Ketika itu, menjelang berbuka puasa, saya ngabuburit dengan teman lama di salah satu warung kopi mewah (mepet sawah) di Maguwoharjo. Meskipun agama di kolom KTP-nya adalah Islam, ia mengaku tidak berafiliasi kepada kepercayaan apapun di Indonesia. Identitas itu hanyalah syarat formalitasnya sebagai warga negara, katanya. Saat itu kami mengobrol tentang Tuhan dan Nyi Roro Kidul. Di tengah obrolan, ia bertanya,
“Adil nggak sih kita mengakui eksistensi Tuhan tetapi mengingkari sosok Nyi Roro Kidul?”
Aku terdiam. Tampaknya dia menafsirkan diam itu sebagai sebuah kebingungan. Ia kembali menjelaskan,
“Tuhan kan sifatnya gaib, pun dengan Nyi Roro Kidul. Tetapi kenapa yang ia percaya hanya Tuhan, lalu menyalah-nyalahkan mereka yang percaya Nyi Roro Kidul? Bukankah itu tidak fair?”
“Jika ia percaya Tuhan, mestinya ia juga percaya Nyi Roro Kidul kan, sebagai sesama entitas gaib?” jelasnya panjang lebar.
Saya sebenarnya sudah paham arah argumennya. Teman yang tidak ingin disebutkan namanya itu menginginkan kesetaraan dalam hal keyakinan. Jika tidak percaya hal gaib, maka wajar jika tidak percaya Tuhan atau Nyi Roro Kidul. Namun juga percaya, kenapa hanya pilih-pilih. Iya, saya paham argumennya.
Berangkat dari pertanyaan itu, saya berpikir. Salah satu konsep yang sangat mendefinisikan dinamika hubungan antara manusia dengan entitas gaib adalah agama. Agama menuntut pemeluknya untuk percaya kepada yang transenden dan yang tak terindera. Agama mengandaikan sebuah kekuatan maha besar melebihi nalar manusia yang melindungi kehidupan mereka di dunia.
Fungsi Agama dalam Realitas Sosial
Jika menggunakan sudut pandang teologi Islam, maka diskusi ini selesai karena bagaimanapun sosok Nyi Roro Kidul tidak ditemukan dalam diskursus keilmuan Islam. Diskusi ini bisa lebih hidup jika digali menggunakan perspektif sosiologi. Karenanya, konsep agama yang barusan disinggung akan diulas melalui perspektif ini. Secara umum, setidaknya diwakili oleh tiga tokoh studi agama modern, Nancy Fraser, Sigmund Freud, dan Edward B. Tylor, agama dianggap sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia. Agama menawarkan jawaban-jawaban terhadap banyak pertanyaan yang sulit dijawab dan didekati dengan ilmu pengetahuan ilmiah. Manusia diberikan semacam penjelasan “alternatif” tentang sebuah fenomena yang tidak terpikirkan oleh rasio mereka.
Hal ini memberikan konsekuensi. Manusia menjadi percaya bahwa ada kekuatan maha besar yang berada di luar kuasa mereka. Perspektif ini menjadi dalil Emile Durkheim bahwa agama melahirkan nilai moral bagi suatu masyarakat. Menurutnya, agama merupakan konsep sosial yang berhubungan dengan bagaimana moral masyarakat terbentuk. Agama dipandang sebagai sumber perilaku. Salah satu manifestasinya adalah dengan melakukan ritual-ritual peribadatan dengan menyucikan sesuatu yang, dalam bahasa Durkheim, disebut totem. Dalam kasus pertanyaan teman saya, kepercayaan lokal komunitas tepi pantai selatan, misalnya Kejawen, terhadap Nyi Roro Kidul melahirkan sebuah sistem moral tertentu. Mereka tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap laut, larangan untuk mencari ikan di hari-hari tertentu, dan sebagainya. Hal itu karena kepercayaan mereka terhadap kekuatan besar yang dilekatkan kepada penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul.
Berbanding lurus dengan penjelasan Durkheim, Habermas mendefinisikan agama sebagai sistem pandangan hidup yang memberikan interpretasi atas hidup penganut-penganutnya. Melalui zat gaib yang mereka sebut “Tuhan”, manusia menyandarkan berbagai penafsiran tentang fenomena-fenomena yang tak terjelaskan dalam kehidupan mereka. Seperti misalnya, apa yang terjadi setelah kematian. Terdapat konsep surga dan neraka dalam agama abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam), konsep reinkarnasi dalam Hindu dan Buddha, untuk menjelaskan kegamangan itu.
Pikiran Manusia Mencerminkan apa yang ia Konsumsi
Dalam pembahasan di atas, baik Tuhan atau Nyi Roro Kidul diasumsikan memiliki posisi yang sama dalam masyarakat, yaitu entitas adikodrati yang mempunyai kekuatan super dan supra natural melampaui kekuatan manusia sehingga manusia menjadi tunduk kepadanya. Entitas itu kemudian diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya, sejalan dengan perkembangan kebudayaan, kesadaran sosial, dan spiritual manusia. Ia disebut Yahweh dalam tradisi Yahudi, Allah dalam tradisi Islam dan Kristen, Sang Hyang Widhi dalam konsep Hindu, atau Tuhan saja dalam banyak agama lokal. Hal ini mengingat, fenomena “tunduk kepada yang gaib” ini tidak hanya terjadi di satu komunitas saja, namun juga belahan-belahan lain di penjuru dunia.
Masing-masing komunitas mempunyai landasan kultural sendiri yang mendasari bagaimana mereka menyebut yang “supernatural” itu. Oleh karenanya, satu masyarakat dengan masyarakat lain bisa berbeda dalam mempersepsi konsep “yang sakral” itu, karena memang mereka berangkat dari realitas budaya masing-masing yang sangat dinamis. Masyarakat India, misalnya, akan berbeda dengan masyarakat Timur Tengah dalam memahami “yang sakral”. Maka wajar jika komunitas India menganggap aneh kepercayaan terhadap “Tuhan” yang dipahami oleh komunitas Timur Tengah, hal itu karena fundamen kebudayaan mereka berbeda. Dan tidak fair juga memaksa komunitas India untuk mempercayai konsep ketuhanan komunitas Timur Tengah itu.
Analoginya begini, ada dua prodi di satu universitas. Sebut saja prodi Teknologi Informasi (IT) dan prodi Filsafat. Kedua program studi itu memiliki landasan keilmuannya masing-masing, sehingga mahasiswa IT sangat menguasai seputar software dan hardware komputer, sedangkan mahasiswa Filsafat sangat menguasi epistimologi pengetahuan dan sejarah pemikiran para filsuf. Keduanya mempunyai kepakaran dalam diskursusnya masing-masing.Maka wajar jika mahasiswa IT tidak menyentuh apapun tentang filsafat karena itu bukan termasuk “kultur” yang membangunnya menjadi seorang ahli IT. Pun tidak adil juga untuk memaksa mahasiswa Filsafat memahami IT dalam konteks mengakui kelebihan ilmu IT atas yang lain.
Perbedaan Pikiran Sebagai Keniscayaan
Kembali kepada pertanyaan teman saya tadi, maka jawabannya tidak apa-apa mengakui eksistensi Tuhan tetapi mengingkari sosok Nyi Roro Kidul, atau sebaliknya. Ini bukan masalah adil atau tidak, namun karena memang masing-masing komunitas mengkonsumsi wacana dan budaya yang berbeda terhadap “yang transenden”.
Kita tidak sedang berbicara soal sinkretisme atau asimilasi dua budaya menjadi satu. Namun dua keyakinan dengan satu batas tegas di antara keduanya. Sinkretisme mungkin bisa terjadi antara komunitas lokal Kejawen dengan agama Islam dari luar Indonesia yang kemudian melebur menjadi Islam-Jawa. Namun yang digarisbawahi adalah jika keduanya merupakan dua kelompok “air dan minyak” yang diasumsikan tidak mungkin berkompromi satu sama lain.
Di Indonesia, misalnya, beberapa kelompok Islam beraliran Wahabi menyatakan bahwa mempercayai Nyi Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan adalah sebuah kemusyrikan. Pemahaman itu sah-sah saja karena mereka tidak mengkonsumsi budaya yang sama dengan para penganut Kejawen di pesisir pantai selatan. Wacana yang terpatri (doktrin) dalam kehidupan komunitas Muslim tersebut adalah tentang ketauhidan dan keesaan Allah. Berbeda dengan kultur masyarakat Jawa yang lekat dengan doktrin animisme yang membentuk kepercayaan masyarakat Kejawen. Perbedaan konsumsi budaya itu pula yang memaklumi jika Kejawen tidak mempraktikkan relijiusitas seperti yang dipahami oleh komunitas Wahabi.
Wal akhir, saya mengakhiri diskusi ini dengan teman saya itu dengan mengatakan bahwa konsumsi masyarakat terhadap wacana tertentu di lingkungannya akan sangat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap yang apa yang disebut Tuhan atau Nyi Roro Kidul. Diskusi masih berlanjut, namun topik ini kami anggap selesai. Pada akhirnya, masing-masing pemeluk agama akan merasa konsep ketuhanannya yang paling benar. Itu sah-sah saja. Namun paling tidak, ia tidak melanggar norma kemanusiaan saat mempraktikkan ajaran agamanya.
Tak lama, adzan maghrib berkumandang syahdu. Selepas berdoa, kami berdua menikmati seteguk es teh jumbo dan sepiring pisang goreng yang sudah tersaji di atas meja. Alhamdulillah.