Apa Jadinya Jika Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Tidak Jadi Dihapus?

Apa Jadinya Jika Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Tidak Jadi Dihapus?

Apa Jadinya Jika Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Tidak Jadi Dihapus?

Pelajaran sejarah mungkin akan bilang kalau “Indonesia bagian Timur bakal memisahkan diri jika tujuh kata dalam sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta tidak dihapus”. Hanya saja, belum ada kepastian tentang siapa sebenarnya pembawa desas-desus itu. Seteras Bung Hatta saja lupa namanya. Manusiawi sekali. Dengan kata lain, kebenarannya secara de facto masih diragukan—untuk tidak menyebut hoaks.

Tapi, itu adalah peristiwa sejarah yang telah berlalu. Sekarang mari kita sedikit berandai-andai. Anggaplah Pancasila hari ini benar-benar mengandung frasa adiluhung “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya.” Apa yang akan terjadi?

Besar kemungkinan, yang bakal terganggu bukan cuma wakil-wakil Protestan dan Katolik yang, konon, waktu itu merasa keberatan dengan Pancasila versi Piagam Jakarta, tetapi juga penyelenggara Tes Wawasan Kebangsaan seleksi pegawai KPK. Lha gimana, di dalamnya jelas-jelas ada kata Syariat Islam!!

Desclaimer: jangan pernah menakar seberapa tebal iman nasionalisme orang-orang yang berada di balik Tes Wawasan Kebangsaan, karena jawabannya pasti sangat kelewat tebal. Namanya saja Tes Wawasan Kebangsaan, pastilah muatan pertanyaan yang terkandung akan berisi tentang gagasan-gagasan besar. Kalaupun ada pertanyaan yang blass gak ada hubungannya dengan tema-tema demokrasi dan masa depan negara, anggap saja itu manuver si pewawancara yang sedang kena panic attack sehingga blank dan butuh waktu untuk basabasi.

Maka boleh jadi, orang-orang seperti Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin adalah cikal bakal kadrun. Soalnya mereka termasuk pihak yang bertanggungjawab meloloskan lima-rumusan dasar negara yang salah satunya mengandung frasa Syariat Islam, meski belakangan direvisi. Cc. @buzzer

Tapi jangan keliru, kendati kelihatan ‘ngadrun’, gagasan untuk memasukkan frasa Syariat Islam itu bukan tanpa alasan. Setidaknya begitulah kalau kita mau sedikit husnuzon. Lihat saja teks Piagam Jakarta, benderang sekali penegasan bahwa kita berencana untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, dan tidak kalah penting, pungkasan tentang cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ingat, seluruhhhh!! Sekali lagi, seluruh!! Ini bukan ibadah Haji yang berlaku bagi yang mampu saja.

Ngomong-ngomong, apa sih syariat Islam itu? Kenapa ia (waktu itu) menjadi penting sebagai salah satu dasar negara?

Terus terang, saya malas mendefinisikannya sebagai hukum Islam yang, sialnya, direduksi menjadi fetisisasi agama lewat aksi perusakan tempat ibadah, atau perda (seolah-olah) Syariah, atau penutupan paksa warung makan yang buka di siang hari bulan puasa, atau penyegelan rumah bordil, atau masih banyak lagi sebenarnya.  Percayalah, syariat Islam adalah jauh lebih luhung dari itu semua.

Sebagai umat Muslim, saya tentu meyakini kalau Islam itu universal, kosmopolit, tapi sekaligus otentik. Bahasa Arabnya adalah sholih li kulli zaman wa makan. Tapi ini bisa terjadi jika Islam kita pahami sebagai realitas yang menyejarah dan dengan demikan berkaitan juga dengan fenomena kebudayaan. Tanpa itu, kita hanya akan terjebak pada mitos.

Pertanyaannya, bagaimana menguji keuniversalan, kekosmopolitan, dan sekaligus keotentikan Islam?

Jawabannya tentu saja adalah lewat sejarah. On The Spot mungkin belum pernah menayangkan tentang hal ini, tapi setidaknya kita bisa bertanya kepada Google atau Siri.

Sebagai contoh, apakah Anda kenal Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali? Yap, persis. Saya juga tidak kenal secara personal, apalagi berteman di medsos.

Tapi, kalau kamu ketik nama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali di mesin pencarian Google, maka yang muncul adalah lebih dari sepuluh layer tentang gagasan-gagasan besarnya yang mendunia. Ini belum suggested link yang menyertainya.

Diduga, Al-Ghazali dan para pemikir besar Muslim lainnya itu bisa sedemikian moncer karena didukung oleh ekosistem kebudayaan Islam yang universal, kosmopolit, sekaligus otentik. Universal karena Islam adalah mata-rantai peradaban dunia. Menyejarah. Dan, itu semua bisa terjadi karena Islam tidak menutup diri dari kebudayaan di luarnya, sehingga kamu tidak akan ketemu dengan fenomena politisi yang bilang bahwa tepuk tangan adalah upaya Yahudinisasi.

Terlepas dari intrik politiknya, di masa kekhalifahan Abbasiyah, Islam secara jujur mengadopsi, umpamanya, tradisi matematika dan kedokteran dari India, logika dan filsafat dari Yunani, serta administrasi pemerintahan warisan Persia. Di titik ini kita bisa mengidentifikasi sikap inklusif atau keterbukaan Islam terhadap tradisi di luar dirinya.

Meski begitu, Islam tidak kehilangan jatidiri. Warisan-warisan Persia, Yunani, dan India memang digauli oleh Islam. Walakin, Islam saat itu tidak di-India-kan, tidak di-Yunani-kan, tidak di-Persia-kan, dan tidak di-Barat-kan.

Kebudayaan Islam, dengan demikian, adalah otentik, dalam arti punya ketegasan sikap dan tidak menelan mentah-mentah apa yang ia konsumsi. Tanpa keterbukaan sekaligus ketegasan sikap tersebut, kita mungkin tidak mengenal apa yang kita sebut sebagai arsitektur Islam, kesenian Islam, filsafat Islam, dan sebagainya. Dengan kata lain, Islam bukan saja mewarisi peradaban dunia, tetapi juga mewariskan dirinya kepada dunia.

Dan, yang tak kalah penting adalah watak kosmopolitan Islam. Ini bisa kita lihat dari pesebaran Islam di Afrika Utara, dan kota-kota besar setamsil Andalusia, Irak, juga Iran. Islam hadir dari satu kota ke kota lainnya. Bahkan Madinah sendiri telah menjadi kota.

Untuk itu, Islam sebetulnya bisa dibilang sebagai budaya kota. Para ulama mengembara dari satu kota ke kota lainnya. Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal, dan tentu saja al-Ghazali melakoni tradisi ini. Ulama tidak saja berperan sebagai modin, atau rujukan umat, tetapi juga seorang penjelajah.

Hanya saja, Islam di Indonesia rupanya punya cerita yang berbeda. Mula-mula, Islam masuk ke Indonesia memang lewat kota. Di Pasai, Demak, Majapahit, Cirebon, dan Banten, Islam masuk serta berbagi pengaruh.

Lalu kolonialisme datang, merusak tatanan kota-kota yang telah menjadi pusat perdaban Islam. Islam tidak lagi menjadi milik saudagar atau pedagang. Islam bermigrasi ke desa-desa, berkenalan dengan para petani. Watak agraris yang mengandalkan diri kepada cuaca, tanah, dan musim ini ternyata menentukan bagaimana Islam dipahami dan diaktualisasikan.

Kini, budaya Islam telah berubah: dari semangat universal ke semangat lokal; dari kota ke desa; dari tradisi petualang ke tradisi mukim; dari realitas menjadi mitos. Ini barangkali akan menjelaskan fenomena bauran antara Islam dengan kearifan lokal. Di bangku perkuliahan, misalnya, Nabi Muhammad dan para sahabatnya boleh saja menjadi realitas historis. Tapi dalam (sebagian) budaya agraris, semua yang menyejarah itu menjadi mitos. Ini bisa kita dapati dalam Serat Anbio atau Babat Menak. Ringkasnya, Islam telah di-petani-kan. Demikian jika meminjam istilah Kuntowijoyo.

Kembali ke Piagam Jakarta. Ya, Indonesia saat itu sedang berencana “untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dengan begitu, frasa “Syariat Islam” dalam Pancasila (sebelum direvisi) memiliki elan vital dengan koteks historis yang melatarbelakanginya. Saat itu, dunia barusan beres dari perang.

Pertanyaannya, apa yang sedang diekspektasikan dari peranan Islam?

Saya menduga kalau sembilan bapak kadrun yang meloloskan frasa “syariat Islam” itu bermaksud untuk mengembalikan khittah Islam yang universal, kosmopolit, tapi sekaligus otentik di tengah kontestasi dua ideologi besar: kapitalis dan sosialis. Atau ekstremnya, Islam diharapkan bisa mendayung di antara dua karang. Soalnya, Islam sendiri mengakui kepemilikian pribadi dan sekaligus mewarisi gagasan tentang keadilan yang menyeluruh.

Tapi tenang saja, itu semua tidak terjadi kok. Hingga hari ini Pancasila nyatanya tetap utuh, kendati di masa sebelum ini telah sedikitnya 32 tahun dipakai sebagai alat gebuk (abuse of power). Sekali lagi, di masa sebelum ini. Ya, di masa sebelum ini. Tentu saja, di masa sebelum ini.