Perjumpaan Agama dan Tradisi dalam Karya Kuntowijoyo

Perjumpaan Agama dan Tradisi dalam Karya Kuntowijoyo

Salah seorang budayawan yang banyak mengulas pergumulan agama dan tradisi di Indonesia adalah Kuntowijoyo. Ia dikenal sebagai sastrawan, penyair, sosiolog, dan juga aktivis Muhammadiyah. Kita bisa melihat pandangan kritis Kuntowijoyo terhadap sikap dan perilaku manusia modern termasuk juga praktik keberagamaan sebagian kalangan.

Perjumpaan Agama dan Tradisi dalam Karya Kuntowijoyo
Dedi Slamet Riyadi

Akhir-akhir ini mengemuka fenomena penolakan dan penafian tradisi oleh sebagian kelompok agama. Sebagian pertentangan tersebut berujung pada konflik sosial bahkan bentrokan fisik antara beberapa kelompok. Fenomena yang sering terjadi adalah dibubarkannya acara adat atau praktik tradisi yang dipadukan dengan nilai-nilai agama di beberapa daerah.

Pertentangan dan benturan antara agama dan tradisi itu tentu saja menjadi fenomena mengkhawatirkan yang akan merusak kerukunan masyarakat Indonesia yang dikenal dengan keragaman budaya, adat, bahasa, dan tradisinya. Karena itulah penting untuk menggali kembali khasanah pengetahuan dan budaya untuk menegaskan kembali bahwa selama ini di Indonesia agama dan budaya hidup berdampingan dan saling menopang satu sama lain.

Dalam acara Permufakatan Bersama Budayawan dan Agamawan di Yogyakarta pada bulan November 2018, Lukman Hakim Saifudin menyatakan bahwa agama dan budaya di Indonesia tidak semestinya saling menghancurkan satu sama lain. Menurutnya, agama dan budaya memiliki sejarah panjang dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia sehingga tidak perlu dipertentangkan. Pengembangan budaya di Indoensia sudah seharusnya menghargai nilai-nilai prinsipil dalam agama. Sebaliknya, pengembangan agama juga tidak semestinya mengakibatkan hancurnya keragaman budaya, tradisi, dan adat istiadat Indonesia. (CNN Indonesai, 3 Nov 2018).

Salah seorang budayawan yang banyak mengulas pergumulan agama dan tradisi di Indonesia adalah Kuntowijoyo. Ia dikenal sebagai sastrawan, penyair, sosiolog, dan juga aktivis Muhammadiyah. Kita bisa melihat pandangan kritis Kuntowijoyo terhadap sikap dan perilaku manusia modern termasuk juga praktik keberagamaan sebagian kalangan.

Kuntowijoyo dikenal sebagai cendekiawan muslim yang menjadi guru besar sejarah di UGM. Ia banyak menulis tentang sejarah, sastra, budaya, dan agama dalam lebih dari 50 judul bukunya. Ia meninggalkan gagasan besar bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia melalui idenya tentang Ilmu Sosial Profetik. Gagasannya itu berpengaruh besar terhadap corak perkembangan keislaman di Indonesia. Kuntowijoyo juga dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah, bahkan disebut sebagai salah satu sosok pemikir Islam yang sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah.

Mengenai karya-karya sastranya, pada awal tahuun 2000-an, beberapa tahun sebelum Kuntowijoyo wafat, Emha Ainun Najib menyatakan bahwa karya-karya terakhir Kuntowijoyo merepresentasikan kematangan dan kedalaman. Karya-karyanya lebih bersifat kontemplatif dan reflektif. Bagi Emha, saat-saat Kunto dirundung sakit adalah seperti masa tapa, saat berkepompong, dan setelah sembuh, Kunto menjelma menjadi seekor kupu-kupu.

Tetapi, bila kita melihat cerpennya yang berjudul “Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh, Jl. Kembang Desa, Jl Kembang Api”, maka lontaran pernyataan Emha itu tidak tepat jika dialamatkan kepada Kuntowijoyo. Karya itu yang diterbitkan di harian Kompas (28 April 2002), justru memprolamirkan kembalinya Kunto ke gaya penulisannnya di tahun 70 sampai tahun 80-an—saat-saat ketika ia menghasilkan kumpulan cerpennya, “Dilarang Mencintai Bunga-bunga,” atau kumpulan puisinya yang berjudul “Suluk Awang Uwung.”

Cerpen “Jl Kembang Setaman” itu saya anggap sebagai titik kembalinya Kuntowijoyo kepada paradigma transendentalnya yang selama ini ia perjuangkan. Sedangkan karyanya sebelum itu, misalnya novel yang berjudul “Mantra Pejinak Ular,” justru saya anggap sebagai anomali dari jalur kreatif Kunto. Dalam novel itu, Kunto cenderung lebih verbal dan lebih “hijau” ketika menyuarakan nilai-nilai transendentalnya. Memang ia masih memadukan—juga mempertentangkan—nilai-nilai tradisi dan modernitas, tetapi “kematangan” sebagaimana yang diungkapkan Emha, tidak kita temukan.

Memang, sejak awal Kuntowijoyo berusaha untuk melesakkan nilai-nilai transendental dalam setiap karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi. Transendentalisme telah menjadi paradigma kreatifnya. Ia misalnya menulis dalam sebuah makalah bahwa saat ini, “kita memerlukan sebuah ‘sastra transendental’”. Kunto mengemukakan gagasannya itu karena melihat bahwa “aktualitas tidak dicetak oleh roh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, sehingga kita tidak menemukan wajah kita yang otentik.

Kita terikat pada yang semata-mata kongkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indera kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian. Jadi, sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri kita dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri kita dari peralatan inderawi”. (DKJ, 1984: 154). Tujuan sastra trensendental yang dikemukakan Kunto adalah humanisasi.

Tujuan sastra transendental itu akan lebih jelas kita pahami apabila kita melihat juga paradigma ilmu sosial yang ditawarkan Kunto. Dalam bukunya Paradigma Islam, Kunto menggagas suatu paradigma ilmu sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai religi. Dia mengatakan bahwa, “kita membutuhkan ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita dan etik dan profetik tertentu.” (Kuntowijoyo, 1993: 288).

Secara garis besar ada tiga tahapan yang diperkenalkan dalam ilmu sosial profetik, humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi. Bagi Kunto, humanisasi dan liberasi tidak bisa dipisahkan dari transendensi. Keduanya harus mengarah pada nilai tansendental. (Kuntowijoyo, 1993: 338).

Dari gagasannya tentang sastra transendental serta ilmu sosial profetik, kita bisa membaca bahwa Kunto mengangankan terwujudnya sebuah sastra transformatif yang transendental. Transformatif dalam arti bahwa sastra dijadikan sebagai unsur pengubah dalam masyarakat. Dan transendental berarti bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengarah pada perwujudan nilai-nilai transendensi. Jadi, melihat paradigma ilmu sosial dan karya-karya sastra yang dihasilkannya, Kunto tidak hanya mengangankan terwujudnya sebuah sastra yang transendental, tetapi lebih dari itu ia juga harus bersifat transformatif.

Kunto berupaya untuk mewujudkan gagasannya itu lewat karya sastra. Dalam beberapa cerpennya kita bisa melihat konsistensi Kuntowijoyo. Sebagian besar karyanya merupakan perwujudan dari keinginannya untuk membebaskan manusia dari kungkungan benda-benda, dogma-dogma, ideologi, dan pseudo-spiritual. Tulisan ini akan mencoba menelusuri jejak-jejak strukturalisme transendental yang digagas oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya fiksinya.

Kritik atas Manusia Modern

Herbert Marcuse, seorang filsuf mazhab Frankfurt, mengemukakan bahwa manusia modern telah kehilangan dimensi spiritualnya. Yang tinggal dari manusia modern hanyalah dimensi material. Karenany, Marcuse menjuluki manusia modern sebagai manusia satu dimensi (one dimentional man). Dalam bahasa Kunto, manusia menjadi elemen yang mati dalam proses produksi. Modernitas telah memperbudak manusia sekadar menjadi otomat dari proses produksi. (Kuntowijoyo, 1993: 161).

Pandangan-pandangan Kunto tentang manusia modern jelas tergambar dalam cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (selanjutnya ditulis DMB). Cerpen DMB menggambarkan pertentangan antara dimensi material dan dimensi transendental. Tokoh ayah dalam cerpen itu merupakan tipikal khas manusia modern. Ia seorang pekerja keras. Seluruh hidupnya hanya untuk kerja. Wujud pertentangan antara material dan transendental bisa kita lihat lewat pandangan si anak tentang ayahnya, “Aku mulai segan bertemu dengan ayah….. pasti ayah akan datang dengan baju bergemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam”. (DMB:10).

Ketika sang anak ditanya tentang gunanya tangan dan si anak tidak menjawab, tokoh ayah menjawabnya sendiri, “Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, buyung… cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja.” (DMB:12). Semuanya untuk kerja. Persis seperti yang digambarkan dalam cerpen “Kuda itu Seperti Manusia Juga”. Manusia tak ubahnya seperti kuda, yang nilai gunanya hanya untuk diperas tenaganya. Tokoh ayah dalam DMB memandang kesempurnaan hidup bisa didapatkan dalam kerja. (DMB: 21).

Melalui cerpen ini Kunto ingin mengemukakan bahwa hidup tidak hanya untuk kerja. Energi kehidupan ini tak bisa dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi. Hidup juga membutuhkan ketenangan batin. Tak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa. (DMB:12). Tokoh kakek, dalam cerpen ini, membedakan antara manusia satu dimensi dengan manusia berdimensi ganda. “Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana-ke mari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar, orang bertentang tentang harga. Mereka semua menipu diri sendiri. hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk pikuk dunia.” (hlm. 12).

Tapi bagi Kunto, seorang anak kecil tetaplah anak kecil. Ia tidak bisa dipaksa untuk menjadi dewasa. Menjadi bijak. Ia boleh saja bersikap bijak. Tapi seorang anak harus tetap memiliki kepolosan, kesucian, bahkan dunianya adalah dunia main-main. Dunia khayal dan imajinasi. Kita akan ikut tersenyum ketika Kunto menggambarkan tokoh anak tersenyum reflektif melihat teman-temannya bermain layang-layang.

Atau, kita akan merasa heran. Keheranan, bahkan mungkin marah akan timbul ketika kita menjadi seorang ibu dan si kecil kita bertanya, “Ibu, katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?” (DMB:14). Tampak sekali bahwa Kunto sangat memahami dunia anak-anak. Dan ia ingin membiarkan seorang anak tetap menjadi anak-anak. Maka, Kunto menutup ceritanya dengan gumaman sang anak: “Bagaimanapun, aku adalah anak dari ayah dan ibuku.” (DMB:22).

Pertentangan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan jiwa, dapat kita lihat juga dalam cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon.” Kunto mengawali cerpennya dengan menggambarkan situasi sebuah pasar. Ketika kembali membaca cerpen itu, saya teringat esai Goenawan Mohamad, “Zarathustra di Tengah Pasar”. Dalam tulisan itu ia mengatakan bahwa pasar merupakan sebuah tempat di mana kesendirian sebenarnya justru hadir: kebersamaan yang semu, perjumpaan yang sementara dan hanya berlangsung di permukaan. Model sebuah pasar adalah tempat di mana orang di dekat kita adalah pesaing kita. Di dalam pasar, rasa iri bukan hal yang salah, rakus bisa jadi bagus, dan keduanya dilembagakan dalam sebuah sistem. (Kalam, No.7, 1996: 110). Heterogenitas yang ada di pasar bermuara pada satu tujuan: uang/materi. Kondisi semacam itulah yang ingin dikritik Kunto lewat cerpennya. Kondisi masyarakat satu dimensi.

Masyarakat semacam itu telah kehilangan satu hal yang sangat berharga: ketenangan dan ketenteraman batin; spiritualitas. Ketenteraman batin digambarkan oleh Kunto melalui persahabatan dua manusia, satu muda, satunya lagi tua. Kepolosaan dan kebijakan. Keduanya disatukan oleh kebahagiaan yang didapatkan dalam aktivitas bermain. Pemilihan judul “Burung Kecil Bersarang di Pohon” (BKBdP), menunjukkan bahwa inti dari jalinan peristiwa dalam cerpen ini terdapat dalam aktivitas bermain yang dilakukan oleh dua orang berbeda usia.

Ada beberapa kesamaan antara DMB dengan BKBdP. Masing-masing mempertentangkan antara hiruk pikuk dunia dan ketenangan jiwa. Dalam DMB Kunto menggunakan metafor bunga dan anak kecil untuk menggambarkan ketenangan jiwa. Dan dalam BKBdP, Kunto memilih burung kecil dan anak kecil serta aktivitas bermainnya.

Bermain, bagi Huizinga, merupakan unsur konstitutif dalam eksistensi manusia dan mencirikan siapa manusia sesungguhnya. Dalam kata pengantar bukunya, Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya, Prof. J. Huizinga mengatakan, julukan baru untuk manusia sebagai homo ludens (manusia bermain) sudah selayaknya perlu mendapatkan perhatian yang sama dengan sebutan-sebutan lain untuk manusia yang sudah ada sebelumnya.

Manusia suka bermain. Sebab bermain merupakan satu kegiatan yang khas manusiawi yang sifatnya universal. Dalam permainan, orang boleh—bahkan sering kali malah diharuskan—membangun sebuah dunia rekaan baru yang lain sama sekali dari kenyataan sehari-hari. Dengan demikian orang seakan harus pindah beralih dari kenyataan yang faktual ada menuju dunia lain yang bisa menjadikan sesuatu, seperti misalnya, kepuasan batin. (Mathias Haryadi, Basis, September, 1995: 338). Dalam cerpen BKBdP, tokoh mahaguru menemukan kepuasan batin, ketenangan dan ketenteraman jiwa yang merupakan inti spiritualitas dalam aktivitas bermainnya bersama anak kecil.

Kesadaran Kolektif vs. Kesadaran Individu

Modernitas, melalui proyek industrialisasinya, di samping telah memberikan berbagai kemudahan bagi manusia, juga telah menjebak manusia dalam budaya pop (mass culture). Budaya massa merupakan hasil massifikasi. Sebab, dalam sektor budaya terjadi industrialisasi dan komersialisasi. Persis seperti yang diungkapkan Kierkegaard: manusia modern menjelma menjadi manusia massa. Massifikasi dan kolektivisme menjadi hantu-hantu yang memusnahkan ketunggalan kepribadian manusia (Fuad Hassan, 1992:28.)

Bagi masyarakat modern, masyarakat komoditas, menurut Baudrilard, dorongan konsumsi bukanlah terutama kenikmatan atau kegunaan, melainkan keinginan untuk mengambil dan memamerkan “nilai tanda”. (Kalam, No. 7, 1996: 113). Massifikasi tidak hanya berpengaruh pada dimensi fisik-material, tetapi juga berdampak pada pembentukan kesadaran massa. Seseorang membeli sesuatu bukan karena membutuhkannya, tetapi ia menginginkan citra yang sama dengan orang lain. Aapa yang dia beli bukanlah nilai guna, tapi nilai citra (image value).

Kuntowijoyo mengajukan dua cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi massifikasi, yaitu dengan (1) privatisasi dan (2) spiritualitas. (Subandi, 1997: 55). Kesadaran kolektif, bagi Kunto, selalu tidak mewakili kesadaran pribadi. Kekuatan-kekuatan yang tak terlawan memaksa kita meninggalkan fitrah. Hanya pribadi yang mempunyai roh. Rohlah yang tidak terikat oleh aktualitas, dan merupakan potensi yang memerdekakan. (DKJ, 1984: 155).

Pentingnya kesadaran pribadi untuk menghadapi massifikasi, di antaranya digambarkan Kunto dalam cerpen “Serikat Laki-laki Tua”. Cerpen itu menampilkan sosok Kojar yang bersikeras menolak kemauan teman-temannya yang lain untuk bersama-sama memakai topi. Tokoh Kojar berkata, “Aku hanya membela hak-hakku sebagai manusia merdeka. Persetan apakah kalian menuduh ini individualisme. Persetan istilah demagogi itu…” (DMB:107). Atau dalam bagian lain, Kunto menulis bahwa tidak baik mengikuti seseorang yang berjalan di depan kita, sedangkan kita tidak tahu hendak kemana dia. (DMB:108).

Pembebasan Diri dari Realitas Semu

Kesadaran kolektif akibat massifikasi yang menjadi konsekuensi modernitas secara tak langsung telah memengaruhi sikap manusia dalam memandang sesuatu. Manusia cenderung merasa cukup melihat sesuatu hanya pada tataran artifisialnya. Cara pandang seperti itu bisa kita lihat dalam cerpen “Anjing”. Tokoh tetangga kami digambarkan sebagai seorang laki-laki yang hanya melihat perempuan dari sisi luarnya (artificial). Apa yang diperbuat oleh laki-laki tersebut mewakili nafsu yang menggebu. Kunto menyimbolkan nafsu itu dengan anjing yang akhirnya dibunuh oleh tokoh tetangga. Anjing sebagai simbol nafsu dapat kita lihat juga dalam cerpen-cerpen Kunto yang lain seperti, Segenggam Tanah Kuburan dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan.

Melalui tokoh tetangga dan tokoh istri, Kunto mengkritik perilaku manusia modern. Tokoh tetangga mengawini gadis yang umurnya sepuluh tahun lebih muda karena cantik, luwes, dan pandai mengaji. Rumah tangganya tidak bahagia (hlm. 46), karena sang istri tidak mau disetubuhi. Tokoh lain tipikal manusia modern adalah istri sang narator. Ia seorang perempuan yang cepat mengubah opininya ketika mendapatkan realitas yang lain. Ia, yang tadinya membenci tokoh tetangga, berubah memujinya hanya karena mendengar bahwa tetangganya itu pandai mengaji dengan suara yang bagus. (DMB, hlm. 39).

Cerpen itu juga menggambarkan kondisi masyarakat konsumer. Kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu—nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan; sementara hanya sedikit ruang bagi penajaman hati, dan pencerahan spiritual.

 Spiritualitas dan Pseudo Spiritual

Kondisi masyarakat semacam itu tidak hanya berpengaruh pada berubahnya pandangan masyarakat dalam bidang-bidang material. Budaya virtual, menurut Yasraf, telah melenyapkan batas antara spiritual dan spititual semu (pseudo spiritual). (Yasraf, 1998: 31). Masyarakat kontemporer mementingkan ibadah ritual dan melupakan ibadah sosial. Ritual yang dilaksanakannya pun hanya berkisar pada ritual kasar yang kasat mata, tidak dibarengi dengan ketangan jiwa dan kedekatan hati pada Tuhan.

Gambaran seperti itu dapat kita lihat pada cerpen yang berjudul “Anjing”. Dalam cerpen itu, Kunto mengkritik umat Islam yang berpijak hanya pada realitas artifisial. “Memelihara anjing, sepanjang pengetahuan tak dilarang oleh agama.” Kata sang suami. “Tidak dilarang tetapi patutkah kita memelihara najis” (jawaban si istri). (DMB: 32). Tokoh istri digambarkan sebagai seorang istri yang pintar, berpendidikan, taat pada suami dan bertetangga dengan baik. Tapi ia selalu memandang realitas hanya pada permukaannya. Begitu pula dalam beragama. Ia membenci anjing, karena najis. Juga karena tiap malam suka menggonggong dan menggganggu tidurnya (DMB: 31). Ia membenci tetangganya, karena tetangganya memiliki anjing. Tapi kemudian ia menyukai anjing itu setelah tahu pemiliknya pandai mengaji. (DMB: 39).

Kunto juga mengkritik religiusitas semu dalam cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”. Kunto mengkritik tokoh-tokoh agama yang berrumah di atas angin. Pemuka-pemuka spiritual yang merasa paling suci. Serta kyai-kyai yang enggan bersentuhan dengan masyarakat yang dianggapnya berdosa. (DMB: 185). Ia juga mengkritik umat yang selalu melihat manusia dari ukuran luarnya saja. Ia mengkritik masyarakat awam yang sering melakukan kultus individu. (DMB: 197-198). Dengan cerpen ini, Kunto ingin berkata bahwa, nilai spiritual tidak hanya terletak pada rutinitas ritual kita. Religiusitas murni bisa kita dapatkan dalam hati yang tenang dan jiwa yang tenteram. Tokoh mahaguru tauhid lebih memilih untuk menolong seorang anak kecil menangkap burung dan meninggalkan rutinitasnya sebagai khatib. Ia lebih menyukai ketenteraman jiwa dan ketenangan hati.(DMB: 199).

Kunto tidak hanya melakukan kritik atas praktik beragama yang jelek. Ia juga mengajukan contoh tentang bagaimana beragama yang ideal. Kunto terlihat konsisten ketika menggarap cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan”. Sesuai dengan gagasannya tentang sastra transendental, cerpen itu berusaha untuk memanusiakan manusia. Cerpen itu menjadi arus balik yang melawan dehumanisasi. Tokoh kakek digambarkan sebagai seorang tua bijak, pekerja keras dan taat beribadah. Apa yang dilakukannya untuk manusia, didasarkan atas keyakinan bahwa itu akan sampai pada Tuhan. Keikhlasan dan ketulusan telah menjadi barang langka ketika kebanggaan pada diri sendiri dan individualisme merajai dunia. Tokoh kakek merupakan gambaran manusia religius. “Kayu itu akan kita sumbangkan untuk pembangunan Rumah Tuhan, istriku.” Istrinya akan senang, memuji syukur. Pada saat-saat terakhir dari hidup mereka, masih sempat juga beramal. (DMB: 113). Kayu itu akan membuatnya tersenyum pada hari kematiannya. Ketika itu, boleh jadi tubuhnya telah hancur oleh tanah di kuburnya. (DMB: 115).

Kritik atas Mistisisme

Cerpen-cerpen Kunto menjadi gambaran nyata dari paradigma ilmu sosialnya yang berlandaskan tiga nilai, liberasi, emansipasi, dan transendensi. Kunto ingin membebaskan manusia dari penjara-penjara, serta ikatan yang membelenggu. Ia tidak hanya mengkritik modernisme, tetapi juga melakukan kritik terhadap mistisisme. Hal itu bisa kita lihat dalam cerpen yang berjudul “Segenggam Tanah Kuburan”. Lagi-lagi, hawa nafsu telah menjadi pemicu utama manusia untuk melakukan tindak kejahatan. Memburu kesenangan jasmani. Mencampakkan nilai-nilai transendental. Karena ingin minum tuak sepuasnya, menyepikan diri bersama perempuan, dan bisa mengundang ledek untuk bernyanyi, sang maling dalam cerpen ini, merampok. (DMB: 58). Untuk mencapai tujuannya, sang maling menggunakan mistik (DMB: 49, 60, 61). Cerpen ini memiliki kesamaan tema dengan cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, cerpen terbaik KOMPAS. Keduanya mengkritik mistisisme yang digunakan sebagai alat untuk memuaskan hawa nafsu. Tapi dari sisi literal-estetis, AMK lebih baik dari STK. Metafor-metafor yang digunakan dalam AMK lebih mudah untuk dicerna.

Dalam STK, Kunto memilih tokoh orang tua untuk melawan kekuatan mistik yang dikerahkan oleh si maling. Uniknya, media yang digunakan untuk melawan mistik adalah nilai-nilai tradisional yang digambarkan dengan pelantunan kidung penolak tenung. Kidung yang dilantunkan dengan suara yang lembut, menggambarkan kondisi hati yang tenteram, jiwa yang bersih, luput dari nafsu. Lewat cerpen ini, sekali lagi Kunto ingin mengatakan bahwa ketenangan dan ketenteraman jiwa bisa mengalahkan amarah dan nafsu.

Dalam cerpen yang lain, “Ikan-ikan dalam Sendang”, Kunto seolah-olah berkata bahwa tempat-tempat magis, dan benda-benda keramat, semuanya hanyalah cerita yang dibuat-buat oleh manusia untuk kepentingan tertentu. Pada halaman 153 tertulis, “Orang kampung menganggap sendang itu sendang keramat. Itu cerita turun-temurun. Dan kebanyakan, dia sendiri yang menceritakan itu.” Berbeda dengan cerpen-cerpen yang lain, dalam cerpen IdS, orang tua digambarkan sebagai orang rakus dan ingin menang sendiri. (DMB: 157, 163-164).

Cerpen ini juga mengkritik masyarakat umum yang mempercayai sesuatu tanpa pernah menyelidikinya terlebih dahulu (DMB: 166). Juga mengkritik masyarakat yang meyakini mistik tanpa mengetahui hakikat yang ada di balik suatu benda. (DMB: 159). Mereka membanggakan sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Mereka mengagungkan pohon beringin putih dan sendang keramat (DMB: 159).

Dalam cerpen lainnya, “Mengail Ikan di Sungai”, Kunto mengungkapkan bahwa penciptaan mitos yang dilakukan oleh manusia, telah memengaruhi imajinasi anak-anak. Mereka menjadi kehilangan daya imajinasi dan kreasinya. Tokoh Romli digambarkan sebagai anak kecil yang terobsesi untuk memiliki kail keramat. (DMB: 175). Kesadaran kolektif yang diciptakan mitos, telah membuat Romli lebih mementingkan batang kail bekas pengukur mayat dibandingkan kesembuhan ayahnya. Ia membolos beberapa hari hanya untuk menunggu kematian ayahnya. (DMB: 178). Secara tak sadar, ia mengharapkan agar ayahnya mati, dan ia bisa mendapatkan batang kail keramat. (DMB: 178-179).

Tapi sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Romli hanya untuk memuaskan hasratnya saja. Ia ingin mengalami apa yang dirasakan oleh Pak Kajin, seperti tokoh anak yang juga ingin merasakan mengail dengan batang kail keramat. (DMB: 175).

 Penutup

Sebagian besar cerpen Kuntowijoyo merupakan representasi dari pemikirannya mengenai Ilmu Sosial Prefetik dan sastra transendental. Pemikiran tentang liberasi, emansipasi dan transendensi, dapat kita temukan dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Anjing”, “Segenggam Tanah Kuburan”, “Ikan-ikan dalam Sendang”, “Mengail Ikan di Sungai”, “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, dan “Serikat Laki-Laki Tua”. Sedangkan cerpen “Sepotong Kayu untuk Tuhan” dan “Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”, merupakan gambaran ideal tentang hubungan antara manusia dengan manusia lain dan manusia dengan Tuhan-nya.

Ada anomali yang kita temukan dalam penokohan Kunto. Pada sebagian besar cerpennya, Kunto selalu memakai tokoh anak-kecil dan/atau orang tua (DMB, STK, SkuT, GiBdMR, BKBdP). Dalam semua cerpen itu, Kunto meggambarkan sosok orang tua sebagai seorang yang penuh dengan kebijakan, dan lemah lembut (DMB, BKBdP, GiBdMR), penuh pengalaman (DMB, BKBdP), serta memiliki visi yang jauh ke depan (DMB). Dan tokoh anak memiliki kepolosan, kadang juga bijak (DMB), kesucian (GiBdMR), dan kegembiraan (BKBdP).

Tapi dalam cerpen “Serikat Laki-Laki Tua” orang tua digambarkan sebagai—meminjam ungkapan Bung Karno—old established generation. Begitu juga dalam cerpen “Ikan-ikan dalam Sendang”. Orang tua seperti itu memiliki kecenderungan untuk banyak omong. Ia ingin menceritakan segala hal, bahkan tidak saja merasa tahu semua hal, tetapi juga merasa berjasa dalam hal apa saja. Ia tidak saja menempatkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah, tetapi juga melakonkan diri sebagai tokoh pembuat sejarah. Perjalanan historis seakan baru berarti karena peran dan keterlibatannya.

Gambaran anak kecil dalam cerpen “Mengail Ikan di Sungai”, berbeda dengan gambaran anak kecil pada umumnya cerpen Kuntowijoyo. Dalam cerpen itu, kenakalan lebih ditonjolkan, dibanding kepolosannya. Imajinasi yang dimilikinya juga terlalu liar (mengharap kematian ayah hanya untuk mendapatkaan batang kail keramat).

Dari sisi estetika cerpen, Kunto, pada sebagian besar cerpennya, berhasil menggabungkan—meminjam ungkapn Kleiden—makna dengan peristiwa. Peristiwa yang dijalin dalam cerpennya, sarat makna. Dan pada DMB menjadi multi-interpretable. Sense, makna tekstual dan refference atau makna referensial, digarap dengan sangat bagus.

Makna-makna yang terkandung dalam cerpen-cerpennya, bisa kita dapatkan dari judul yang digunakan Kunto. Simbolisasi yang digunakan, pada sebagian besar cerpen, sangat bagus. Bunga dan burung kecil sebagai lambang kesucian dan ketenangan jiwa. Samurai, metafor dari kejantanan dan dominasi pria. Juga Anjing sebagai perlambang dari nafsu.

Dialektika makna-peristiwa, terjalin sangat bagus dalam cerpen DMB, SKuT, dan BKBdP. Jalinan makna-peristiwa, dalam cerpen lainnya kurang mendapat perhatian Kunto. Bahkan dalam cerpen STK, kita kehilangan makna, berbeda dengan “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan.” Juga dalam cerpen Serikat Laki-Laki Tua.

 

Daftar Bacaan

Kuntowijoyo, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kumpulan Cerpen, Pustaka

Firdaus, Jakarta, 1992.

__________, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1993.

Dewan Kesenian Jakarta, Dua Puluh Sastrawan Bicara,Sinar Harapan, Jakarta,

1984.

Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992.

Idi Subandi Ibrahim, Ecstasy, Gaya Hidup, Mizan, Bandung, 1997.

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia yang Dilipat, Mizan, Bandung, 1998.

Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996.

Kalam, No. 7, tahun 1996.