Aliansi Antar Umat Beragama dalam Menjaga Lingkungan, Mungkinkah?

Aliansi Antar Umat Beragama dalam Menjaga Lingkungan, Mungkinkah?

Aliansi Antar Umat Beragama dalam Menjaga Lingkungan, Mungkinkah?

Menjelang akhir tahun 2021, perhatian dunia terfokus pada perhelatan the 2021 United Nations Climate Change Conference (Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa) atau yang sering disebut COP26, di Glasgow pada 31 Oktober hingga 13 November. Konferensi ini menghasilkan Glasgow Cilmate Pact (Perjanjian Iklim Glasgow) sebagai konsensus bersama 197 negara, yang di antaranya berisi komitmen untuk menurunkan penggunaan batu bara, mendorong pembatasan emisi gas rumah kaca, dan menjanjikan pendanaan iklim (climate finance) untuk negara-negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Di luar COP26 tersebut, beragam wacana muncul di publik sebagai respons, mulai dari dukungan hingga protes keras terhadap beragam konferensi iklim yang sudah banyak dilakukan namun tidak diimbangi dengan aksi yang jelas. Protes keras ini, misalnya, bahkan terjadi di tengah-tengah penyelenggaraan COP26 pada 6 November dan menjadi salah satu protes terbesar di Glasgow sejak 2003.

Nyatanya, persoalan lingkungan memang sudah semakin mengkhawatirkan, sehingga tuntutan untuk melakukan aksi nyata semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak. Untuk itu, tulisan ini akan menawarkan satu perspektif yang mengundang keterlibatan agama-agama dalam merespons persoalan lingkungan, sekaligus sebagai pikiran alternatif mengenai persoalan toleransi beragama.

Menghubungkan agama dengan persoalan ekologi bukanlah wacana baru. Kajian ekologi sendiri mulai muncul ke permukaan medio1960-an seiring dengan munculnya karya terkenal Rachel Carson berjudul Silent Spring (musim semi yang sunyi) pada 1962 yang menyadarkan dunia tentang tanda-tanda kerusakan lingkungan. Sebagaimana judulnya, Carson mengangkat wacana ini dengan menunjukan dampak penggunaan pestisida besar-besaran saat itu terhadap alam. Tanda paling jelasnya adalah musim semi yang sunyi itu, di mana tidak ada lagi kicauan burung yang merupakan penanda musim semi seperti biasanya.

Lynn White dan Hossein Nasr adalah dua orang berikut yang karyanya pertama-tama mewacanakan kaitan agama dalam persoalan lingkungan, terbit pada 1966-1968. White melalui karyanya yang terkenal pada 1967 menunjuk kekristenan sebagai akar dari persoalan lingkungan karena aroma antroposentrismenya yang sangat kuat. Menurut White, tindakan manusia terhadap alam sangat ditentukan oleh pemahaman mereka tentang hubungan mereka dengan alam. Ketika ajaran-ajaran agama memposisikan manusia sebagai yang lebih superior terhadap alam, maka manusia bertindak semena-mena. Dengan demikian, bagi White, agama-agama perlu memikirkan kembali prinsip-prinsip apa yang mesti disuarakan terutama dalam kaitannya dengan persoalan lingkungan.

Seiring dengan White, karya Nasr terbit pada 1968. Ide utama Nasr adalah bahwa alam telah tersekularisasi. Alam telah kehilangan makna spiritualnya. Ia semata-mata dilihat sebagai objek untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam hal ini, Nasr menyebut bilamana penyebab kerusakan lingkungan bukanlah ide agama saja seperti yang dikemukakan White, melainkan ide agama yang telah tersekularisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif religius yang tidak tersekularisasi.

Ide sekuler yang dilawan di sini adalah gagasan yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta dan karenanya (merasa) paling berkuasa dan paling diutamakan, sehingga berujung pada pengerusakan alam demi kepentingan manusia. Modernisasi, umpamanya, menjanjikan kemajuan di berbagai bidang kepada manusia, namun justru ragam produk moderniasi itu merusak alam. Dan, rusaknya alam sebenarnya adalah tanda kemunduran peradaban manusia.

Menurut Nasr, jika agama-agama mampu merevitalisasi inti religiusitasnya pada konteks kini, mereka akan mampu mensakralkan alam kembali. Alam bukan lagi objek, melainkan subjek yang memiliki nilai spiritual pada dirinya sendiri. Manusia tidak lagi terkurung dalam egoisme pribadi, melainkan melihat alam sebagai subyek penting dalam kehidupannya.

Dengan demikian, agama nampak jelas mempunyai signifikansi yang besar dalam menghadapi persoalan ekologi hari ini. Agama menjadi signfikan karena agamalah yang banyak memberi pandangan etika, moral, dan prinsip hidup kepada manusia. Jika tindakan manusia terhadap alam tergantung pada pemahamannya terhadap alam, maka agama dapat berperan di sana dengan memberi perspektif-perpektif yang lebih ekologis, daripada antroposentris. Agama bisa menjadi alarm yang menyadarkan manusia tentang persoalan lingkungan sekaligus menjadi motor penggerak untuk tindakan-tindakan ekologis.

Apalagi jika melihat konteks Indonesia, ide ini menjadi sangat relevan, karena di Indonesia, agama memang mempunyai tempat yang sangat sentral dan signifikan. Jika agama memberi perhatian terhadap persoalan lingkungan, maka sudah barang tentu isu ini akan semakin disadari dan ditindaklanjuti oleh masyarakat.

Tidak hanya itu, konteks agama di Indonesia juga memiliki keberagaman. Indonesia tidak hanya punya satu agama. Dengan kata lain, jika agama-agama yang banyak jumlahnya ini bersama-sama menaruh perhatian pada persoalan lingkungan, maka kontribusi signifikan dapat diberikan.

Wacana keterlibatan antar-agama dalam isu ekologi sesungguhnya sudah mulai diinisiasi belakangan ini, termasuk di Indonesia. Pada tahun 2017, misalnya, telah diluncurkan Prakarsa Hutan Hujan Antar-Iman (Interfaith Rainforest Initiative/IRI) di Norwegia. Dalam IRI inilah dapat dilihat bagaimana toleransi beragama, dialog, dan aksi bersama, bisa dilakukan oleh agama-agama ketika menempatkan persoalan ekologi sebagai dasar dan tujuan bersama.

Malahan, dalam dokumen IRI tersebut muncul dua terobosan penting dalam wacana dialog antar-agama. Pertama, bahwa kini agama-agama telah bergerak melampaui dialog menuju aksi bersama. Hal ini sesuai dengan argumen beberapa akademisi dan pegiat hubungan antar agama seperti Paul Knitter, Izak Lattu, dll yang menyuarakan pentingnya aksi dan keterlibatan bersama agama-agama untuk merespons isu bersama, bukan lagi sekedar dialog. Kedua, bahwa kini meja dialog antar-agama tidak lagi hanya ditempati oleh agama-agama besar dunia, tetapi juga memberi ruang bagi agama leluhur dan masyarakat adat karena melihat signifikansi mereka dalam menghadapi persoalan ekologis.

Wacana melampaui dialog menuju aksi, apalagi melibatkan agama leluhur dalam dialog antar-agama sebenarnya suara yang sangat baru. Namun demikian, di sinilah kita bisa melihat hasil dari menempatkan persoalan ekologi sebagai dasar dan tujuan bersama untuk toleransi beragama. Ketika agama-agama mempunyai dasar dan tujuan bersama yang kuat, maka toleransi beragama tidak lagi menjadi sulit, bahkan terobosan-terobosan baru pun dapat dimunculkan.