antroposentrisme sering mendapat kritikan dari banyak pihak. Antroposentrisme adalah pandangan filosofis yang berargumen bahwa manusia adalah entitas sentral dan paling signifikan di alam semesta. Filosofi ini berpandangan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik tersendiri sementara entitas lain (termasuk hewan, tumbuhan, sumber daya mineral, dan sebagainya) adalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara wajar untuk kepentingan umat manusia.
Meski begitu, kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari justru sebaliknya. Supremasi manusia atas lingkungan malah mendorong sikap eksploitatif dan mencipta daya destruktif terhadap alam. Hal inilah yang kemudian berimbas pada mengapa antroposentrisme banyak dikritik oleh banyak pihak, bahkan dari tempat asalnya sendiri, Barat.
Salah satu pihak yang secara konsisten memberi kontra-narasi terhadap paradigma ini adalah Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM). PEBM adalah Penghayat Kepercayaan yang bermukim di bilangan Kulon Progo, Yogyakarta. Saya merasa beruntung bisa mengobrol langsung dengan sesepuh sekaligus orang yang paling dihormati di PEBM, Mangunwiharjo.
Mbah Mangun, begitulah ia biasa dipanggil, memberikan ilustrasi sederhana tentang bagaimana manusia seharusnya bersikap pada alam semesta. Manusia cenderung mempersempit relasinya dengan Tuhan sehingga seolah menafikan kepedulian dengan “yang selain manusia”.
“Kitab suci kami adalah alam semesta. seluruh manusia, hewan, seluruh ciptaan Tuhan itu adalah kitab suci. jadi membaca kitab suci berarti membaca alam.” ujar Mbah Mangun.
“Maka salah satu cara untuk menuju ke Tuhan adalah dengan menjaga kitab sucinya, yaitu sungai-sungai, pohon, hewan-hewan, dan ekosistem lingkungan,” lanjutnya.
Saya menyimak penjelasan Mbah Mangun sembari mencari titik temu dengan ajaran-ajaran yang saya anut, Islam. Saya teringat bahwa memang Allah pernah berfirman bahwa untuk mengenali-Nya, manusia hanya perlu berpikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya.
Mbah Mangun melanjutkan, “bagi PEBM, kalau kamu potong satu pohon ya kamu juga harus tanam satu pohon lagi minimal. Seperti halnya ketika Tuhan mematikan manusia, Tuhan juga menciptakan manusia baru dalam rahim perempuan. Selama dunia masih berputar, keseimbangan alam harus dijaga. Jangan sembarangan!”
“Lalu apakah ada kaitannya Mbah antara perusakan alam dengan konsep ketuhanan di PEBM?” tanya saya penasaran.
“Kami juga percaya bahwa seluruh alam ini adalah bentuk ejawantah dari Tuhan itu sendiri. Tuhan itu Satu tapi menyeluruh. Tuhan tidak bisa digambar, tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasa. Kita merasakannya ya lewat alam semesta ini. Jadi merusak alam dan lingkungan sama halnya dengan menciderai nilai ketuhanan itu sendiri,” terang Mbah Mangun.
Ajaran PEBM, demikian Mbah Mangun, banyak dipengaruhi oleh ajaran filsafat Jawa dan Islam. Mbah Mangun tidak membantah bahwa dia adalah seorang Muslim yang banyak belajar tentang ajaran-ajaran Islam. Namun, dalam mu’amalahnya, Mbah Mangun lebih banyak mengeksternalisasi nilai-nilai PEBM.
“Gotong royong itu termasuk budaya masyarakat Jawa, Mas. Tapi menurut kami, tolong-menolong itu bukan hanya tentang manusia dengan manusia, tapi juga tentang manusia dan lingkungannya,” kata Mbah Mangun sembari merapikan duduknya.
Menyambung paradigma antroposentris yang meletakkan manusia sebagai satu-satunya subjek dalam alam semesta, PEBM menawarkan mindset relasi inter-subjektif. Artinya, semua entitas di alam semesta ini merupakan subjek yang memiliki fungsinya masing-masing. Paradigma ini mengantisipasi bahwa jika yang subjek hanyalah manusia, dan yang selainnya hanyalah objek semata, maka itu akan melahirkan sikap eksploitatif dan destruktif.
“Setiap makhluk itu punya fungsi, Mas. Misalnya adalah sungai. Manfaatnya sangat banyak. Maka, kita jangan buang air sembarangan di sungai. Selain agar tidak mencemari ekosistem sungai, tidak kencing di sungai merupakan salah satu bentuk penghormatan manusia terhadap alam sebagai subjek,” Mbah Mangun menjelaskan.
Mbah Mangun menjabarkan lebih lanjut mengenai pentingnya menghargai ciptaan Tuhan yang lain, anjing misalnya.
“Anjing itu jangan kau ganggu. Sekarang coba kita pikir, apakah manusia tidak sama seperti anjing? daging anjing hukumnya haram, daging kita pun haram jika dimakan. Kencing kita juga sama hukumnya dengan kencing anjing, najis. janganlah benci anjing karna haram dan najis, itu ciptaan tuhan jangan kau benci. Kalau menurut kita air liur anjing itu najis, ya sudah dijauhi saja, tidak perlu diganggu.”
Saya mengangguk. Mafhum.
Penjelasan Mbah Mangun tersebut mengingatkan saya pada tragedi Canon, seekor anjing di Aceh Singkil, yang berusaha “dikondisikan” oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) dengan dimasukkan ke keranjang kecil hingga kehabisan nafas. Menurut banyak media arus utama, aksi tersebut berkaitan dengan wisata halal yang akan diberlakukan di Aceh Singkil, Provinsi Aceh.
Saya memfokuskan perhatian kembali ke Mbah Mangun, kali ini dengan sebuah pertanyaan, “Apakah di desa ini ada aktifitas yang mencerminkan penghormatan terhadap lingkungan, Mbah? Seperti reboisasi atau bersih sungai misalnya?”
“Kami punya ritual kebudayaan di sini. Yaitu mengambil air sendang. air itu melambangkan kehidupan kita. Lalu kita ambil untuk pesuburan para penduduk. Kita kumpulkan lalu disebar-sebar di ladang-ladang warga. Acara itu bagian dari rangkaian acara ruwat bumi yang diselenggarakan setiap tanggal satu suro.”
“Artinya mensakralkan air sendang itu, Mbah?” saya menyela.
“Tidak, ritual itu tidak dimaksudkan untuk mensakralkan air, atau mensucikannya. Itu cuman bagian dari penghormatan kami terhadap air yang menjadi sumber kehidupan di desa Salamrejo,” papar Mbah Mangun.
Baca Juga, Aliansi Antar Umat Beragama dalam Menjaga Lingkungan, Mungkinkah?
Konsep-konsep ekologis tersebut membuat PEBM dan Mbah Mangun sering dikunjungi oleh banyak wisatawan dari luar negeri. Mereka tertarik dengan ajaran-ajaran PEBM sehingga menyempatkan diri untuk datang ke Kulon Progo untuk sekedar mendengar langsung dari Mbah Mangun.
“Sebelum pandemi, banyak orang luar negeri datang ke sini mas, dari Australia, Belanda, Korea. Bahkan ada yang nginep berminggu-minggu di sini. Ada yang memang kuliah di Jogja, ada yang mewakili suku Aborigin di Australia untuk belajar dan bertukar gagasan mengenai agama lokal di Indonesia.”
Lahir dan besar di desa Salamrejo, Mbah Mangun kini menyibukkan diri dengan berternak kambing dan melayani ritual-ritual adat. Tak jarang, tidak sedikit orang yang meminta pertolongan Mbah Mangun untuk mengobati anggota keluarga yang sakit. Hadirnya PEBM di desa Salamrejo menjadi satu fondasi kuat yang menjaga komitmen desa terhadap pelestarian lingkungan hidup.
*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth