Ngaji Agama Leluhur di Kampus Islam

Ngaji Agama Leluhur di Kampus Islam

Ngaji Agama Leluhur di Kampus Islam

Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat, atau sebut saja Penganut Agama Leluhur, sejak lama sering dianggap sebagai kelompok sesat dan primitif yang mesti di-modern-kan dan di-agama-kan. Stigma ini menyebabkan berbagai eksklusi, diskriminasi, bahkan presekusi terhadap mereka.

Dalam banyak kasus, jika pun penganut agama leluhur diinklusi dalam dialog dengan orang Islam dan Kristen, maka tujuannya adalah tidak lain untuk agenda islamisasi atau kristenisasi. Mereka dijumpai sebagai objek ‘penginjilan’ atau ‘dakwah’ yang perlu ditobatkan.

Dengan perasaan superioritasnya, mayoritariansime terus melanggengkan stigma tersebut. Pada tahun 2017, misalnya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan kesetaraan Kepercayaan dengan Agama ditolak oleh mayoritas masyarakat bahkan oleh representasi Majelis Ulama Indonesia saat itu Maruf Amin, dengan dalih bahwa Kepercayaan tidak boleh disetarakan dengan Agama.

Situasi ini menunjukkan adanya tantangan akan perjumpaan yang inklusif dan setara antara penganut agama leluhur dan agama-agama dunia termasuk Islam. Jadi, sejauh mana sesungguhnya agama leluhur dan Islam dapat duduk bersama?

Untuk menjawabnya, tulisan ini mengangkat pengalaman berbeda yang dapat lebih membangun optimisme ke depan berkaitan dengan perjumpaan agama-agama termasuk agama leluhur.

Merespon permasalahan yang dihadapi agama leluhur, ICIR Rumah Bersama menyelenggarakan International Conference on Indigenous Religions (Konferensi Internasional tentang Agama-Agama Leluhur) di Pontianak. Sebagai bagian dari rangakaian kegiatan ini, dua sesi seminar bertemakan Moderasi Beragama dan Pemajuan Kebudayaan dalam Bingkai Demokrasi Inklusif diselenggarakan di IAIN Pontianak pada Selasa, 28 November 2022.

Di tengah-tengah lingkungan sejuk kampus IAIN, tepatnya di Aula Masjid Syekh Abdur Rani Mahmud dengan suasananya yang islami, moderasi beragama dikaji dengan beragam perspektif, termasuk kajian keislaman. Sebagai catatan pengingat, ngaji dalam tulisan ini merujuk pada kosa kata Jawa yaitu aji yang berarti martabat.

Jadi, ngaji di sini diartikan sebagai ikhtiar untuk menjadi bermartabat, yang dilakukan melalui berbagai usaha yang tidak terbatas pada mempelajari ilmu agama saja.

Yang menarik dari sesi ngaji agama leluhur ini adalah diangkatnya moderasi beragama sebagai tema. Pada sesi ini, moderasi beragama justru dikaji bersama untuk memastikan inklusifitasnya dan komitmennya pada keadilan dan kesetaraan, termasuk dalam kaitannya dengan agama leluhur.

Sebagai informasi, topik moderasi ini umumnya hanya dibahas dalam kaitannya dengan agama-agama arus utama seperti Islam. Pada gilirannya, agama minoritas seperti agama leluhur cenderung absen. Meski demikian, moderasi beragama kali ini agaknya memang unik dan menarik.

Pembicara pertama dengan perspektif Islam adalah Nur Rofiah dari UIN Jakarta. Ia menegaskan kembali misi dari agama Islam, yang sejatinya menurutnya, sejiwa dengan misi agama-agama lain, yaitu untuk mengupayakan sistem kehidupan yang menjadi anugerah (rahmat) bagi semesta, termasuk kelompok-kelompok terpinggirkan seperti perempuan dan penganut agama leluhur.

Ikhtiar menuju kemaslahatan bersema ini menurutnya merupakan mandat iman yang mesti diwujudkan mulai dari individu (muslih/ah), keluarga (maslahah), masyarakat (khaira ummah), negara (baidaton thoyyibah), hingga semesta (Rahmat lil alamin). 

Kemudian, pembicara selanjutnya, Romo Bagus Laksana, mengaji topik moderasi beragama dengan menekankan pentingnya merekognisi keberagaman agama secara lebih luas demi demokrasi yang inklusif. Artinya, mereka yang dapat disebut sebagai agama bukan saja agama-agama abrahamik seperti Islam dan Kristen, tetapi juga mereka yang selama ini disebut sebagai agama lokal, agama leluhur, atau kepercayaan. Selain itu, Romo Bagus juga menggarisbawahi pentingnya mengkontekstualisasi agama dengan budaya dan kearifan lokal yang sangat kaya dan beragam di Indonesia. 

Pembicara terakhir yaitu Mark Woodword secara cukup tajam membeberkan latar belakang mengapa moderasi beragama cenderung diidentikan dengan Islam saja. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan stigma terhadap agama Islam yang sering dikatikan dengan kekerasan, radikalisme, dan ekstrimisme. Hal ini terutama dimulai sejak peristiwa 9/11 yang saat itu dituduh secara poltiis sebagai tindakan orang Islam. Untuk itu Woodword mengingatkan agar moderasi beragama tidak digunakan sebagai alat politik untuk memberangus organisasi-organisasi kemasyarakatan yang secara sepihak dituduh radikal atau ekstrimis.

Rangkaian kegiatan di IAIN Pontianak kemudian dilanjutkan dengan puluhan sesi panel secara online dan offline yang membicarakan berbagai topik berkaitan dengan isu agama leluhur dan isu kebangsaan lainnya secara luas. Dengan ratusan presentator dan perserta dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu, agama leluhur dikaji bersama dalam kaitannya dengan isu kebangsaan.

Bukan hanya soal bagaimana “menolong” atau lebih menerima agama leluhur, tapi lebih dari itu adalah soal bagaimana menyadari signifikansi dan kontribusi agama leluhur dalam menghadapi persoalan-persoalan bersama baik di tingkat lokal, nasional, bahkan global. Contohnya adalah pengakuan dan pelibatan masyarakat adat dalam forum-forum global mengingat peran penting mereka dalam menjaga lingkungan, yang kini dilanda ancaman serius krisis iklim di seluruh dunia.

Selain IAIN Pontianak, penyelenggaraan konferensi ini juga melibatkan kampus Katolik STAKATN Pontianak dan Universitas Panca Bhakti. Kolaborasi kampus-kampus ini bersama juga dengan banyak institusi-institusi lainnya menunjukkan komitmen bersama dalam merespon persoalan yang telah cukup lama didiamkan oleh agama-agama besar. Persoalan agama leluhur yang bahkan pada titik tertentu sering dianggap tabu untuk berkontribusi terhadapnya, kini mulai menjadi panggilan dan perhatian bersama agama-agama.

Dengan sedikit berpaling dari debat teologis yang tak kunjung usai soal ‘keselematan surgawi’ sang liyan, kesejahteraan dan keadilan sosial di dunia menjadi panggilan bersama dalam bingkai kebangsaan.

Sikap ini juga tentu diambil dengan penuh kesadaran bahwa persoalan yang dihadapi agama leluhur sesungguhnya merupakan simbol dari persoalan kebangsaan yang lebih luas dan pada gilirannya akan mendampaki masyarakat yang lain.

Dengan demikian, sentimen terhadap agama leluhur dari mereka yang merasa mayoritas bukanlah satu-satunya cerita kebhinekaan bangsa ini. Di samping menguatnya eksklusivisme agama di ruang sosial dan politik, ngaji agama leluhur di IAIN Pontianak memberi warna lain yang sejatinya juga mengundang sikap, tindakan, dan komitmen bersama lebih banyak pihak sebagai sesama anak bangsa untuk ke depannya.

Akhirnya, jika Agama Leluhur yang adalah salah satu kelompok paling terpinggirkan dapat mengalami perjumpaan yang demikian dengan Islam yang notabenenya merupakan agama paling besar di Indonesia, maka sesungguhnya ada prospek yang menjanjikan bagi realitas keberagaman keberagamaan di Indonesia. Terlebih lagi, jika disadari bahwa ruang perjumpaan yang demikian dapat membuahkan ketajaman diskusi yang progresif dan inklusif bagi kemaslahatan bersama.