Penghayat Sapto Darmo Tegaskan ‘Demokrasi Spiritual’ Hadapi Tahun Politik 2024

Penghayat Sapto Darmo Tegaskan ‘Demokrasi Spiritual’ Hadapi Tahun Politik 2024

Penghayat kepercayaan turut membangun wajah Nusantara yang harmonis. Oleh karenanya, wejangannya perlu kita hayati.

Penghayat Sapto Darmo Tegaskan ‘Demokrasi Spiritual’ Hadapi Tahun Politik 2024
Penghayat Sapto Darmo melakukan ritual peribadatan

Sore itu, saya berkesempatan berbincang dengan penghayat agama lokal Sapto Darmo di tempat tinggalnya di sekitaran daerah Galeria Mall Yogyakarta. Pak Bambang, begitulah ia biasa dipanggil, menyambut saya di halaman rumah yang luas. Berjejer beberapa gamelan di teras rumahnya. Halaman rumahnya cukup luas. Sangat luas bahkan. Saya sampai berpikir, kok masih ada lahan rumah seluas ini di tengah kota Yogyakarta.

Monggo duduk di sana, mas.” Pak Bambang mengarahkan saya.

Nggeh, Pak.

Menjelang tahun politik ini, menurut saya penting untuk mendengarkan pesan-pesan dari tokoh-tokoh agama di akar rumput. Pak Bambang bukan hanya sekedar pemeluk agama Sapto Darmo. Ia adalah Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Daerah Istimewa Yogyakarta. Artinya, ia mempunyai kewenangan untuk mengelola kehidupan penghayat kepercayaan di seantero DIY.

“Sebagai seorang penghayat bagaimana Pak Bambang merefleksikan posisi penghayat kepercayaan dalam membangun toleransi di tahun 2023?” Saya memulai pembicaraan.

Pertanyaan ini saya ajukan untuk meninjau kembali bagaimana sebenarnya posisi dan kondisi penghayat di sepanjang tahun 2023. Apakah eksistensi mereka memberikan dampak bagi kehidupan sosial yang harmonis di akar rumput.

“Yang namanya penghayat itukan jiwanya sudah ingin kedamaian terus. Jadi yang namanya toleransi itu selalu dicari dan diupayakan terus (toleransi itu).” Terangnya.

“Oh iya Pak. Lalu bagaimana konkretnya kedamaian dalam penghayat itu sendiri?” Saya mencoba mengulik.

“Misalnya terkait dengan putusan MK No. 97 itu ya yang berdampak pada perubahan KTP. Di sini pun kita juga terjadi pertentangan antara ada yang mau dan ada yang tidak. Itupun yang tidak mau kita juga toleransi.” Papar sosok yang juga menjadi ketua RW setempat itu.

“Tidak apa-apa. Yang penting dia sudah mengakui sebagai penghayat. Saya hargai sekali itu. Walaupun dia belum mau ganti KTP ga masalah.” Lanjutnya.

Bambang Purnomo sebetulnya menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 tentang kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan. Melalui putusan MK ini, seluruh penghayat kepercayaan di Indonesia memiliki legal standing untuk mencantumkan kolom agamanya di KTP. Namun beberapa menolak untuk mengganti identitas di kolom agama, dan memilih tetap mencantumkan agama lamanya.

Menurutnya, pergantian identitas KTP adalah sebuah proses. Faktor yang mempengaruhinya juga kompleks. Bisa jadi penghayat yang menghayati agama lokal hanya bapaknya, atau hanya ibunya, ia sendiri tidak. Jangan sampai putusan MK justru melahirkan perpecahan.

“Itu ya harus dimaklumi loh ya. Jadi tidak harus dipaksakan, enggak.” Tegasnya.

Saya lalu membayangkan, artinya model toleransi yang dipraktikkan penghayat bekerja optimal di level internal. Tidak ada paksaan dan tekanan. Masing-masing mereka saling menghargai pilihan satu sama lain. Ekosistem ini bagus bagi kelangsungan sistem sosial secara luas. Dari level internal saja mereka rukun, apalagi jika relasi keluar. Sembari membayangkan, saya berpikir tentang pertanyaan lanjutan. Kali ini tentang tahun politik.

“Apa peluang yang Pak Bambang lihat di tahun politik 2024 untuk menciptakan hubungan yang tetap kondusif?” Saya bertanya sembari menyenggol lututnya.

“Saya sekarang prihatin ya, karena masyarakat kita sekarang menjelang Pemilu ini kok do saling ga punya etika ya.” Ia menyatakan dengan tegas.

Saya mengernyitkan dahi.

“Bagaimana maksudnya Pak?

“Pada ngolok-ngolok kiri kanan. Menuduh orang lain begini padahal dirinya sendiri juga belum tentu.” Tegasnya.

Menurutnya, orang tidak perlu menilai sesuatu atau seseorang. Menilai itu pasti akan salah karena yang dinilai pasti hanyalah yang terlihat mata saja. Orang sering lalai bahwa yang tidak kelihatan itu tidak kalah pentingnya.

Selanjutnya, Bambang Purnomo juga menegaskan bahwa politik sangat beririsan dengan kekuasaan. Untuk menuju kekuasaan itu, orang cenderung akan menggunakan berbagai cara. Yang baik atau yang buruk. Yang salah atau yang benar.

“Kalau saya pengennya demokrasi yang spiritual. Jadi selalu mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.” Papar Bambang.

Saya terhenyak. Apa itu demokrasi spiritual. Di dalam hening, Pak Bambang lalu menerangkan.

“Ketika saya menggunakan istilah demokrasi spiritual, itu yang melihat adalah nilai-nilai yang tergantung di dalam diri, bukan nafsu.

“Semua harus dasarnya ketuhanan. Karena kalau dasarnya kekuasaan, liberal kan kekuasaan itu, nafsunya yang keluar. Nafsu itu mesti tidak baik kok.” Panjang lebar ia menjelaskan.

Saya mengangguk. Demokrasi spiritual. Frase ini baru di telinga saya. Merujuk pada tahun politik sebelumnya, kontestasi politik seringkali melahirkan konflik, baik di level elit maupun akar rumput. Tensi ini disebabkan absennya koridor ketuhanan dalam berbagai lini masyarakat. Terutama di level masyarakat, perbedaan pilihan politik sering menghilangkan akal sehat sehingga satu pihak saling menghakimi pihak lainnya.

“Nilai ketuhanan harus ada. Menghargai orang lain, menghormati sesama, adil, nah itu harus ada. Kalau engga seperti itu ya isinya perang terus gitu to.” Terang Pak Bambang mengakhiri pembicaraan.