Apakah Meniru Budaya Non-Muslim Akan Auto Kafir?

Apakah Meniru Budaya Non-Muslim Akan Auto Kafir?

Pada ranah yang mubah, bukan dalam hal akidah dan ibadah, maka adopsi budaya non-muslim boleh dilakukan, asalkan tidak merusak keimanan, syariat, dan akhlak umat Islam.

Apakah Meniru Budaya Non-Muslim Akan Auto Kafir?

Dalam video Rapat Kerja Nasional Partai Masyumi atau Masyumi “Reborn”, salah satu petinggi partai Abdullah Hehamahua melarang kadernya bertepuk tangan. Ia menyatakan bahwa tepuk tangan merupakan budaya Yahudi. Umat Islam mesti menyalahi budaya non-muslim tersebut.

Bagi penganut paham Islam ekstrem kanan, larangan tepuk tangan ini bersumber pada salah satu riwayat Abdullah bin Abbas, ia berkata: “Dahulu kaum Quraisy tawaf mengelilingi Ka‟bah dalam keadaan telanjang. Mereka bertepuk tangan sambil bersiul-siul. Menurut mereka perbuatan itu merupakan ibadah,” (Tafsir Al-Qurthubi, 1964, juz 7, hlm. 400).

Tindakan tepuk tangan, jika dilihat dari riwayat di atas merupakan bentuk ibadah kaum kafir Quraisy. Karena itulah, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia dari golongan mereka,” (H.R. Abu Daud).

Jika Abdullah Hehamahua menyampaikan bahwa umat Islam sebagaiknya tidak bertepuk tangan karena tepuk tangan adalah kebiasaan Yahudi, hal itu memantik pertanyaan baru: sejauh mana umat Islam boleh meniru budaya non-muslim?

Perkara Peniruan dan Pengafiran

Berdalil hadis di atas, banyak dari tindakan meniru budaya non-muslim dianggap menyerupai kaum kafir, maka yang melakukannya pun dituduh telah terjerumus dalam laku “kekafiran”.

Tidak terhitung kasus pengafiran sesama muslim yang dilakukan oknum pemuka agama, bahkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah juga dikafirkan karena memakai jas dan dasi. Bagi umat Islam di masa silam, meniru pakaian non-muslim (jas, dasi, bahkan toga wisuda) adalah gaya berpakaian kafir. Proklamator Indonesia Soekarno juga pernah dikafirkan hanya karena ia mengenakan jas saat akan menikah.

Perilaku tepuk tangan termasuk dalam wilayah ini. Di Indonesia, MUI Sumatera Utara pada 2012 juga memfatwakan bahwa tepuk tangan di suatu acara hukumnya makruh, sementara itu tepuk tangan di masjid tergolong haram.

Dalam pandangan saya, kasus seperti ini perlu ditafsirkan ulang. Jika memang tepuk tangan di masa lalu adalah ibadah non-muslim, namun tindakan tepuk tangan sekarang sudah bergeser maknanya menjadi perkara duniawi. Orang-orang bertepuk tangan bertujuan untuk mengapresiasi orang lain. Di kegiatan pramuka di sekolah-sekolah, tepuk tangan bahkan dijadikan ajang kerja sama dan melatih kekompakan.

Saat ini, tepuk tangan bukan lagi budaya eksklusif milik suatu kelompok tertentu, melainkan menjadi budaya bersama, baik itu di negara Timur maupun Barat, muslim maupun non-muslim. Dalam pandangan saya, klaim bahwa melakukan tepuk tangan adalah bentuk peniruan budaya kafir tidak tepat lagi, sebagaimana klaim bahwa mengenakan jas adalah budaya kafir yang haram dikenakan, sudah ketinggalan zaman.

Selain itu, memaknai hadis “meniru suatu kaum, maka menjadi bagian dari mereka” harus dipahami sesuai konteksnya. Hadis itu muncul dalam konteks perang antara kaum muslimin dan kaum kafir. Saat itu, belum ada tanda khusus sebagai pembeda antara pihak kawan (sesama muslim) dan pihak lawan, selain dari penampilan fisik. Karena itulah, Nabi Muhammad SAW menyuruh umat Islam untuk memanjangkan janggut dan mencukur kumis untuk membedakannya dengan pihak musuh (non-muslim).

Jika tak ada pembeda itu, maka dikhawatirkan kaum muslimin akan menyerang (dalam konteks perang) rekan seperjuangannya. Janggut yang panjang dan kumis yang tercukur adalah simbol bahwa ia adalah sesama muslim yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah. Sementara itu, dalam kondisi damai, atau jika ada pembeda lainnya, maka hadis di atas fleksibel ditafsirkan.

Dalam hal ini, saya cenderung condong pada isyarat KH Ahmad Dahlan bahwa meniru non-muslim dapat terbagi menjadi dua keadaan.

Pertama, meniru orang non-muslim tidak dibolehkan dalam perkara akidah dan ibadah. Tujuannya agar tidak mencemari keimanan seorang muslim, serta membedakan identitas antara umat Islam dengan non-muslim.

Sebagai misal, seorang muslim tidak boleh mengenakan simbol akidah non-muslim seperti mengenakan kalung salib, memasang patung Buddha, dan lain sebagainya, apalagi sampai ikut serta dalam ibadah non-muslim.

Kedua, meniru non-muslim dibolehkan dalam urusan mu’amalah dan perkara duniawi lainnya. Sebagai misal, menggunakan produk non-muslim seperti jas, baju, pasta gigi, dan sebagainya.

Dasarnya adalah hadis sahih bahwasanya dari Abdullah bin Abbas, ia berkata:

“Sesungguhnya Rasulullah SAW menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan [di luar masalah keagamaan],” (HR Bukhari).

Berbeda halnya jika meniru budaya non-muslim yang sudah melanggar batasan haram, seperti minum minuman keras (wine) di acara kenegaraan, mengenakan bikini di pantai, hingga berlenggak-lenggok dengan baju tipis mengumbar aurat. Hal demikian sudah jelas larangannya.

Sementara itu pada budaya yang mubah, bukan dalam hal akidah dan ibadah, maka adopsi budaya non-muslim boleh dilakukan, asalkan tidak merusak keimanan, syariat, dan akhlak umat Islam.

Kalau kita menolak secara buta budaya non-muslim, umat Islam menjadi kian ekslusif, tertinggal jauh, ketinggalan zaman di tengah kemajuan teknologi yang amat pesat bikinan kaum non-muslim.

 

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama islami.co  dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.