Pernahkah Kamu Putus Asa dan Berpikir Mengakhiri Hidup?

Pernahkah Kamu Putus Asa dan Berpikir Mengakhiri Hidup?

Pernahkah Kamu Putus Asa dan Berpikir Mengakhiri Hidup?

Sudah tidak terhitung orang yang merasa putus asa atas apa yang hinggap di hidupnya. Terlilit hutang, check. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya? Banyak kok. Semua juga pernah. Tidak lolos ujian/sulit mencari pekerjaan? Selamat, kamu bukan satu-satunya.

Padahal mah cuma hinggap ya, tapi rasa sakitnya sering bersemayam dan membekas lama. Dan kita semua tahu, itu berat banget. Meski ada saja beberapa orang yang cukup beruntung bisa melepasnya dalam waktu singkat. Makanya, putus asa, atau bahkan melakukan hal-hal bodoh karena putus asa itu bukan lelucon sama sekali. Apalagi jika sampai memikirkan, atau bahkan melakukan hal yang tidak terduga. Mabuk, drugs, sampai bentuk putus asa paling ultimate; terlintas untuk mengakhiri hidup, misalnya.

Jangankan kita yang manusia biasa. Nabi Muhammad pun pernah dicoba dengan kesedihan yang mendalam setelah ditinggal dua orang kesayangannya – istri tercinta Sayyidati Khadijah al-Kubra dan sang paman Abu Thalib – untuk selama-lamanya. Kedua orang ini lah yang berkorban lahir batin demi memuluskan jalan misi Nabi mencerahkan masyarakat jahiliyyah pada masa itu. Tahun itu diabadikan dengan nama Am al-huzni, atau tahun kesedihan. Ada juga yang menyebutnya sebagai “tahun depresi”.

Ngobrolin sedikit tentang putus asa, dan bagaimana al-Quran membincangkan tentang putus asa dalam diri manusia. Satu petikan dari surat Yusuf ayat 87 berbunyi:

.. وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُون..

“..dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.

Janganlah kamu berputus asa dari “rauh” Allah. Di terjemahan biasa, rauh itu diterjemahkan begitu saja sebagai rahmat Allah. Menurut Prof. Quraish Shihab, kata rauh dalam ayat tersebut ada yang memahaminya bermakna napas.

Pernah mengalami ketika sendiri malam-malam, ingin menangis gak bisa, dan yang ada hanya diam sambil menahan sesak di dada? Seperti itu kurang lebihnya. Kesedihan dan kesusahan yang dialami oleh manusia memang sering menyesakkan dada, membuat diri sulit bernapas. Seperti terkungkung dalam satu sel yang sempit dengan tangan terikat. Untuk bernapas dengan normal saja sulitnya bukan main.

Maka, kata rauh di sini juga berarti ketika manusia bisa bernapas secara baik, bisa dianggap ia ada dalam kondisi dada yang lapang. Kondisi lapangnya dada ini beriringan dengan hilangnya kesedihan yang menyesakkan.

Kata rauh di sini juga satu akar dengan kata istirahah. Iya, beristirahat, dalam artian hati yang beristirahat dengan penuh ketenangan. Secara tersirat, ayat ini memberi pesan kepada kita, bahwa sesesak apapun dadamu saat ini, please.. jangan lah kalian berputus asa akan datangnya ketenangan dari Allah Swt. Allah tidak akan melulu menyesakkan dada kalian. Ketenangan pasti akan datang.

Keputusasaan di dalam al-Quran seringkali diidentikkan dengan perilaku orang kafir. Kafir ini bukan sebutan penganut agama lain ya, melainkan sebutan bagi orang yang kufur (ingkar, menutup mata) dari limpahan nikmat yang Allah berikan. Dan keputusasaan hanya satu contoh kecil dari sifat kekufuran yang besar. Semakin mantap iman seseorang, akan semakin besar pengharapannya kepada Tuhan. Karena ia yakin. Sebaliknya, semakin kufur seseorang, ia makin yakin Tuhan tidak pernah sayang kepadanya.

Sebagaimana disebut dalam surat Al-Ankabut ayat 23:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَلِقَائِهِ أُولَٰئِكَ يَئِسُوا مِنْ رَحْمَتِي وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.

Bahkan, masih menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, keputusasaan hanya layak lahir dari manusia durhaka karena mereka selalu menduga bahwa kenikmatan yang hilang akan hilang selamanya, tidak akan pernah kembali lagi. Keragu-raguan atas Tuhan seperti ini lah yang akan menjadi bibit kekufuran kita kepada Allah. Naudzubillah..

So.. apakah lantas salah kalau aku merasa capek dengan hidup ini?

Tidak, tidak salah. Kita cuma manusia dengan segala keterbatasan akal dan pasang-surut emosi. Kita hanya sebutir debu yang terombang-ambing di tengah misteri semesta yang begitu luas. Ketika palu godam bernama masalah menghampiri, manusia memang bisa sekonyol itu. Lantas kuncinya adalah bagaimana mengendalikan diri.

Iya, mungkin berbuat konyol, atau bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup akan menghilangkan sakitmu, “menyelesaikan” semua masalah dan bikin “lapang” semua sesak yang ada di dada kamu. Hanya saja, itu hanya akan meninggalkan luka baru bagi orang-orang lain di sekitar kamu. Makin mempersempit dunia orang-orang yang sayang sama kamu.

Bualan panjang lebar ini bukan pertunjukan sulap. Sama sekali tidak bisa menyelesaikan masalah yang sedang kamu hadapi dalam sekejap. Tapi ingat ini. Allah Swt adalah Maha hidup dan terus-menerus wujud. Allah Swt, dengan Kuasa-Nya, dapat menghadirkan kembali apa yang telah terenggut dari tangan kalian, bahkan Dia berkuasa untuk melipatgandakan dari apa yang pernah kalian genggam sebelumnya.

Klise memang, tapi pilihan untuk tidak putus asa dan terus berharap, hanya itu yang kita punya.

Baca juga: Melalui Surah An-Nas, Begini caraku Berlindung dari Depresi dan artikel menarik lainnya dari Rifqi Fairuz melalui tautan ini.