Banjir Jakarta, Gubernur Seiman dan Bahaya Kerusakan Lingkungan

Banjir Jakarta, Gubernur Seiman dan Bahaya Kerusakan Lingkungan

Banjir jakarta itu tidak ada urusan dengan agama atau Seiman

Banjir Jakarta, Gubernur Seiman dan Bahaya Kerusakan Lingkungan
Potret bencana banjir. Banjir merupakan salah satu dampak krisis iklim.

 

Penghujung bulan Desember 2019 sampai pada bulan Februari 2020, terhitung DKI Jakarta sudah sembilan kali mengalami kebanjiran. Di tengah perubahan iklim dari musim kemarau ke musim penghujan mengakibatkan curah hujan dengan intensitas tinggi membayangi wajah ibu kota.

Banjir DKI Jakarta seolah telah menjadi fenomena rutinan tiap tahun, tak ayal menghadapi musim penghujan kali ini tidak melulu menyoal persiapan menghadapi banjir. Belajar dari itu, bagaimana pencegahan dan penanggulangan sejak dini mengahadapi fenomena tahunan ini.

Tipe-tipe banjir yang menggenangi wilayah ibu kota dapat kita asumsikan sebagai berikut:

Pertama, banjir karena hujan lokal. Musim penghujan membuat curah hujan di DKI Jakarta yang sangat tinggi mengakibatkan genangan air meluber di sudut-sudut ibu kota ini

Banjir tipe ini diperparah dengan drainase dan saluran air lainnya tidak berjalan maksimal. Masih sering ditemukan banyak sampah karena perbuatan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sampah-sampah ini membuat laju air ke dataran bawah semakin pelan karena terjadi penumpukan dan penyumbatan di beberapa saluran bendungan atau dam.

Mengutip data dari Kementrian Linkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa pada tahun 2019, jumlah sampah di Indonesia mencapai 68 Juta Ton. Dari jumlah tersebut, sampah plastik mencapai angka 9,52 Juta Ton atau sekitar 14% dari jumlah keseluruhan.
Salah satu propinsi penyumbang sampah terbesar adalah DKI Jakarta dengan hitungan 7400 ton sampah setiap hari. Tidak diimbangi pula dengan fasilitas pengolahan sampah di dalam kota atau ITF (Intermediate Treatment Fasility).
Menurut Prof. Munadjad Danusaputro (1985), dalam bukunya berjudul Hukum Lingkungan menyatakan bahwa Lingkungan yang mengalami kerusakan disebabkan oleh penambahan bermacam-macam bahan dan materi sebagai hasil dari aktivitas manusia ke lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan tersebut.

Kedua, Banjir kiriman dari wilayah puncak. Kemampuan ekosistem air sebagai pengontrol resapan air ke dalam tanah dan aliran air di atas tanah sudah tidak mampu lagi karena curah hujan yang tinggi.

Air kiriman dari wilayah puncak ini meluber ke sungai-sungai di wilayah Jakarta. Anehnya, beberapa bantaran sungai yang semestinya di buat penampungan malah dijadikan kawasan hunian warga.

Daerah kiri-kanan hilir sungai di kawasan Jakarta semakin menyempit. Di saat yang bersamaan kiriman air dari wilayah puncak dengan jumlah besar sampai ke Jakarta. Mustahil kota Jakarta bisa lolos dari banjir.

Ketiga, Banjir karena naik permukaan air laut yang terkombinasi penuturan struktur tanah. Sisi daratan di wilayah DKI Jakarta, kurun waktu 1970 sampai sekarang. Problem tanah yang ambles (Land Subsidence) menjadi bahan kajian menarik para peneliti bidang ilmu Geologi, Geodesi, Tehnik dan Arsitektur kota.

Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia tentunya menjadi jujukan banyak orang. Konsekuensinya sematan kota metropolitan berimplikasi pada percepatan pembangunan. Hal ini terjadi dalam rentan waktu relatif lama sehingga dampak langsung nya adalah terjadi penurunan lapisan tanah.

Penurunan muka tanah terjadi karena eksploitasi air dalam tanah secara berlebihan sehingga timbul ekstraksi di dalamnya. Di tambah lagi amblesan tanah
dengan laju melebihi 10 cm setiap tahun. Secara bersamaan naiknya permukaan air laut sebanyak 5 cm setiap tahunnya.

Allah SWT sudah memberi peringatan dalam Al Qur’an surat Ar-Rum ayat 41 yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan lautan akibat tangan ( maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Merujuk pada asumsi, sajian data dan pendapat seorang ahli di atas. Banjir Jakarta menjadi pekerjaan rumah bersama juga sebagai “alarm” pentingnya menjaga alam dan lingkungan. Dan, itu tidak ada urusannya dengan Iman atau tidak, atau gubenur yang seiman atau bukan.